Kagetnews | Jakarta – Tradisi lisan telah tumbuh dan berkembang di berbagai suku bangsa di Indonesia. Di dalamnya terkandung sistem norma, nilai, kepercayaan dan religi, etos kerja, bahasa, sastra, serta pengetahuan lingkungan. Pengetahuan lingkungan ini yang dimanfaatkan untuk membangun strategi pelestarian di tengah ancaman perubahan iklim.
Berangkat dari gagasan tersebut, BRIN yang dimotori oleh Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas (PR BSK), Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra (OR Arbastra) merintis kegiatan webinar berseri dengan tajuk Bade (Berbagi Ide). Pada kegiatan Bade seri perdana ini mengulas buku bertemakan tentang “Potret Lingkungan dalam Tradisi Lisan Nusantara” yang diselenggarakan daring, Rabu (4/4).
Kepala OR Arbastra, Herry Jogaswara menyampaikan tentang persepsinya dalam membaca buku – buku terkait lingkungan dalam tradisi lisan nusantara. Menurutnya, isi buku tersebut merupakan penerjemahan dari keresahan penulis terhadap isu lingkungan yang disampaikan melalui penggunaan bahasa dan sastra.
“Ada satu mimpi yang belum bisa saya laksanakan, yaitu mengirim para periset BRIN khususnya kelompok riset bahasa dan sastra untuk tinggal cukup lama di satu komunitas,” harapnya. Keinginan tersebut untuk kebutuhan data sharing dalam upaya meningkatkan produksi pengetahuan, sehingga para periset terjun langsung mengamati secara lebih intens di lapangan atau lokasi risetnya.
Sementara dalam pengantar kegiatannya, Kepala PR BSK, Ade Mulyanah menjelaskan, Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki banyak konsep budaya tabu (pamali), mitos, maupun legenda terutama terkait lingkungan. Ternyata, banyak isu lingkungan yang bisa diselamatkan dalam konsep tabu ini. Lantas, ia memberi contoh, di Jepang yang menganggap tabu menebang pohon, karena akan banyak ritual yang dilakukan termasuk perijinan dan sebagainya.
“Orang-orang bahasa bercerita tentang lingkungan seperti salah satu lirik nyanyian Ebit G. Ade, tanyakan pada rumput yang bergoyang. Maksudnya, mereka mengkritisi kondisi lingkungan dengan ungkapan-ungkapan manis yang disampaikan dalam rangkaian kata-kata,” jelas Ade. Ade lantas menceritakan bukti karya tim di pusat risetnya yang telah menerbitkan 13 karya buku Bunga Rampai pada tahun 2022. Ade berharap, agar karya – karya tersebut berimplikasi untuk mitra dan bisa menjadi titik tolak kolaborasi riset pada tahun mendatang.
“Semoga BRIN sebagai tempat produksi pengetahuan banyak menginspirasi berbagai ide di setiap diskusinya,” imbuhnya.
Buku “Potret Lingkungan dalam Tradisi Lisan Nusantara” yang dibahas kali ini merupakan buah karya peneliti yang tergabung dalam Kelompok Riset Bahasa, Sastra, dan Lingkungan. Buku tersebut menggali kekayaan tradisi lisan nusantara yang mengandung pengetahuan dan kearifan lingkungan dari berbagai latar belakang kebudayaan. Maka dalam diskusi, dihadirkan para penulis buku tersebut, yaitu Amir Mahmud, Derri Ris Riana, Binar Kurniasari Febrianti, dan Darmawati M.R.
Dalam paparannya, Amir menampilkan cerita rakyat Jawa Timur yang cukup terkenal yaitu Entit yang merepresentasikan alam dan lingkungan pedesaan. Cerita Entit bersumber dari cerita Panji Asmara Bangun dari Kerajaan Jenggala dan tokoh-tokoh lainnya di Desa Banjarsari yang ada dalam cerita tersebut.
Cerita ini menggambarkan tokoh Entit yang melakukan perubahan banyak hal terhadap lingkungan di sekitarnya. Dikisahkan, Banjarsari yang merupakan sebuah desa jauh dari perkotaan, yang tadinya gersang, dengan rakyatnya hidup miskin, dan malas bekerja, kemudian diubah menjadi sebuah desa yang maju dan makmur. Pertumbuhan ekonomi desa itu menjadi tinggi sebab keteladanan Entit yang rajin bekerja bertani (bercocok tanam). Pesan yang diperoleh dari cerita ini adalah manusia wajib mengolah lahan yang tadinya gersang menjadi subur. Artinya, bercocok tanam membawa kemakmuran bagi penduduk di sekitarnya.
Selanjutnya, Binar Kurniasari Febrianti bercerita tentang ekologi sastra dalam cerita rakyat Bukit Kelam. Bukit Kelam berlokasi di tengah Kecamatan Kelam Permai, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, sekira 20 km dari Kota Sintang. Peristiwa terbentuknya Bukit Kelam dianggap benar-benar terjadi oleh masyarakat setempat. Tokoh-tokoh yang terdapat dalam cerita Bukit Kelam dianggap sebagai manusia sakti seperti Dewa tetapi tidak dianggap suci. Cerita Legenda ini memiliki latar tempat yang berkaitan erat dengan ekologi.
Dalam cerita legenda tersebut dimunculkan dua tokoh antagonis dan protagonis. Tokoh antagonis dilakonkan Bujang Beji sebagai perusak lingkungan melalui penangkapan ikan dengan tidak lazim. Sedangkan tokoh protagonis yaitu Temenggung Marubai yang mempunyai sifat penolong, berhati mulia, dan rendah hati. Marubai ini yang mengajarkan bagaimana menjaga populasi ikan di sungai agar tetap lestari. “Pesan dari cerita legenda ini tentu berlaku untuk semua orang, bahwa kita harus menyadari ketergantungan manusia dengan alam atau sebaliknya. Sehingga kita berkewajiban menjaga kelestarian sumber daya alam dengan lebih arif dan bijaksana,” urai Binar.
Sementara, Darmawati berkisah tentang menjejak kerusakan alam melalui puisi Gorontalo. Ia mengisahkan kerusakan lingkungan akibat aktivitas penambangan dan perkebunan sawit di Provinsi Gorontalo yang dilakukan sejak zaman penjajahan hingga saat ini. Demikian juga keberadaan Danau Limboto yang semakin hari semakin dangkal. Hal ini menggugah masyarakat setempat untuk melakukan kritik sosial berkaitan dengan kerusakan alam di sekitarnya dengan cara berpuisi atau berpantun.
Ada dua hal yang disoroti yaitu pendangkalan Danau Limboto dan Bencana Banjir yang sering terjadi. Binar menguraikan permasalahan tersebut yang dikritisi melalui puisi yang dibacakannya. Kritikan tersebut tentang keberadaan Danau Limboto yang dulu (sekitar tahun 1950) kedalamannya mencapai 25 meter dan banyak habitat ikan di dalamnya, namun saat ini tinggal dua meter dan masyarakat sudah tidak bisa panen ikan yang banyak di danau tersebut.
Cerita terakhir ditutup oleh Derri Ris Riana yang menguraikan tema tentang Mitos Pohon dalam Masyarakat Banjar, Kalimantan Selatan: Sebuah Strategi Pelestarian Hutan. Yang diceritakan dalam mitos ini adalah berkaitan dengan Kayu Ulin. Di Kalimantan, umumnya, rumah-rumah yang menggunakan Kayu Ulin dianggap sebagai rumah orang yang memiliki status sosial tertentu. Karena posisi Kayu Ulin yang memang tergolong kayu yang sangat kuat, tahan lama, dan sangat cocok untuk bahan bangunan.
Namun ada mitos yang dipercayai oleh masyarakat bahwa apabila bangunan rumah seluruhnya menggunakan Kayu Ulin, maka rumah tersebut dianggap akan memiliki suasana kehidupan yang panas, sering terjadi pertengkaran, dan akan mengalahkan umur. Untuk mengatasi hal tersebut maka sebuah bangunan rumah harus ada penggunaan kayu non Ulin, setidaknya pada salah satu komponennya, misalnya dinding, lantai, atau pintu. Dari mitos ini maka keberadaan Kayu Ulin akan bisa lebih terjaga kelestariannya.
(HMS/BRIN)