Oleh: Dr. H. Mulyawan Safwandy Nugraha, M.Ag., M.Pd
(Ketua Dewan Pendidikan Kota Sukabumi &
Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung)
Kagetnews | Opini – Kurikulum Merdeka yang diinisiasi oleh Nadiem Makarim saat menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bertujuan membawa perubahan signifikan dalam sistem pendidikan Indonesia. Kebijakan ini berusaha memberikan keleluasaan bagi sekolah dan guru dalam menentukan metode pengajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa.
Kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi beban administratif guru, sehingga mereka dapat fokus pada proses pengajaran yang kreatif dan inovatif. Namun, di sisi lain, kebijakan ini juga memunculkan beragam pendapat dari masyarakat dan para pemangku kepentingan di dunia pendidikan. Perbedaan pandangan ini menunjukkan bahwa kebijakan yang ideal di atas kertas belum tentu mudah diterapkan di lapangan.
Salah satu komponen utama dalam Kurikulum Merdeka adalah penghapusan Ujian Nasional (UN) dan penggantian dengan Asesmen Nasional (AN). Pemerintah menghapus UN untuk mengurangi tekanan pada siswa dan menghindari penilaian berbasis angka yang dianggap tidak menggambarkan kompetensi siswa secara menyeluruh. Sebagai gantinya, AN mengukur kompetensi siswa secara lebih holistik melalui survei karakter dan pemetaan kompetensi minimum. Namun, sebagian masyarakat merasa bahwa penghapusan UN bisa menyebabkan penurunan standar pendidikan di beberapa daerah. Banyak yang masih ragu bahwa AN dapat memberikan gambaran yang sama akuratnya dengan UN dalam mengukur kualitas siswa.
Di sisi lain, penerapan Kurikulum Merdeka mengandalkan kesiapan guru untuk menjalankan pengajaran yang lebih fleksibel dan berpusat pada siswa. Banyak guru, terutama di daerah yang kurang berkembang, merasa kesulitan menyesuaikan diri dengan metode pengajaran baru yang menuntut kreativitas dan penggunaan teknologi. Keterbatasan fasilitas dan pelatihan yang tidak merata menjadi kendala utama bagi guru dalam menerapkan kurikulum ini secara efektif. Sebagian guru merasa bahwa mereka tidak mendapat dukungan yang memadai untuk menghadapi perubahan kurikulum ini. Tanpa pelatihan yang cukup, implementasi Kurikulum Merdeka berisiko menjadi tidak konsisten di berbagai wilayah Indonesia.
Di sisi masyarakat, kebijakan ini juga memunculkan tanggapan beragam terkait sistem penerimaan siswa baru (PPDB) yang berbasis zonasi. Sistem zonasi dalam PPDB bertujuan untuk menciptakan pemerataan kualitas pendidikan dengan mengutamakan siswa yang tinggal dekat dengan sekolah. Meskipun niatnya baik, sistem zonasi sering kali justru menghalangi siswa berprestasi untuk masuk ke sekolah favorit di luar zona tempat tinggal mereka. Hal ini menyebabkan ketidakpuasan dari para orang tua yang ingin anak mereka mendapatkan pendidikan terbaik. Sistem zonasi ini menjadi polemik tahunan yang perlu dikaji ulang untuk mengatasi kekurangan yang ada.
Kritik terhadap Kurikulum Merdeka juga datang dari beberapa tokoh pendidikan, seperti Jusuf Kalla, yang menekankan pentingnya menyesuaikan kebijakan pendidikan dengan kondisi lokal. Menurut Kalla, reformasi pendidikan tidak bisa hanya mengikuti tren teknologi tanpa memperhatikan kebutuhan dasar di lapangan. Teknologi memang dapat meningkatkan akses dan kualitas pendidikan, namun tanpa kesiapan sumber daya manusia, penggunaan teknologi berpotensi kurang efektif. Pendekatan pendidikan yang efektif harus memperhatikan tantangan yang ada di masing-masing wilayah. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan harus berpijak pada realitas sosial dan budaya di Indonesia yang sangat beragam.
Selain itu, pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti kini menghadapi tantangan besar dalam mengkaji ulang kebijakan pendidikan. Abdul Mu’ti berencana untuk mendengarkan masukan dari masyarakat dan para ahli sebelum memutuskan langkah selanjutnya. Kajian ulang ini bertujuan untuk menilai apakah kebijakan yang ada benar-benar bermanfaat bagi dunia pendidikan atau justru memerlukan penyesuaian lebih lanjut. Melalui pendekatan ini, pemerintah diharapkan dapat menciptakan kebijakan pendidikan yang lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Partisipasi publik dalam proses pengambilan keputusan menjadi penting agar kebijakan pendidikan lebih responsif.
Sementara itu, Presiden Prabowo juga menyoroti pentingnya pembelajaran Matematika sejak usia dini sebagai dasar untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ia berencana memperkenalkan Matematika sejak TK agar anak-anak memiliki fondasi kuat dalam berpikir logis dan analitis sejak kecil. Langkah ini juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas sains dan teknologi di masa depan yang semakin penting di era globalisasi. Namun, pengenalan Matematika di usia dini harus disesuaikan dengan metode yang sesuai agar anak-anak tidak merasa terbebani. Jika berhasil diterapkan, pendekatan ini bisa menjadi langkah positif untuk mempersiapkan generasi muda dalam menghadapi tantangan masa depan.
Peran guru sebagai pelaksana kebijakan di lapangan juga tidak boleh diabaikan dalam reformasi pendidikan ini. Guru merupakan pihak yang secara langsung berinteraksi dengan siswa dan memahami kebutuhan serta kesulitan mereka dalam belajar. Keterlibatan guru dalam perumusan kebijakan akan membantu pemerintah menciptakan kebijakan yang lebih praktis dan realistis. Jika kebijakan dibuat tanpa masukan dari guru, risiko penolakan dan hambatan dalam implementasi akan semakin tinggi. Oleh karena itu, pemerintah harus memberikan ruang bagi guru untuk berkontribusi dalam proses kebijakan pendidikan.
Dengan tantangan yang ada, pemerintah perlu berhati-hati dalam memutuskan apakah akan meneruskan atau mengkaji ulang kebijakan Kurikulum Merdeka. Keputusan yang diambil harus didasarkan pada kajian menyeluruh dan mendalam, dengan mempertimbangkan masukan dari semua pihak terkait. Evaluasi yang komprehensif perlu dilakukan untuk memastikan kebijakan pendidikan yang diterapkan benar-benar berdampak positif. Jika kebijakan tidak efektif, maka penyesuaian perlu segera dilakukan agar manfaatnya dapat dirasakan oleh siswa dan masyarakat luas. Pemerintah harus mengambil langkah yang tepat agar kebijakan pendidikan tidak hanya menjadi wacana tetapi benar-benar membawa perubahan yang diinginkan.
Pada akhirnya, pendidikan yang ideal bukan hanya soal kebijakan tetapi juga bagaimana kebijakan tersebut diterapkan dengan baik di lapangan. Peran serta semua pihak, mulai dari pemerintah, guru, siswa, hingga masyarakat, sangat penting untuk keberhasilan kebijakan pendidikan. Kurikulum Merdeka memiliki potensi besar, namun keberhasilannya sangat bergantung pada persiapan dan pelaksanaannya yang matang. Di tengah tantangan yang dihadapi, kerja sama yang baik akan menjadi kunci untuk mewujudkan pendidikan Indonesia yang lebih baik. Masa depan pendidikan Indonesia berada di tangan semua pihak yang peduli dan berkomitmen terhadap kemajuan generasi bangsa.