Sekolah Rakyat dan Sekolah Garuda Mau Dibangun? Padahal PR Pendidikan Masih Menggunung

Potret Penulis Susanto (Biro kajian dan pendidikan PK PMII Al-Amin Indramayu). (Ist)

Bagikan

Oleh: Susanto (Biro kajian dan pendidikan PK PMII Al-Amin Indramayu)

Kagetnews| Opini Pemerintah, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, melalui Kementerian Sosial menggagas dua program pendidikan baru, yaitu Sekolah Rakyat dan Sekolah Unggulan Garuda, yang bertujuan meningkatkan akses pendidikan di Indonesia.

Sekolah Rakyat ditujukan bagi masyarakat miskin ekstrem agar anak-anak mereka mendapatkan pendidikan berkualitas secara gratis, sementara Sekolah Unggulan Garuda diperuntukkan bagi siswa dengan prestasi akademik tinggi.

Namun, kebijakan ini berpotensi menciptakan kesenjangan sosial yang semakin lebar dalam dunia pendidikan, mengingat sistem serupa pernah diterapkan pada masa kolonial. Saat itu, sekolah untuk pribumi dan sekolah untuk kalangan atas dipisahkan secara struktural.

Padahal, Pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, dan pemerintah wajib membiayainya.

Jika demikian, mengapa pemerintah tidak berfokus pada perbaikan sistem pendidikan yang sudah ada? Menurut saya, lebih baik pemerintah meningkatkan kualitas sekolah yang telah berdiri agar manfaatnya lebih merata. Pembangunan sekolah baru tentu membutuhkan dana besar, yang mungkin lebih efektif jika dialokasikan untuk memperbaiki sistem pendidikan yang sudah ada.

Saat ini, banyak sekolah negeri di Indonesia masih mengalami keterbatasan infrastruktur. Beberapa di antaranya bahkan tidak memiliki ruang kelas yang memadai, bangunan yang layak, laboratorium, atau akses listrik dan internet. Permasalahan ini seharusnya menjadi prioritas utama pemerintah.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, 60% SD negeri (sekitar 88.000 sekolah) masih kekurangan fasilitas dasar. Sebanyak 25% tidak memiliki toilet layak, dan 40% tidak memiliki laboratorium IPA. Di daerah 3T (Tertinggal, Terluar, dan Termiskin), 1 dari 3 sekolah mengalami kebocoran atap.

Jika anggaran yang ada dialokasikan untuk memperbaiki infrastruktur sekolah yang sudah ada, hasilnya akan lebih inklusif dan dampaknya bisa lebih cepat dirasakan oleh peserta didik serta tenaga pengajar.

Selain infrastruktur, kesejahteraan guru juga menjadi tantangan utama, terutama bagi guru honorer. Menurut data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tahun 2024, terdapat sekitar 735.000 guru honorer di Indonesia. Rata-rata gaji mereka hanya Rp300.000–500.000 per bulan, jauh di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) Jakarta tahun 2025 yang ditetapkan sebesar Rp5.396.761 per bulan.

Laporan Asosiasi Guru Honorer menunjukkan bahwa 60% guru honorer harus bekerja sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidup, seperti menjadi ojek online, pedagang, atau pekerja lepas. Selain itu, banyak guru di daerah yang mengalami keterbatasan akses pelatihan, sementara sistem rekrutmen dan distribusi guru masih belum merata.

Jika pemerintah memprioritaskan peningkatan kesejahteraan guru, memberikan pelatihan yang lebih baik, serta memastikan setiap sekolah memiliki tenaga pengajar berkualitas, maka peningkatan mutu pendidikan bisa terjadi di seluruh sekolah tanpa perlu membangun institusi baru.

Bayangkan, anggaran Rp5–10 triliun yang direncanakan untuk Sekolah Rakyat bisa digunakan untuk menaikkan gaji ratusan ribu guru honorer agar lebih layak.

Dari segi kebijakan, sistem pendidikan nasional sebenarnya sudah memiliki berbagai program untuk meningkatkan kualitas pendidikan, seperti zonasi sekolah, Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dan program peningkatan kualitas guru. Jika kebijakan ini diperkuat dan dievaluasi secara efektif, maka perbaikan sistem pendidikan bisa berjalan lebih optimal tanpa perlu menciptakan pemisahan antara sekolah untuk masyarakat miskin dan sekolah unggulan.

Lebih jauh lagi, pemisahan sistem antara Sekolah Rakyat dan Sekolah Unggulan Garuda berisiko memperkuat kesenjangan sosial dalam dunia pendidikan. Jika sejak dini anak-anak sudah dipisahkan berdasarkan status ekonomi, maka keadilan dalam pendidikan semakin sulit diwujudkan. Padahal, tujuan utama pendidikan adalah menciptakan kesempatan yang setara bagi semua anak, bukan justru membedakan mereka berdasarkan latar belakang sosial-ekonomi.

Oleh karena itu, daripada membangun sekolah baru dengan sistem yang berpotensi menciptakan kesenjangan sosial, pemerintah seharusnya fokus pada optimalisasi sistem pendidikan yang sudah ada. Dengan memperbaiki infrastruktur sekolah, meningkatkan kesejahteraan guru, serta memastikan akses pendidikan berkualitas merata di seluruh wilayah, dampaknya akan lebih cepat dan luas dirasakan oleh masyarakat.

Pendidikan yang inklusif dan merata adalah kunci untuk menciptakan sumber daya manusia yang unggul, bukan dengan membagi mereka berdasarkan latar belakang ekonomi atau akademik. Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap anak Indonesia, tanpa terkecuali, mendapatkan hak pendidikan yang layak, sesuai dengan amanat UUD 1945.

Berita lainnya