By Dr. Firman T. Endipradja
Perkumpulan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (P-BPSK) Jawa Barat pada 27 Maret mengadakan kunjungan ke Badan Keahlian DPR RI untuk memberikan masukan dalam rangka perubahan/revisi Undang – Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) dimana NA & RUU PK itu akan disampaikan ke Komisi VI pada hari Rabu tanggal 29 Maret 2023. Masukan itu juga hasil dari mengakomodir masalah/kendala yang dihadapi BPSK di seluruh Indonesia.
Masukan dari P-BPSK Jawa Barat itu disampaikan oleh Ketua PBPSK Jabar Dr. Firman T. Endipradja yang didampingi anggota BPSK dari Kab. Karawang, Kota Bekasi, Kota Bandung, Kab. Cianjur, Kota Sukabumi, Kab. Cirebon, Kab. Garut, Kota Taskmalaya, Kab. Bandung dan BPSK Kab. Sukabumi.
Ada dua puluh hal yang disampaikan yaitu :
(1) Dalam korelasi antara BPSK dengan BPKN perlu dibangun model korelasi antara LAPS dengan OJK dimana BPKN akan diberikan kewenangan menerbitkan produk hukum/regulasi tentang perlindungan konsumen. BPKN akan bertindak sebagai ‘pembina/pengawas’ BPSK dan memiliki kewenangan menerima pengaduan namun penyelesaian sengketanya dilakukan BPSK.
(2) Anggaran BPSK akan diatur dalam APBN dan dalam penyelesaian sengketa hanya berlaku mediasi dan arbitrase dengan keanggotaan BPSK 9 (sembilan) orang.
(3) Untuk melaksanakan putusannya BPSK akan diberikan hak/kewenangan eksekusi. Sedangkan untuk Klausula Baku, akan diterbitkan aturan turunannya dlm bentuk PP/PERMENDAG.
(4) Untuk memberikan pedoman yang jelas ditingkat implementasi, ketentuan dalam Pasal 52 huruf d UUPK yaitu : “melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam Undang-undang ini”, perlu dipertegas dengan menambah pasal baru.
(5) Mempertegas dalam batang tubuh UUPK baru dalam bentuk pasal mengenai kalimat dalam alinea terakhir Penjelasan Umum UUPK yaitu : “Dengan demikian, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini merupakan payung yang mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen.”
(6) Mempertahankan dan mempertegas ketentuan Pasal 52 UUPK, termasuk melakukan penyelesaian sengketa jasa keuangan.
(7) Mempertahankan ketentuan Pasal 18 yaitu tentang pencantuman Klausula Baku diawasi dan dapat dibatalkan oleh BPSK dibawah koordinasi dengan BPKN.
(8) Mempertahankan ketentuan Pasal 18 tentang pencantuman Klausula Baku diatur dalam Pasal 62 Ayat (1) UUPK.
(9) Faktanya keberadaan BPSK sangat membantu mengurangi perkara yang masuk ke pengadilan, oleh karenanya mekanisme/proses peradilan perlu diberikan kepada anggota BPSK terpilih.
(10) Panitia seleksi anggota BPSK dibentuk secara transparan dan paling tidak terdiri dari 5 unsur yaitu unsur PNS, akademisi, konsumen, pelaku usaha, dan ahli.
(11) Anggota BPSK terpilih wajib diberikan pendidikan setidaknya mengenai metode penyelesaian sengketa, baik dengan cara arbitrase maupun mediasi.
(12) Merubah dan mempertegas ketentuan Pasal 40 Ayat (1) UUPK eksisting, agar pemerintah pusat mendorong pemerintah daerah (pemprov) untuk membentuk BPKN perwakilan atau sistem regional (seperti ojk) sebagai bentuk kewajiban dan tugas negara memberikan pelayanan publik/konsumen di Indonesia yang wilayahnya dan ruang lingkupnya sangat luas serta komplek.
(13) Merubah dan mempertegas ketentuan Pasal 49 Ayat (1) UUPK eksisting, agar pemerintah pusat mendorong pemerintah daerah (Pemkab dan Pemkot) untuk membentuk BPSK sebagai bentuk kewajiban dan tugas negara memberikan pelayanan publik.
(14) Korelasi antara UUPK dengan UU Omnibuslaw, bahwa UUPK mengatur hubungan antara konsumen dengan pelaku usaha, sedangkan Undang-Undang omnibuslaw bertujuan untuk mempermudah pelaku usaha dalam menjalankan/membuka usahanya di Indonesia, akan tetapi kurang memperhatikan perlindungan/hak-hak konsumen (termasuk konsumen lingkungan hidup/holtikultura, konsumen jasa keuangan dan konsumen jasa kesehatan).
(15) Terkait dengan UU Omnibuslaw (Perpu No.2,/2022 yang sudah disahkan menjadi undang-undang, UU No.4/2023 ttg P2KS dan RUU Kesehatan), karena bertentangan dengan asas, prinsip, teori dan filosofi hukum/perundang-undangan, maka produk hukum Omnibuslaw itu harus Dapat Dibatalkan atau Batal Demi Hukum.
(16) Dari Ketiga produk hukum Omnibuslaw itu terdapat beberapa ketentuan yang menghilangkan sanksi pidana bagi pelaku usaha. Hal ini berakibat beberapa pasal bahkan bab terkait pidana yang ada dalam UUPK saat ini harus dirubah bahkan dihilangkan, seperti ketentuan-ketentuan Pasal 4 dan Pasal 7; Pasal 19 Ayat (4); Pasal 22; Pasal 52 huruf d, dan huruf i; Pasal 56 Ayat (4), dan ayat (5); Bab X; Pasal 61, Pasal 62. Kemudian Bab XII dan Bab XIII.
(17) Menghilangkan hak konsumen untuk menuntut pelaku usaha melalui proses pidana adalah melanggar hak asasi manusia untuk memperoleh keadilan.
(18) Perlu ada perubahan perumusan baru terhadap definisi konsumen yaitu merubah kata “setiap orang” menjadi “setiap pengguna”, sehingga bukan hanya manusia saja tapi juga badan hukum.
(19) Dalam UUPK yang baru perlu ada pembagian konsumen paling tidak menjadi 4 jenis konsumen yang memiliki konsekuensi yuridis, sosiologis dan filosofis yang berbeda yaitu perlindungan terhadap : konsumen anak, konsumen kaum difabel, konsumen kaum perempuan, dan konsumen muslim.
(20) Dalam amanat UU P2SK yaitu OJK sebagai penyidik tunggal, maka Badan Pengawasnya harus independen dimana anggotanya harus terdiri dari beberapa unsur diantaranya ada unsur perwakilan konsumen.
Diakhir pertemuan, Kepala Badan Keahlian DPR RI Dr. Inosentius Samsul mengatakan akan mengusulkan ke Komisi VI dalam public hearing (masukan dari stakeholder) untuk mengundang Perkumpulan BPSK Jawa Barat.
*) Penulis, Ketua Perkumpulan BPSK Jawa Barat/Dosen Hukum Perlindungan Konsumen.