Puasa Empati  Bangsa dan Rakyat

Gambar ilustrasi.

Bagikan

Oleh: Hasbi Indra

Kagetnews | Opini – Potensi bangsa beragama seharusnya potensial berjalan pada karidor kejujuran dalam proses pembangunan bangsa yang seharusnya berjalan di jatidiri itu dan menjadi gairah kehidupan atau tekad kehidupannya di tengah dinamika bangsa.

Puasa bisa dilihat dari prespektif pembentukan kejujuran bukan individual saja tapi juga mewarnai   dalam menjalani kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Ajaran puasa penanaman jiwa itu yang mewarnai kehidupan di sebelas bulan lainnya.

Penanaman yang intensif sepanjang hidup muslim seharusnya ada girah kejujuran dalam mengolah kehidupan sepanjang waktu untuk berbangsa sebagai pembawa amanah di tahta dan sebagai warga negara.

Islam sepertinya masih disoal belum membentuk gairah kejujuran bagi umatnya bila bangsa ini masih ada fenomena sebagai bangsa yang korup yang angkanya ada di 349 triliun  dan bangsa yang masih menunjukkan adanya kontroversi ketidakjujuran dalam kehidupan berdemokrasinya.

Ajaran puasa sepertinya tak menggerakkan komunitas beragamanya misalnya ormas Islam tak menunjukkan kepedulian penting tegaknya nilai kejujuran dalam kehidupan berbangsa untuk wajah bangsa dan nasib rakyat.

• Nilainya

Nilai yang ditanamkan nabi dengan shiddik dan amanahnya tak terpanggil untuk menggerakkan mereka yang ada di ormas Islam kaum yang seharusnya lebih memahami hal itu.

Apakah mereka yang sedang pegang kendalinya sudah terkooptasi atau takut atau tak memiliki pemahaman akan esensi puasanya sehingga tak jelas atau malah tak berdiri dibelakang gerakan kejujuran yang merupakan inti dari puasanya yang kini kaum akademisi kampus, tokoh bangsa, purnawirawan dan rakyat dan mahasiswa telah terpanggil untuk menegakkan hal itu.

Dalam ajaran Islam titah ketuhanan dan kenabian mengambil inti ajarannya yang penting dalam menjalani hidupnya.

Hal itu penting di tengah kondisi bangsa saat ini tak ideal di tengah umat yang beragama dan umat yang setiap tahun menjalani puasa hanya dilihat dimensi makna secara individual tidak memanggil makna berbangsa.

Misalnya perbuatan ketidakadilan yang terbentuk melalui yang di tahta tak peduli asset ekonomi terus dikuasai segelintir orang dan juga penguasa jutaan hektar tanah oleh mereka, perbuatan yang korup ada yang di angka 349 triliun yang juga mereka biarkan.

Akibatnya bangsa bergantung pada hutang yang angkanya bertambah besar kini angka 8000 triliun lebih yang di tahun 2014 hanya di angka 2600 triliun dan menyebabkan ada puluhan juta rakyat yang masih miskin dan menganggur, sementara itu ada pula dugaan kuat pelanggaran etika dan hukum berdemokrasi dan bansos yang nilainya lebih dari 400 trilyun ke rakyat.

• Kontroversi Pemilu

Adanya kontroversial dari pemilu ini muaranya bangsa masih ditandai oleh ketakjujuran yang sedang dinikmati oleh umat. Umat umumnya seolah asing dengan hal tersebut dibanding reaksi kepeduliannya terhadap celaaan manusia pada Tuhan dan nabinya yang seharusnya dalam timbangan yang sama kepedulian itu.

Ajaran Islam potensial dapat ditarik menjadi agama yang tidak bisa merespon perkembangan sosiologis ketika umat salah memahami agamanya dan bisa tergambar agamanya bukanlah agama yang diatas keyakinan lainnya dan akan menggambarkan bukanlah umat yang terbaik dibanding umat yang lain.

Gambaran umat yang dominan hanyalah peduli kepada kehidupan akhirat ketika ajaran agama secara tak disadari mengalami sekulerisasi yang tak terpanggil pada masalah kehidupan yang nyata karena terlalu ditarik menjadi agama hanya berdimensi akhirat sebagai agama yang tak ideals.

Panggilan puasa tak seharusnya terkesan hanya berdampak pada individual dan dimensi akhirat yang umumnya umat mungkin masih tidak terpanggil pada fenomena ketakjujuran yang dialaminya dalam kehidupan berbangsa.

• Ajaran Aksi

Ajaran puasa ada implementasi atau aksi nyata yang ada komunitasnya atau jamaahnya atau organisasinya telah dipesankan untuk dilaksanakan sejak umat terdahulu.

Meminjam istilah Qur’an puasa untuk taqwa. Taqwa dalam satu prespektif orang  takut dirinya untuk mengalami kesulitan hidup di akhirat tetapi di prespektif lainnya manusia yang mengalami pendidikan cinta pada manusia dan lingkungan yang sesuai dengan petunjuk kitab sucinya selama ia menjalani hidupnya yang itu masih terasa kering.

Dimensi yang dapat dipetik dari ajaran puasa adalah ajaran peduli kepada manusia lain dengan motif yang jujur bukan motif yang lain. Motif jujur ini yang tengah dihadapi manusia Indonesia yang masih menjadi soal. Karena puasanya bagi umat ajaran yang kebanyakan belum menggambarkan membentuk kejujuran itu dalam berbangsa.

Apa yang tergambar saat ini ditengah peristiwa politik yang melibatkan anak umat yang jumlahnya tidak sedikit ada bilangan ratusan ribu yang diharapkan menjadi penegak kejujuran yang mereka dididik di pendidikan Islam atau sejak kecil menjalani ritual puasa, mereka umumnya diam atau bahkan terlibat dalam mekanisme yang mengantarkan mereka dalam proses tak jujur dalam pelaksanaan pemilu.

Nama muslim yang indah dan mulia melakoni nama besar di negeri ini dan muslimah yang berhijab mereka umumnya lahir dari ormas Islam orang yang terjesan terdepan menjawab pertanyaan kontroversial itu, apapun alasannya belum cukup kuat mereka memegang amanah dalam kejujuran. Dalam berdemokrasi belum menjadi penghayatan menyeluruh perlunya nilai itu dari mereka dan umat termasuk dari ormasnya.

Panggilan untuk menegakkan kejujuran adalah panggilan esensial agama orang muslim bukan saja untuk menghayati perihnya menjadi manusia miskin dan menganggur tetapi juga perihnya melihat ketidakadilan tercipta oleh yang di tahta dan perbuatan korup yang mewarnai bangsa yang beragama hingga hal itu ingin diteruskan melalui ketidakjujuran proses demokrasi dalam mengolah bangsa ke depan.

Momen yang menentukan nasib bangsa masih ada indikasi menunjukkan perilaku Pat Gulipat yang ingin menyeret bangsa dalam wajah yang tak beradab, tak beretika, tak konstitusional dan tak jujur yang seharusnya mengundang orang muslim yang berpuasa menyatakan kepedulian yang massif.

Baik dinyatakan secara individual maupun secara organisasi yang tentu lebih memahami pentingnya tegaknya kejujuran dalam berbangsa dan bernegara.

Membiarkan atau tak peduli tegaknya kejujuran dalam berdemokrasi di negeri ini akan membiarkan bangsa dalam wajah yang tak seharusnya dan yang menggambarkan ajaran agama tak cukup signifikans berdampak pada kejujuran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Puasa tak seharusnya melemahkan ghiroh panggilan penting itu demi wajah bangsa dan nasib rakyat  di masa mendatang.

Bogor Maret 2024
Penulis adalah seorang Dosen di UIKA Bogor.

Berita lainnya