Oleh: Hasbi Indra
Kagetnews | Opini – Ungkapan itu harus dijelaskan agar bisa dipahami. Perubahan itu telah melekat di diri manusia pada fisiknya begitu pula perubahan psikologisnya. Perubahan juga berkaitan dengan masyakat, berubah dari masyarakat agraris ke industri dan era digital saat ini. Perubahan berkaitan dengan kumpulan manusia ketika bernusantara terjajah lalu berubahan menjadi berbangsa yang harusnya sudah sepenuhnya merdeka.
Hasil membaca sejarah dan apa yang dihadapi di masa reformasi ini selalu ada perubahan. Perubahan yang menandai masa Orde Lama penguasa hanya terpusat pembangunan politik dan belum memikirkan di bidang ekonomi, sibuk urusan ideologi ada kaum yang tak sabar berjuang lalu ambil jalan coup de taat oleh kaum komunis yang menimbulkan korban nyawa. Masa Orde Baru mengalami perubahan hanya maju bidang ekonomi tapi tak di bidang politik rakyat takut bersuara. Lalu lahir Orde Reformasi ingin merubah dua hal, perubahan diharap ditelikung oleh kaum status quo maka yang terjadi kini keduanya mundur baik di bidang politik maupun bidang ekonomi. Bidang ekonomi yang di tahta ada tuannya begitu pula bidang politik. Mungkin ada perubahan dari pemimpin cerdas sebelumnya berubah kepada pemimpin yang sebaliknya.
Manusia, masyarakat dan negara selalu berubah, inilah jalan optimisme agar kondisi bangsa mengalami perubahan. Perubahan sangat mungkin terjadi dan optimisme muncul pemimpinnya. Yang cerdas dalam mengolah bangsanya. Bangsa yang harus berpegang pada optimisme berubah dari kondisi yang dirasakan buruk agar menjadi baik.
Bangsa yang kondisinya kini mau dilanjutkan? Bangsa yang sangat bergantung pada hutang, hutang di angka 780O trilyun ini citarasa tahta, suara rakyat ada menyebut di angka 13000 trilyun dan ada pula menyebut dari anggota partai cukup besar di angka 20000 trilyun, tak berhutang bangsa tak jalan. Bangsa yang masih saja menggambarkan fenomena kaum kaya dan kaum miskin bak bumi dengan langit, kaum kaya yang jumlahnya ada 9 naga menguasai 81 persen asset ekonomi bangsa, yang lembaga hukumnya tak berpihak pada keadilan, hukum ringan pada korupsi yang bernilai puluhan trilyun tak sigap dengan korupsi 349 trilyun yang diumumkan oleh seorang menteri lalu menguap begitu saja, demokrasi yang masih ditandai rakyat takut menyatakan pandangannya. Ketakutan yang dirasakan bertambah larah ada di kolam miskin dan menganggur jumlahnya puluhan juta Memilih ini adalah jalan pesimisme yang tak memberi harapan.
Optimisme menyambut perubahan dan ini harapan baru. Bila sikap diambil pelanjut yakni pesimisme maka tak ada yang bisa ditagih, terima saja nasib bangsa nanti semakin berwajah penghutang dan kondisi yang ada semakin parah.
Semoga itu tak terjadi. Bila itu terjadi baik urus hidup masing-masing karena ada bangsa memang rakyatnya memilih jalan pesimisme yang bertanda tak berakal sehat. Tak usah bicara patriotisme lagi agar bangsa ini menjadi bangsa yang baldah thoyyibah warabbun ghafuur, negara loh jinawi lan toto tentrem rakyate lupakan saja tak usah bicara tentang perbaikan nasib karena momen perubahan yang ditawarkan itu saatnya nanti malah tak diambil. Tak lagi ada dosa bila ada sikap abai kondisi yang ada. Bangsa teruslah menuju ke titik nadir dan tak mengapa bangsa ini terus dalam genggaman New VOC yang menguasai ekonomi sejak lama dan kini menguasai citarasa politik dan jalan yang mereka tawarkan pesimisme atau lanjutkan saja kondisi yang ada.
Bangsa yang sudah memilih jalan pesimisme teruslah menonton kekayaan di tanah ini tidak untuk rakyat, teruskan angka kemiskinan itu dalam jumlah ratusan juta manusia, biarkan manusia pengangguran yang semakin massal, biarkan manusia banyak menengadahkan tangan dipinggir jalan, penuhi jalan meminta sumbangan untuk pendidikan dan budaya beragamanya, teruskan menikmati ketakutan untuk semua potensi yang ada di negeri ini. Yang di tahta takut dengan tuannya, lalu ketakutan menjalar ke pemimpin partai terus ke pemimpin ormas dan ke pemimpin kampus menular pula ke pemimpin militer dan polisi karena SK mereka ada di tangan tuannya yang di tahta yang telah dirasakan saat ini.
Bangsa yang ironis, anomali dan paradoksal tak bisa diterima oleh akal sehat melanjutkan kegagalan Orde Lama di bidang ekonomi dan pelanjut Orde Baru yang gagal di bidang politik kini menikmati keduanya. Merenungkan hal itu bila masih terjadi memang bangsa ini bangsa yang naif bangsa yang menunjukjan diri yang ironis, anomali dan paradoksal itu telah menjadi nasibnya.
Namun, ada sajadahnya baiknya memilih optimisme yakni perubahan masih besar diharapkan semoga terbuka hidayah ke ulama, kyai, pendeta, biksu, intelektual, tentara, polisi anggota partai, kaum kampus dan umumnya rakyat yang merasakan kondisi bangsa mengulang kegagalan Orde Lama, Orde Baru dan Orde reformasi yang semakin jauh dari jiwa konstitusi yang diharapkan terwujudnya keadilan kesetaraan dan kemakmuran yang dirasakan rakyat. Tampaknya perubahan telah bergaung dari rakyat untuk menolong memperbaiki wajah bangsa dan nasib rakyat yang masih ditandai puluhan juta yang miskin dan menganggur dan yang lain yang menandainya memuhi panggilan jalan optimisme yakni jalan perubahan itu.
Bangsa yang dimerdekakan oleh pendahulunya para pahlawan yang mengorban nyawanya, mereka orang yang cerdas. Anak cucunya atau generasi kini ada kumpulan manusia cerdas yang jumlahnya jutaan bergelar sarjana, magister, doktor dan professor dan banyak pula lulusan luar negeri yang sebenarnya tak layak wajah bangsa ini masih dalam kondisi yang digambarkan.
Layaknya bangsa yang merdeka menuju satu abad dengan jumlah manusianya yang jutaan itu telah tercerahkan kecerdasannya jalan yang diambil logisnya memilih jalan perubahan yakni jalan optimisme bukan jalan status quo atau jalan pesimisme. Manusia yang masih berakal sehat dan layaknya masih berpengharapan pada bangsanya agar dapat diraih tujuan dari kebebasan bangsa ini di mana rakyatnya harus merasakan keadilan, kesetaraan dan kemakmuran yang diharapkan semua rakyat. Semoga harapan baru ada di Amin untuk mewujudkannya.
Mumpung belum muncul negara kanowa yang baru, dan tak diharapkan hal itu… tulisan ini aman saja…
Ditulis di Bogor Oktober 2023.
Penulis adalah seorang Dosen di UIKA Bogor.