Oleh: Dr. Firman Turmantara Endipradja
Kagetnews | JELANG lebaran, tidak sedikit pelaku usaha nakal melakukan berbagai cara untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Contoh, seperti tahun-tahun sebelumnya, menjelang berakhirnya bulan puasa muncul perang diskon di pusat-pusat perbelanjaan. Memberikan harga diskon kepada masyarakat boleh saja, tapi yang terjadi saat ini kebanyakan pelaku usaha melakukan mark up harga terlebih dulu sebelum didiskon yang pada ujungnya akan lebih mahal daripada harga sebenarnya dalam penjualan biasa. Praktek diskon seperti ini sudah bisa dikategorikan tindak pidana karena ada unsur penipuan.
Hari raya lebaran atau iedul fitri adalah hari raya bagi umat muslim dalam menutup/mengakhiri ibadah puasa selama satu bulan, dimana di dalam merayakan hari ini umat muslim mempersiapkannya dengan memenuhi berbagai kebutuhan. Kondisi ini sudah berlangsung bertahun-tahun dalam masyarakat bahkan sudah menjadi tradisi bangsa Indonesia.
Merayakan hari kemenangan belum lengkap tanpa adanya sajian khas lebaran yang selalu ada di atas meja makan. Menu makanan khas lebaran sendiri biasanya merupakan masakan tradisional Indonesia yang selalu hadir di hari besar umat muslim ini, diantaranya yang berbahan daging sapi yang pasti jadi hidangan utama, seperti semur daging sapi, rendang, sambal goreng ati, dan soto.
Salahsatu modus pelaku usaha nakal adalah mencari kesempatan dalam kesempitan. Saat lebaran kaum muslim akan sibuk memenuhi kebutuhannya, termasuk menyediakan daging untuk dimasak dan dihidangkan. Namun sudah seringkali polisi melakukan penangkapan pelaku/pedagang dengan barang bukti berupa daging yang merupakan campuran daging babi hutan/celeng dan daging sapi yang siap dijual menjelang lebaran. Untuk itulah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Lebak, Banten di tahun 2020 menghimbau masyarakat agar mewaspadai daging oplosan babi beredar di pasaran menjelang Lebaran Idul Fitri 1441 H/2020 M. Biasanya daging oplosan itu dijual dengan harga miring/murah. Pelaku menggunakan istilah daging impor agar pembeli percaya daging tersebut adalah daging sapi yang murah.
Masyarakat konsumen diminta untuk mewaspadai beredarnya daging celeng atau babi di pasaran. Kewaspadaan ini diperlukan menyusul terjadinya penangkapan oleh polisi terhadap pelaku penjual daging celeng di sejumlah wilayah di Indonesia. (7 Kasus Oplosan Daging Babi di Berbagai Daerah, kumparanNEWS, 21 Mei 2020 13:38). Berdasarkan penelusuran, kasus yang mirip juga terjadi di beberapa daerah lain. Misalnya di Lubuklinggau pada 2017; di Jenggawah, Jember, pada 2017; hingga di Tanjung Balai, Palembang, pada 2019.
Pelaku bisa dijerat dengan beberapa UU secara berlapis, yakni Undang Undang tentang Perlindungan Konsumen, Undang Undang tentang Perindustrian, Undang Undang tentang Perdagangan, UU tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, UU Pangan, UU Karantina, KUHPidana dan Kepmenag RI Nomor 518 tahun 2001 tentang pedoman Tata cara pemeriksaan dan penetapan Pangan Halal. Pelaku tersebut harus mendapat hukuman yang setimpal agar ada efek jera. Hukuman ini juga sebagai efek jera kepada pedagang lain yang memiliki niat tak baik terhadap konsumen. Di sisi lain, pengawasan yang dilakukan pemerintah terbilang lemah. Sebab, sudah beberapa kali ada temuan kasus penjualan daging sapi yang dioplos dengan daging celeng. Fungsi pengawasan yang dimiliki pemerintah belum dijalankan secara optimal, kalaupun dijalankan, belum kontinyu dan konsisten.
Celeng yang biasa diburu di Sumatera karena menjadi hama kebun sawit, harus diwaspadai peredarannya. Daging babi hutan ini bisa mengandung banyak penyakit, seperti cacing pita. Daging babi bukan komoditas larangan tapi harus penuhi persyaratan tertentu, seperti adanya Surat Keterangan Kesehatan Hewan (SKKH). Serat dagingnya sangat mirip dengan daging sapi, jadi ketika sudah dioplos, sangat susah mengidentifikasi. Harga daging celeng ini juga lebih murah atau setengah dari daging sapi.
Lebaran mempunyai peran besar dalam perekonomian di Indonesia. Dalam periode lebaran, konsumsi nasional meningkat secara signifikan. Dampak ekonomi lebaran ini juga bakal dirasakan pemerintah daerah melalui kenaikan PAD. Bagi sebagian besar umat muslim Indonesia hal ini diharamkan dan peredarannya meresahkan psikologis masyarakat. Maraknya penyelundupan daging celeng, terutama dari Sumatera ke Jawa harus menjadi perhatian serius pemerintah karena merugikan kaum muslim, baik secara materiil maupun kerugian immateril/keimanan yang kaitannya dengan soal adzab. (*)
*) DR. Firman Turmantara Endipradja, S.H.,S.Sos.,M.Hum./ Dosen Hukum Perlindungan Konsumen Pascasarjana Univ. Pasundan dan Pascasarjana Univ. Katolik Parahyangan/Wakil Ketua Komisi Komunikasi dan Edukasi BPKN RI.