Pemilu Jalan Kecerdasan Bangsa?

Gambar ilustrasi. (Sumber: PxHere)

Bagikan

Oleh: Hasbi Indra

Kagetnews | Opini – Politik, demokrasi dan pemilu layaknya tak memunculkan masalah yang menambah beban bangsa dan rakyat yang jumlahnya puluhan juta sedang merasakan beban berat menjalani hidupnya.

Pemilu yang hingga kini ke sekian kalinya atau berkali-kali diselenggarakan sejak 1955, kualitasnya harusnya naik kelas bukan malah sebaliknya.

Pemilu untuk bangsa dan rakyat yang jumlahnya 27O juta lebih manusia atau untuk asing atau untuk sedikit orang atau untuk orang perorang?

Bangsa sedang diuji lagi kecerdasannya di pemilu yang terkesan ditandai oleh ngibul atau tak bekecerdasan.

Dicatat dalam sejarah bangsa yang sejak dulu punya manusia yang bekecerdasan hebat seperti; Soekarno, Hatta, Agussalim, Sjahrir dan banyak lagi lainnya, berlanjut era kemudian ada Habibie, Wijoyo Nitisastro, Emil Salim Mochtar Koesumatmadja dan lainnya.

Kini bangsa tergambar sebaliknya!

Padahal, bangsa telah memiliki jutaan sarjana dan tak banyak lagi yang buta hurup tak layak terus digiring ke maqom kedunguan atau tak bekecerdasan yang tergambar di bangsa saat ini.

Gambaran proses pemilu yang dipenuhi oleh kontroversial seolah baru belajar bernegara, berpemerintahan dan berdemokrasi dan berpemilu.

Anak bangsa bila abai hal itu ini seperti bangsa loyo, bangsa yang tak berghirah, seperti kaum irlenders di masa penjajahan dulu dan bila membiarkan  fenomena yang ada sepertinya benar ada di kolam itu.

Bangsa kini tercitra tak memiliki kemampuan di semua bidang, apakah itu ekonomi, politik- demokrasi- pemilu, agama, sains dan teknologi seperti yang tergambar di IT KPU, dalam pelaksanaan pemilu kali ini yang konon servernya di negara lain.

Bangsa ini memang telah puluhan tahun  dicatat SDA-nya tak cukup berguna untuk rakyat. Dan tahun terakhir SDM pada umumnya, terutama seperti SDM di perangkat pemilu, menggambarkan dirinya seperti tak berguna untuk rakyat.

Di tengah wajah bangsa menyaksikan hasil  kerja pemerintah di beberapa indikator yakni; hutang angkanya di 8000 trilyun, angka yang korups ada yang di puluhan trilyun dan bahkan ada di 349 trilyun, orang miskin dan menganggur puluhan juta indeks demokrasi dan hukum menurun.

Karya lain, demokrasi minta dipahami autokrasi

Konstitusi mengatur yang di tahta tak boleh cawe-cawe malah terjadi hal itu dipandang hak konstitusionalnya. Hasil kedunguan  bangsa?

Mimpi melalui ekonomi yang surplus bagi bangsa tak terbukti terlihat dari data di atas tersebut.

Setelah politik atau demokrasi atau pemilu diharap bisa memperbaiki keadaan, ternyata hal itu hanya semakin memperparah keadaan.

Apa yang disebut jalan ekonomi dan jalan politik terasa percuma semakin jauh meraih cita konstitusi yang dibuat oleh the founding fathers.

Cita konstitusi saat ini hanya sebagai pajangan. Anak bangsa belajar ekonomi, politik, hukum, agama dan lainnya seperti tak  berguna untuk wajah bangsa dan rakyat.

Sistem ekonomi kapitalis yang dilaksanakan di negara Eropa seperti Jerman, anak bangsanya belajar ekonominya bisa membuat bangsa dan rakyatnya bangga, dimana rakyat miskin dan menganggur paling tidak kehidupannya dilindungi negara, mengapa di sini tidak.

Disana mereka belajar politik, hukum dan pelaksanaan demokrasinya juga sama memberi kebanggaan.

Mentalitas dan moralitas anak bangsa yang menjadi urusan kaum agamawan dan ideolog Pancasila, tak bisa menghadapi kerusakan yang ditimbulkan oleh prilaku ekonomi dan politik di negeri ini seperti yang tergambar dari perilaku korup yang disebutkan yang jumlahnya sangat jumbo dan perilaku pelaksana pemilu saat ini.

Agama dan nilai Pancasila terasa hanya membentuk sholeh individual, tak membentuk kesalehan sosial.

Agama tak memberi ruh ekonomi yang berkeadilan juga tak bisa memberi moralitas yang sama pada politiknya.

Jalan yang bisa ditempuh

Sistem yang berjalan tidak bisa memperbaiki keadaan hingga saat ini.

Ada harapan jalan lain yang bisa ditempuh memperbaiki nasib bangsa dan rakyat melalui gerakan melahirkan pemimpin ala  negarawan dan cendikiawan untuk memperbaiki keadaan bangsa.

Jalan ini  ternyata yang dicatat untuk dihindari oleh mereka yang disebut penghegemoni ekonomi dan politik yang disebut oligarki atau 9 naga.

Menolak jangan sampai muncul sosok yang diharapkan rakyat itu, yang kerjanya melalui kaki tangannya.

Melalui penghadangan oleh yang di tahta negara dan oleh partai politik tertentu dan melalui lembaga hukum KPK dan melalui riuh suara kaki tangan mereka.

Seperti buzzer berbayar untuk merendahkan sosok itu dan upaya mereka masih sia-sia rupanya.

Jalan sosok yang potensial bisa merubah kondisi bangsa sudah ada tandanya untuk hal itu.

Bila hal-hal itu tidak diambil hikmat politik oleh rakyat banyak termasuk kaum sekolahan tinggi masih tak cerdas melihat hal itu sungguh naif.

Tetapi masih ada harapan, umumnya rakyat cerdas melihat fenomena itu dengan sikap kritis dan berusaha dan ada aksi cerdas terhadap kondisi politik bangsa yang dialami saat ini.

Pemilu tak jurdil bisa menghadangnya  yang seiring dengan prinsip mereka, tak mengapa lahir pemimpin yang seadanya, yang penting ada manusia di tahta itu.

Dan tak peduli apakah hasil dari anak haram konstitusi yang memandang tahta bukan sebuah amanah rakyat tapi hanya sebagai kebanggaan diri.

Muncul sosok yang menempuh cara mendorong yang di tahta puncak abuse of powers dari sang gurunya dan bahkan menunjuk manusia sholeh yang bergelar Gus misalnya, untuk tebar money politik ke orang sholeh lainnya.

Sang guru membagi langsung ratusan triliun bantuan sosial ke orang miskin seolah ada watak darmawannya untuk rakyat, yang semua tau uang itu punya rakyat.

Ada pula sosok yang meminta tahta dengan identifikasi diri yang narsisisme seolah sangat pantas diposisi itu. Amanah yang diminta, dimana melalui tangannya langsung tebar sembako berupa susu misalnya.

Melalui jalan gurunya di tahta yang ditangannya  sudah pegang Kartu As ketua partai melalui KPK akan segera bertindak bila tak menjadi ABS.

Prihatin sekali untuk partai tersebut jadi membebek, nasib bangsa dipertaruhkan dengan politik moral hazardnya.

Rasanya bagi orang sekolahan belasan tahun ada pula tahunan dibina di organisasi, bahkan ormas Islam, atau di tempat lain di negeri ini sangat sayang bila tak membuka mata mereka bahwa cara itu bukanlah untuk bangsa dan rakyat tapi hanya untuk dirinya.

Anak bangsa yang belum bisa memahami fenomena yang ada, agar ambil sikap waras di hasil pemilu yang terselenggara secara kontroversial saat ini.

Anak bangsa baiknya menghindari munculnya sosok yang meminta tahta dan manusia yang narsisisme  yang meminta tahta untuk dirinya, apalagi dengan menghalalkan semua cara.

Hal ini yang sedang diarahkan untuk melanjutkan kedunguan bangsa.

Perihatin di pemilu

Panitia pemilu yang seruannya  kontroversial, potensial ditandai oleh ketakjujuran, yang sedang banyak di protes rakyat saat ini.

Ini harus disikapi rakyat dengan kecerdasannya bukan dengan sebaliknya. Pemilu jalan sah konstitusi yang diucapkan semua orang sepakat dan jangan dinodai oleh ketakjurdilan.

Bersaing secara beradab dan terhormat dan tak boleh menempuh menghalalkan segala cara yang kini tengah diresahkan.

Sementara di proses pemilu ada  fenomena ekploitasi rakyat miskin dan teror sembako ke rakyat.

Setelah sembako besar ke partai yang juga dengan ancaman Noda di KPK yang segera bertindak juga, setelah tebar dana ke lembaga survey yang merasa diberi mandat oleh rakyat dengan keahlian matematikanya, dengan angka yang memuaskan bagi pembayarnya untuk apa mereka cawe-cawe pemilu di negeri ini bila hanya untuk mencari kehidupan?

Sepuluh tahun ini mereka setia di jalannya mengawal tahta atas kepuasan rakyat dengan angka misalnya di kisaran 80 persen dan bahkan mereka siap kampanye tiga periode untuk yang di tahta atau pemilu hanya untuk satu putaran.

Kembali mereka seperti membawa amanah sucinya untuk diri atau untuk siapa, dengan angka survey QC yang membuat ada pihak yang sudah sujud syukur dan pesta, padahal penentunya tugas RC.

Tahta dilihatnya hanya tahta, tak ada efek spiritual tanggungjawabnya

Angka yang dibuat untuk satu putaran yang tayang di hampir semua TV ada QC yang membuat ramalan utak atik angka sehingga salahsatunya memunculkan respons sang  tokoh di YouTube, emang rakyat tolol?

Telah mengundang  gerakan yang akan menunjukkan suatu kecerdasan rakyat misalnya melalui 100 tokoh bangsa yang sudah menyatakan sikapnya.

Bangsa ini memang terdesak dalam katagori tersebut sehingga ironi, paradoks terus berlangsung.

Jauh  sebelumnya  itu memang anak bangsa ini sering membiarkan dirinya dalam katagori itu, malah hampir dua dekade.

Di bangsa ini ada pemerintahan yang lengkap semua digaji oleh uang rakyat. Jelas tugas mereka di konstitusi ada yang membuat ketentuan  (legislatif) ada yang melaksanakan (eksekutif) dan ada yang mengawasinya (yudikatif), malah membuat  ironi bangsa dan nasib rakyat yang melaksanakan pemilunya menimbulkan  kontroversial dan meresahkan rakyat.

Seharusnya bangsa tidak dalam kondisi yang sering disebut Rocky Gerung dungu.

Bangsa seharusnya menikmati kecerdasan karena ada ribuan lembaga pendidikan, ada partai dan ada pula ormas dan yang lain seperti tentara dan polisi.

Di bangsa ini sudah jutaan sarjana ribuan doktor dan profesor, tak seharusnya menikmati kondisi yang ironis kini yang merupakan gambaran tentang kedunguan bangsa.

Pemilu dan status quo

Fenomena gerakan status quo untuk melanjutkan kedunguan bangsa.

Jangan kendor dipaksa melalui hasil pemilu kontroversial, mereka  akan terus berupaya dan beternak untuk terus menggambarkan kedunguan bangsa.

Kaum status quo yang menawarkan ke rakyat sosok pemimpin yang meminta tahta melalui abuse of powers.

Tebar money politik dan tebar bantuan sosial melalui uang rakyat oleh tahta yang mengandalkan gimmik (joget), jalan kedunguan, yang ditawarkan bukan gagasan.

Mereka andalkan  kaki tangannya kemungkinan ada diberbagai tempat apakah itu partai atau di ormas atau di kampus atau tempat lainnya.

Kaum status quo akan meneruskan kondisi ironi dan anomali bangsa dan meneruskan jalan yang di tempuh gurunya.

Misalnya melakukan politik penundukan oposisi, sehingga oposisi lemah menghadapi kuasanya.

Bisa gunakan penundukan mereka dengan dosa korupsi melalui lembaga hukumnya atau ditundukkan melalui pemberian posisi pada pihak yang akan ditundukkan.

Mereka akan  aktifkan lagi probo baru atau buzzer yang berbayar serta menggunakan lembaga survey yang memberi angka untuk kepuasan rakyatnya.

Akibatnya demokrasi kembali mati suri dan suara kritis terancam di jeruji besi dan rakyat takut bersuara kritis ditengah beratnya mereka menjalani hidupnya.

Potensial muncul kepemimpinan penguasa pedagang, yang meneruskan negara berdagang dengan rakyat, karena rakyat diaggapnya masih menyenangi hal itu.

Pengelolaan ekonomi dalam rangka membackup tahtanya

Pembangunan yang mudah diingat rakyat misalnya membangun jalan tol akan  diteruskan.

Hutang akan diteruskan dan kenaikan apapun pajak, kebutuhan rakyat, konsumsi, pendidikan, kesehatan, hal yang dianggapnya tak berdosa untuk diteruskan.

Bangsa ini tak layak tercitra dalam kata negatif itu.

Bangsa yang semakin jauh dari konstitusi yang dimilikinya. Mereka akan meneruskan besaran hutang yang angkanya kini di 8000 triliun dan yang korup angkanya ada yang puluhan triliun dan bahkan ada 349 triliun.

Orang miskin dan menganggur puluhan juta berlanjut, indeks demokrasi dan hukum terus menurun.

Karya lainnya, demokrasi minta dipahami autokrasi

Konstitusi mengatur, yang di tahta tak boleh cawe-cawe, malah terjadi hal itu dipandang konstitusional.

Bila mereka pemegang tahta nanti, semoga tidak, tak bisa dituntut untuk memenuhi janji untuk  kemaslahatan rakyat.

Bangsa Cerdas?

Fenomena yang memprihatinkan, bangsa semakin bertambah dengan demokrasi yang minta dipahami autokrasi.

Konstitusi mengatur, yang di tahta tak boleh cawe-cawe malah terjadi hal itu dan dipandang sebagai konstitusional. Fenomena QC yang membuat resah.

Fenomena sosok calon yang tak lagi menghargai RC, pemegang suara sah pemilu, dan lalu sujud syukur dan berpesta kemenangan.

Fenomena KPU yang kontroversial, itu semua fenomena membodohi bangsa.

Lalu anak bangsa masih juga tak cerdas mengambil sikap melihat fenomena yang memprihatinkan itu.

Layaknya bisa membaca fenomena apa yang sedang terjadi di pemilu ini, mengapa menjadi pemilu kontroversial.

Siapa yang menyebabkannya dan untuk sosok siapa yang kepentingannya ingin terpenuhi.

Siapapun anak bangsa yang mengaku beragama dan mencintai negeri ini saatnya memilih kecerdasan demi bangsa dan demi rakyat dan tak layak  mengabaikan kondisi politik yang buruk yang kini masih berlangsung.

Layaknya mengambil sikap cerdas melihat fenomena yang memprihatinkan saat ini. Melalui pemilu yang cara kerja  KPU tak profesional yang terkatagori kerja dalam kedunguan di tengah anak bangsa yang sudah jutaan  bekecerdasan, atau bukan lagi manusia dungu harus direspons oleh  tanduk rakyat sendiri terutama kaum menengah ke bawahnya.

Bila tidak bangsa terus terkerangkeng dalam kedunguan yang naif untuk  dinikmati tahunan.

Waspada pula dengan lembaga MK yang pernah memutuskan ketentuan yang dianggap rekayasa untuk kehendak orang tertentu yang ketuanya diputus MKMK melanggar etika berat, masihkah MK bisa diharapkan?

Sebelum sampai ke tahap itu baiknya KPU tidak bisa tidak harus dipaksa untuk melakukan audit IT-nya yang terkesan  IT yang direkayasa.

Atau gunakan ketentuan konstitusi oleh wakil rakyat untuk mempertanyakan ke tahta yang sangat bertanggungjawab atas kesemrawutan  pemilu hingga di ujung tahta masih saja membuat masalah bangsa dan rakyat, bukannya mengatasi masalah bangsa dan rakyat.

Bila tidak quo vadis pemilu dan quo vadis bangsa dan rakyat.
Bogor Februari 2024

Berita lainnya