Oleh: Malik Abdul Aziz
Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah angkata bersenjata yang dimiliki oleh Indonesia. Semua sudah tau TNI bisa berbuat banyak dalam kancah Internasional terbukti dengan peringkat 15 Negara memiliki Militer terkuat di Dunia tahun 2022 dalam situs Global Fire Power. Sebagai masyarakat ini menjadi sesuatu kebanggaan, bahwa Indonesia memiliki militer kuat yang membuat Indonesia tidak dipandang sebelah mata oleh dunia.
Namun akhir-akhir ini media sedang menyoroti intansi TNI, yang disebabkan oleh oknum yang melakukan kekerasan terhadap warga sipil, dari penendangan yang terjadi di stadion Kanjuruhan sampai yang terbaru dua TNI memukul security perusahaan ekspedisi di daerah bali. Citra dari TNI sebagai intansi yang mengayomi dan melindungi masyarakat dipertanyakan dengan kejadian seperti ini.
Runtutan peristiwa ini seharusnya menjadi bahan evaluasi bagi pihak TNI, agar kejadian yang melukai warga sipil tidak terjadi lagi. Didalam kode etik Profesi Prajurit Tentara Indonesia sudah jelas bahwa setiap anggota harus bersikap hormat kepada siapapun dan tidak menunjukkan sikap arogan karena kewenangan. Dalam kode etik seharusnya menjadi suatu acuan terhadap anggota TNI untuk tidak melakukan arogansi karena mempunyai power kewenangan.
Dalam pasal 351 KUHP ayat 1 menyebut bahwa, Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-. Sementara dalam Pasal 126 KUHPM (KUHP Militer) berbunyi, Militer yang dengan sengaja menyalahgunakan atau menganggap dirinya ada kekuasaan, memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, diancam dengan penjara maksimum 5 tahun.
Dilihat dari KUHP dan KUHPM menandakan adanya perlindungan dan kepastian hukum bagi para korban atas arogansi oknum TNI. Asas hukum militer bersifat keras, tegas dan bijaksana. maka dari itu penerepan harus sesuai dengan hukum tertulis di Indonesia.
Beberapa norma konstitusi menjadi landasan bagi Negara untuk memberikan jaminan kepada setiap warga Negara atas keamanan dan ketentraman pribadi. Jaminan tersebut juga mencakup perlindungan dari ancaman ketakutan, bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat manusia, serta hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum.
Haris Suche mengatakan bahwa konsekuensi yang harus dilakukan dari pengaturan HAM dalam UUD 1945 ialah perlakuan secara adil, baik oleh pengadilan maupun pemerintah, terhadap setiap orang. Artinya, tidak seorang pun dapat dipaksa melawan kemauan orang lain, baik dengan ancaman, desakan, maupun dengan sikap politisi. Segala bentuk upaya paksa, ancaman, desakan, penendangan dan perlakuan tidak adil bahkan tidak berdasarkan hukum pada hakekatnya merupakan pelanggaran hukum.
Dalam Negara hukum, selain sebagai sarana control sosial, hukum juga merupakan sarana perlindungan HAM. Salah satu ciri utama hukum yang membedakannya dari norma moral dan sopan santun adalah adanya hukuman alias sanksi yang bisa dijatuhkan kepada pelanggar hukum. Pada konteks ini, instrument hukum merupakan sarana untuk perlindungan dan memenuhi hak asasi manusia melalui perlindungan hukum.
Arogansi yang dilakukan oleh anggota TNI menimbulkan tanda tanya besar bagaimana pengawasan khususnya terhadap prilaku anggota yang di lapangan baik saat bertugas maupun tidak, serta penerapan sanksi yang pasti dan jelas agar peristiwa arogan oleh anggota TNI tidak terulang kembali.
Perlu adanya pembinaan melalui psikologi untuk anggota TNI agar mereka bisa mengontrol emosi. Bila dilihat dari kasus pemukulan security oleh oknum TNI ialah tidak bisa mengontrol emosinya. Mengakibatkan kerugian bagi para korban yang tidak bisa melawan.
Penulis adalah pegiat literasi hukum Indramayu.