Kagetnews | Jakarta – Siklus usaha perikanan terutama perikanan tangkap, sebenarnya dapat merujuk kepada periode cuaca. Disampaikan oleh Ketua Umum Kesatuan Pelajar Pemuda dan Mahasiswa Pesisir Indonesia (KPPMPI), Hendra Wiguna, nelayan tradisional kita mengenal musim angin barat dan angin timur. Keduanya menjadi patokan nelayan berusaha di laut.
“Kendati demikian, adanya perubahan iklim menyebabkan hal tersebut tidak begitu akurat. Kadang ketika kami sampai di laut beberapa mil dari pantai, cuaca berubah seketika. Alhasil kami pulang kembali, demikian potret risiko melaut yang semakin meningkat akhir-akhir ini.” Terang Hendra
Demikianlah yang menjadi dilema bagi nelayan, sehingga menjadikan anak muda kurang berminat menjadi nelayan. Kata Hendra, melaut lancar saja belum tentu mendapatkan hasil untuk menutup operasional melaut. Apalagi kalau putar balik, kembali ke darat.
“Ongkos bahan bakar adalah yang paling besar dalam operasional nelayan kecil, 70-90% dari keseluruhan biaya melaut. Apalagi selama ini kebanyakan nelayan kecil membeli di eceran harganya tentu jauh lebih tinggi dari harga di SPBU.” Jelas Hendra
Menurut Hendra, langkah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk berkomitmen membangun Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum Nelayan (SPBUN) adalah langkah tepat. Dinantikan oleh nelayan kecil sejak lama, akan mendekatkan nelayan mengakses BBM dan menurunkan biaya operasional melaut.
“Apalagi bilamana SPBUN itu dikelola oleh koperasi nelayan, bisa menjadi sumber pendapatan bersama nelayan. Sekaligus menyerap tenaga kerja muda di wilayah pesisir.” Ujar Hendra
Lanjut Hendra, periode Oktober sampai April biasanya laut cenderung ombaknya tinggi dan angin kencang. Terutama di bulan Desember dan Januari, biasanya sering terjadi kecelakaan kerja di laut.
“Ya, sebenarnya nelayan paham betul bagaimana kondisi laut saat ini (Desember), namun karena kebutuhan penghidupan. Akhirnya nelayan tetap memaksakan diri melaut, sebagai pekerjaan utama dan satu-satunya.”Jelas Hendra
Langkah besar dari pemerintah diharapkan, bagaimana agar hal tersebut tidak terjadi. Hendra sampaikan, bahwa Periode cuaca ekstrem, sebenarnya sudah ada dalam catatan atau data pemerintah. Tinggal bagaimana menjadikan hal tersebut menjadi sebuah kebijakan, sehingga nelayan pada saat cuaca ekstrem mendapatkan bantuan sebagaimana halnya sektor lain ketika mereka tidak bisa berusaha sebagaimana mestinya.
“Bilamana hal tersebut dapat terwujud, kami rasa akan meminimalisir angka jumlah kecelakaan di laut. Karena nelayan yang memaksakan diri melaut pada saat cuaca ekstrim. Mungkin bentuknya bisa dalam skema Asuransi Perikanan untuk Nelayan Kecil (APUN) atau lainnya.” Ujar Hendra
Disampaikan oleh Hendra, cuaca ekstrim sendiri tidak hanya mengancam nelayan ketika di laut, pun ketika nelayan di darat, perahu nelayan yang bersandar tidak lepas dari ancaman kerusakan akibat dari cuaca ekstrim.
“Jadi penting dan sangat urgen, di tengah semangat kemandirian pangan, nelayan kecil harus dilindungi baik ketika di laut maupun di darat. Sehingga nantinya, pekerjaan nelayan akan dilirik kembali oleh pemuda pesisir.” Ujar Hendra *** (rls)






















