Peran Perempuan Kei dalam Perdamaian di Kota Tual

Potret Juru Damai Kepulauan Kei-Kota Tual Perempuan-Perempuan Kei berkumpul pada Bundaran Wearhir, setelah pergi mendeklarasikan perdamaian di kantor Wali Kota Tual, Jumat (3/2/2023). Foto ini merupakan dokumentasi pribadi miliki Julie.

Bagikan

Penulis: Marseila Inri, Universitas Pattimura

Kagetnews – Pasca konflik yang terjadi di Kota Tual, Kepulauan Kei, Maluku pada tahun 2023 yang lalu, muncul dua perempuan yang menyebarkan pesan perdamaian. Mereka ingin menghentikan terulangnya perang saudara di Kei. Dua perempuan tersebut bernama Kiki Renhoran dan Julie Rahantoknam.

Mereka menyerukan, “Kami tidak mau menjadi asing di tanah kami sendiri. Kami ingin menunjukan bahwa perempuan Kei masih memiliki peran penting di negeri ini.”

Mereka muncul untuk membangun perdamaian pasca konflik antar-pemuda yang terjadi sejak awal Januari 2023 di Kei. Konflik berawal dari benturan antara pemuda dari daerah Yarler dan Banda Eli, khususnya dipicu oleh seorang pemuda Banda Eli yang terkena anak panah. Mereka kemudian menyerang kembali dan berujung ke konflik antar-kedua pihak yang mengakibatkan belasan luka-luka dan sejumlah kebakaran rumah warga di Yarler.

Konflik yang sebetulnya bukan berakar dari konflik agama kemudian digiring menjadi seolah konflik antara agama Islam dan Kristen, karena pemuda Banda Eli yang beragama Islam dan pemuda Yarler yang beragama Kristen. Dengan sejarah panjang perang antar-agama di Maluku, konflik tersebut memicu ketakutan masyarakat Kota Tual.

Beberapa masyarakat memutuskan untuk mengungsi karena takut sejarah lama berulang kembali, salah satunya adalah Nel, warga Tual yang berusia 69 tahun.

“Saya merasa takut karena sudah ada kabar bahwa  mereka (orang-orang dari komplek yang sedang berkonflik) akan datang menyerbu. Saya khawatir konflik kerusuhan akan terjadi kembali, jadi saya pergi dahulu untuk mencari tempat aman”, ungkap Nel.

Kondisi yang semakin memanas memunculkan semakin banyak hoax atau disinformasi yang membuat masyarakat semakin takut. Melihat kondisi tersebut, Kiki (29) dan Julie (38) memutuskan untuk mengajak perempuan Kei, baik Islam maupun Kristen, untuk melakukan aksi damai dan menghentikan konflik yang terjadi.

• Berawal dari Sosial Media

Berdasarkan nilai masyarakat Kei, perempuan memang memiliki kedudukan yang tinggi. Hal tersebut tidak lepas dari sejarah Kei yang memiliki sosok pahlawan bernama Nen Dit Sakmas. Nen Dit Sakmas memiliki pengaruh besar dalam sejarah dan budaya Kei, di antaranya dengan mencetus hukum adat di Pulau Kei. Berkat jasanya, hari ini, perempuan Kei begitu dihargai hingga laki-laki dikenal berani mati untuk dua hal, yakni saudara perempuan dan batas tanah.

Dalam Bahasa Kei, perempuan Kei memiliki julukan lungmas, yang berarti air mata emas. Pasalnya, menurut masyarakat Kei, perempuan mampu untuk memadamkan panas api atau kobaran api atau amarah dari saudara laki-lakinya. Bersadsarkan nilai-nilai tersebut, Kiki dan Julie berani untuk mengambil langkah besar. Mereka mengunggah ajakan aksi lewat akun Facebook masing-masing.

Potret Kiki Renhoran (kiri) dan Julie Rahantoknam (kanan).

Awalnya, mereka tidak saling mengenal dan tidak mengetahui bahwa keduanya memiliki ide yang sama untuk melakukan aksi damai. Setelah postingan ajakan mereka diunggah dan banyak dibagikan, Kiki baru mengetahui bahwa Julie memiliki ide serupa. Akhirnya, Kiki menghubungi Julie dan mereka berkolaborasi.

Mereka mengajak perempuan Kei untuk bersama-sama berkumpul pada satu titik, yaitu Bundaran Wearhir, untuk memulai aksi damai yang akan diteruskan dengan mengelilingi area-area konflik, pada 2 Februari 2023.

“Saya ingin melihat apakah perempuan Kei masih memiliki marwah yang tinggi di tanah Kei dan apakah istilah perempuan Kei sebagai lungmas masih berlaku atau tidak,” kata Kiki.

Awalnya, banyak perempuan yang enggan dan takut bergabung karena kondisi yang situasi yang masih panas. Hanya kurang dari 10 orang yang hadir hari itu.

Dengan harapan semakin banyak yang bergabung, Julie melakukan siaran langsung di akun Facebook pribadinya. Ia kembali mengajak perempuan Kei berkumpul dan terlibat dalam aksi damai ini.

“Konflik yang terjadi ini memberikan banyak efek yang merugikan kita semua. Mau sampai kapan kita tidak damai? Mari serukan kedamaian kembali di tanah ini,” tegas Julie.

Dalam prosesnya, mereka pun sempat ditentang oleh beberapa masyarakat Kota Tual dan dianggap sebagai provokator karena dianggap akan memperkeruh suasana. Terlepas dari berbagai penolakan, Julie, Kiki, dan perempuan lainnya tetap berusaha untuk mengajak lewat sosial media maupun para perempuan yang mereka temui di jalan.

Sekitar pukul empat sore, terdapat sekitar 20 perempuan yang berkumpul. Mereka terdiri berasal dari berbagai latar belakang, Islam, Kristen, ibu rumah tangga, perempuan muda, pedagang, maupun akademisi akademisi. Mereka bergandengan tangan dan memutuskan untuk mulai berjalan dari titik kumpul ke arah komplek Yarler. Yarler adalah salah satu area yang merasakan dampak dari konflik di mana sejumlah rumah warga sempat terbakar.

Mereka berjalan sambil membawa spanduk putih yang bertuliskan bahasa Kei. Salah satu dari spanduk itu bertuliskan filsafat Kei, yakni “Laar In baba wer in so so ai fangna Ai, ai batang ai” yang artinya “hubungan darah yang mengalir di tubuh, satu sayang satu, satu jaga satu”

Mereka juga mengenakan kain yang menyiratkan arti bahwa, “jika saudara perempuan sudah berjalan dengan menggunakan kain di badan, maka amarah dari saudara laki-laki itu sudah harus disingkirkan.”

Sepanjang jalan, mereka berteriak dan menyerukan perdamaian. Mereka menyanyikan lagu-lagu adat Kei yang mengartikan persaudaraan. Mereka berteriak, “Kei cinta damai” dan “Ain ni Ain”, artinya kita semua bersaudara. Mereka juga menyerukan, “Jangan ada lagi perpisahan” dan “Katong samua gandong”, yang berarti kita semua satu, bersaudara.

Sebagian masyarakat yang melihat aksi tersebut menangis, sebagian lagi memutuskan untuk mengikuti aksinya dan turut bernyanyi bersama.

• Mengembalikan Perdamaian

Potret diskusi antara perempuan-perempuan Kei dan keluarga korban yang didampingi aparat TNI pada Kamis (2/2/2023). Sumber: Facebook, Mieke Kilmanun.

Saat tiba di perbatasan Kantor DPRD dan Walikota Tual, rombongan perempuan Kei dihadang oleh palang yang menutupi jalan. Mereka yang menutupi jalan adalah keluarga korban dari daerah Banda Eli, khususnya korban-korban yang mengalami luka tembak saat konflik.

Awalnya, rombongan tersebut menolak massa yang menuntut adanya perdamaian karena mereka masih marah dan belum mau berdamai. Bertemunya dua rombongan, antara mereka yang masih marah dan mereka yang menuntut perdamaian, sempat memicu adu mulut. Adu mulut justru berujung pada diskusi antara perempuan Kei dan keluarga korban.

Diskusi mendapatkan hasil yang baik. Dari pembicaraan dan diskusi tersebut, keduanya memutuskan untuk mau berdamai. Mereka saling berjabat tangan, berpelukan, dan menangis. Rombongan perempuan Kei pun dipersilakan untuk melanjutkan aksinya.

Sesampainya di perbatasan Yarler, mereka tidak bisa memasuki Yarler karena terdapat palang yang menghalangi. Palang tersebut adalah tanda penolakan dari warga Yarler untuk orang luar yang ingin masuk ke dalam. Palang juga menjadi tanda kemarahan.

Aksi pada hari itu berhenti di sana. Mereka bergerak kembali ke titik awal dan merencanakan aksi damai yang akan mereka lakukan keesokan harinya, 3 Februari 2023.

Keesokan harinya, puluhan perempuan Kei kembali menyatakan perdamaian. Kali itu, mereka menyampaikannya di pelataran kantor Wali Kota Tual, di depan pemerintah Kota Tual, masyarakat, dan kepolisian daerah.

Pernyataan tersebut mengundang diskusi antar-masyarakat soal perdamaian. Para tokoh agama juga kembali memberikan pandangan tentang toleransi, perdamaian, dan hubungan kekeluargaan dari perspektif masing-masing. Hari itu ditutup dengan deklarasi perdamaian oleh masyarakat Kota Tual yang dilaksanakan di kantor Wali Kota Tual.

Pasca deklarasi, perempuan-perempuan Kei kembali berjalan ke Yarler untuk menyatakan perdamaian. Sesampainya di sana, mereka membuka palang jalan yang sebelumnya masih ditutup dan memeluk perempuan Kei yang berada di Yarler.

“Selama kita memiliki niat baik untuk kedamaian di tanah ini, percayalah bahwa Tuhan dan Leluhur akan menyertai kita semua,” ujar Kiki.

Aksi damai terus digulirkan secara rutin selama beberapa hari. Pada hari keempat, Kiki dan beberapa perempuan Kei lainnya kembali ke Yarler untuk memberikan bantuan berupa sembako kepada korban yang rumahnya terbakar akibat konflik.

“Saya memberikan apresiasi besar kepada semua ibu-ibu serta perempuan-perempuan Kei yang dengan keberanian mau turun dan ikut dalam aksi damai ini,” ujar Julie.

Aksi perdamaian yang dilakukan oleh perempuan-perempuan Kei ini membuktikan bahwa perempuan Kei memiliki peran penting dalam perdamaian. Seperti julukan lungmas pada perempuan Kei, demikian aksi mereka mampu memadamkan kobaran api pada setiap orang yang terlibat dalam konflik di Kota Tual.

Perempuan-perempuan Kei menunjukan bahwa mereka memiliki peran sentral dan menjadi juru damai di tanah mereka sendiri. Mereka membuktikan bahwa semboyan laki-laki rela mati untuk saudara perempuan dan batas tanah adalah hal yang benar dan berlaku hingga saat ini.

“Jangan lagi ada perpecahan. Kami tidak ingin lagi ada konflik. Kita semua bersaudara dalam keberagaman, Ain ni Ain katong samua basudara. Satu sayang satu, satu jaga satu,“ ujar Julie menuturkan harapan dari Kiki, dan semua perempuan Kei yang turun ke jalan dan berjuang untuk perdamaian di Kota Tual.

***

Tulisan ini bagian dari program Workshop dan Story Grant Pers Mahasiswa yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK). 

Berita lainnya