Oleh: Hasbi Indra
Kagetnews | Opini – Meramal masa depan bangsa dengan kemungkinan yang akan terjadi yang diharap tentu kemungkinan terbaik bagi bangsa dan nasib rakyat. Adanya kemungkinan tak menuju ke perubahan dan kebaikan bila sang pemimpin dari hasil meminta tahta dan melihat tahta bukan amanah mulia, tapi hanya narsisisme untuk dirinya seolah ia tepat di tempat terhormat itu yang sangat menentukan nasib 27O juta lebih manusia. Pemimpin yang juga andalkan abuse of powers dari yang di tahta dan juga dengan sembako dan money politiks untuk meminta tahta. Ini indikasi yang mudah untuk melihat niat calon pemimpin seperti apa dirinya yang tentu tak cocok untuk memimpin bangsa karena ia sudah mengawalinya dengan niat yang tak sewajarnya dan dengan cara menghina rakyat seperti itu, ini kemungkinan bisa terjadi.
Ada kemungkinan pula umumnya rakyat sudah move on seperti manusia Jakarta dan kota lainnya yang kebanyakan cerdas pilih pemimpin, tak goyah ditekan dan tak termakan politik tebar sembako. Akan muncul pemimpin amanah, fathonah dan tabligh atau pemimpin yang berkualitas, berkapabilitas dan profesionalitas. Pemimpin yang diminta rakyat hanya andalkan rekam jejak dan prestasi dan tak andalkan politik abuse of powers dari tahta, tak gunakan sebar sembako dan ber-etika dalam politik serta taat pada ketentuan yang ada.
Pemilu di tengah kondisi bangsa yang masih kaya SDA tapi tak berguna sepenuhnya untuk rakyat. Di bangsa ini sudah ada jutaan sarjana yang semoga tak menyaksikan rakyat kebanyakan nantinya belum cerdas memilih pemimpin yang tunduk pada politik tekanan dari kaum cawe, dan politik tebar sembako yang sebenarnya merusak mentalitas rakyat, mental menjadi lembek dan mental mudah ditipu dengan cara yang tak manusiawi itu.
Kini rakyat dibebani hutang 8000 trilyun yang bunganya 600 trilyun wajib bayar setiap tahun, seakan rakyat menikmatinya sebagai hadiah dan disyukuri sebagai penderita untuk membayar hutang itu di mana mereka puluhan juta masih miskin dan menganggur. Mereka tengah merasakan hukum dan politik tak berpihak kepadanya dan mereka menikmati pula ada yang korups puluhan trilyun di Asabri dan Jiwasraya dan bahkan ada yang di angka 349 trilyun. Wajah bangsa dan nasib rakyat yang masih banyak mengenaskan di negeri ini.
Bilangan hari ke depan saat pemilu mereka akan merebut bangsa untuk citarasa terus menghegemoni ekonomi saat ini. Ekonomi yang dikuasai segelintir manusia yang disebut oligarki atau 9 naga, jadilah mereka pemegang kendali ekonomi yang dua dekade ini terasa semakin menguasai politik bangsa. Mereka menguasai atau mengendalikan beberapa media massa dan beberapa lembaga survey dan juga menggunakan buzzer berbayar untuk missinya.
Mereka telah memunculkan pemimpin yang disebut penguasa pengusaha. Selama sepuluh tahun atau lima tahun terakhir ini. Mereka digaji rakyat dan meningkat kekayaanya tak ada yang menurun hartanya yang justru menyebabkan rakyat rugi karena mewarisi hutang yang besar itu sementara mereka menikmatinya, hartanya yang meningkat dan juga kekayaan tuannya semakin menggunung.
Pemimpin yang kemungkinan meneruskan dalam kualifikasi tak memiliki kompetensi yang disebut dalam arus akan membawa bangsa ke kerugian atau kehancuran (alhadits). Pemimpin yang andalkan ketidak cerdasan rakyat dan tak kristis bahwa mereka dihinakan oleh politik sembako yang mereka sebarkan. Kemungkinan akan muncul pemimpin yang tak memiliki kualitas, kapabilitas dan profesionalitas. Atau pemimpin yang tak amanah, tak fathonah dan tak memiliki karakter tabligh sebagai syarat pemimpin di era kehidupan manusia era modern demi memperbaiki wajah bangsa dan nasib rakyatnya.
Kondisi yang ada itu kemungkinan akan diteruskan. Melalui pemimpin yang berdagang dengan rakyat. Pemimpin yang meneruskan citarasa rezim yang ada saat ini. Bila rakyat ternyata mendukung mereka baik melalui tekanan psikologis atau dengan sembako atau kemungkinan melalui pemilu tak Jurdil. Lalu mereka merasa diberi mandat untuk meneruskan kondisi yang ada dan menikmatinya dan kemungkinan kembali berpesta porah lalu rakyat mencuci piringnya dan membuang sampahnya nanti.
Melalui pemimpin yang sejak awal dibenaknya ada tahta semata. Pemimpin yang minta tahta dari hasil abuse of powers dari yang di tahta yang menggunakan cawe-cawe nya dari wewenang yang dimiliki dan menggerakkan kaki tangan menyebar sembako dan money politik di banyak tempat.
Pemimpin yang andalkan bantuan sosial dari uang rakyat yang bukan uangnya dan bukan pula uang tuannya. Pemimpin yang memegang prinsip tak mengapa membagi uang atau sembako berupa susu demi meminta tahta itu untuk kepentingannya dan tuannya yang mengelontorkan uang dari mereka yang sering disebut oligarki atau 9 naga untuk money politiksnya ke elit dan rakyat.
Pemimpin yang bahkan menggunakan manusia yang tampak Sholeh mempengaruhi manusia Sholeh lain untuk kepentingan jangka pendeknya meneruskan hidupnya yang mengklaim perbuatannya disebut sedekah dan tak merasa berdosa pada rakyat dan Tuhannya dan tak punya tanggungjawab akan wajah bangsa dan nasib rakyat.
Kemungkinan pemimpin yang tak berada di nilai demokrasi. Segala bentuk suara kritis akan dihadapi dengan mata hukum yang ambisinya ingin menguasai sikap rakyat agar semua berada di belakangnya. Menggunakan uang sogokan supaya diam atau menggunakan tahta yang bernilai ekonomi atau menggunakan dosa atau noda sebagai kerangkeng yang ada di rezimnya agar terus setia atau untuk membekap suara yang kritis. Pemimpin yang mengikuti gurunya menggunakan polesan angka lembaga survey tentang kepuasan kerjanya dan polesan buzzer berbayar dan sepanjang tahun seperti pra pemilu membagi uang melalui mobil yang sedang berjalan atau bentuk lainnya.
Kemungkinan kondisi yang ada akan diteruskan dan kemungkinan nanti rakyat akan sadar kesalahan memilih pemimpinnya, waktu sudah terlambat. Mereka memilih menikmati money politik hanya sekedar menerima uang cukup untuk satu atau dua hari untuk makannya atau menerima sembako yang harganya tak seberapa dan mereka akan merasakan nestapa tahunan mendatang.
Kemungkinan akan ada lagi tangisan intelektual dan budayawan yang muncul di media massa dan berlanjut puluhan juta rakyat menangis tanpa suara dan air mata, dan waktu terbuang percuma beban hidup semakin berat yang mereka rasakan.
Pemimpin produks dari meminta, andalkan abuse of powers, money politiks dan sebar sembako pemimpin yang tak otentiks. Selama di tahtanya sangat mungkin terus menampilkan diri dalam arogansinya karena didukung oleh mereka yang bersenjata dan manusia telik sandi yang mematai manusia di tempat ibadah di pasar dan di kampus dan tempat lainnya. Suasana kehidupan rakyat akan terjadi seperti masa Orde Baru, tapi Orde Baru dulu ekonomi plus tapi kini New Orde Baru tak plus ekonomi juga tak plus politik.
Kemungkinan bangsa mengalami kemunduran semua aspek karena semua bidang kehidupan akan diekploitasi untuk tahtanya, ekonomi di politisasi, politik dan hukum juga diekploitasi akan ada politik devide at empera menggunakan isu radikal dan tumbuh lagi dikalangan umat ada wahabi, salafi dan lainnya atau muncul istilah lainnya untuk pecah belah rakyat.
Kemungkinan akan terjadi juga, hutang akan bertambah, korupsi dibiarkan dan ditiru dalam puluhan atau ratusan trilyunan, manusia lapar dan menganggur jumlahnya makin fenomenal, lulusan pendidikan yang tak diperhatikan, pengangguran massal terus terjadi, mahal biaya pendidikan, mahal biaya kesehatan, mahal kebutuhan hidup, karena sang pemimpin mewarisi sifat dan watak penguasa pedagang. Rasa ketakadilan semakin jauh tak ada kesetaraan manusia dan kemakmuran rakyat tak dicapai
Bangsa akan terasa kembali bernusantara. Saat Nusantara, belum dikenal NKRI yang keutuhannya perlu rasa keadilan, kesetaraan manusia dan kemakmuran seluruh rakyat. Semoga nanti saatnya tak disaksikan kebanyakan rakyat belum cerdas memilih pemimpinnya hanya cerdas menerima money politiks dan cerdas menerima uang dan sembako berupa susu dan lainnya.
Kemungkinan NKRI harga mati hanya panggilan semu dan hanya slogan tak lagi berguna. Kemungkinan rakyat berevolusi menuntut Hak yang sesungguhnya atau kemungkinan mengancam serpihan negeri ini. Kemungkinan itu telah ditulis dalam tanda hitam dan yang sebaliknya tentu sebagai tanda putih yang sepenuhnya diharapkan.
Memilih fenomena hitam yang pahit akan semakin dirasakan. Masih ada jalan penyelamatan untuk bangsa dan nasib rakyat agar kemungkinan buruk itu tak terjadi. Memilih fenomena putih melalui pemimpin yang akan mewujudkan cita konstitusi yakni terwujudnya keadilan, kesetaraan manusia dan kemakmuran untuk seluruh rakyat.
Pemimpin yang melihat tahta adalah amanah mulia dari rakyat. Pemimpin yang tidak meminta tahta melalui jalan penciteraan semu, atau berharap yang ditahta melakukan abuse of powers, atau menebar money politik dan sembako yang menghinakan rakyat.
Semoga bangsa yang sudah mengarah satu abad kebebasan dari penjajahan dan sejak itu telah tumbuh dan kini pendidikan sudah menjadi tuntutan dan budaya, telah melahirkan puluhan juta yang terdidik dan bahkan terdidik tinggi yang sedang menyaksikan wajah bangsa dan nasib rakyat yang tak semestinya, telah melalui kepahitan masa penjajahan 3 abad lebih lalu melalui Orde lama, Orde baru hingga ujung reformasi ini, kepahitan rakyat seharusnya tak terjadi.
Berdasarkan pengalaman yang begitu lama saatnya rakyat merubah nasibnya, rakyat tidak bisa merubah nasib kecuali oleh dirinya (QS. Arra’ad, 11). Pemilu sangat menentukan baiknya memilih kecerdasan politik untuk memilih pemimpin yang tepat ditempat terhormat itu untuk pemimpin yang masih energik yang berkualitas, berkapabilitas dan profesionalitas atau bukan pemimpin yang meminta tahta untuk dirinya dan bukan pemimpin yang narsisisme dan andalkan money politik serta cawe-cawe yang di tahta yang sedang di prihatinkan kebanyakan rakyat saat ini.
Bogor Februari 2024.
Penulis adalah seorang Dosen di UIKA Bogor.