Oleh: Fokky Fuad Wasitaatmadja
Dosen Program Magister Hukum
Universitas Al Azhar Indonesia
Khawarij bagai Anak Panah
Khawarij merupakan sebuah gerakan pemisahan diri dari kelompok pendukung Khalifah Ali ibn Abi Thalib dalam perang menghadapi kelompok pendukung Kelompok Muawiyah. Khawarij terbentuk sebagai sebuah bentuk kekecewaan yang mendalam atas terjadinya arbitrase atau perdamaian antara Ali ibn Abi Thalib dan Muawiyah. Kelompok Khawarij ini berpendapat bahwa tidak pantas bagi Ali bin Abi Thalib selaku pemimpin untuk menerima upaya perdamaian dari pihak Muawiyah. Kaum ini menganggap perdamaian itu hanyalah sebuah siasat saja dari adanya kekalahan. Selain itu tindakan perdamaian ini juga menjadi sebuah bentuk kezaliman yang dilakukan oleh ali Ibn Abi Thalib karena menyia-nyiakan kesempatan untuk membunuh musuh Allah yaitu Muawiyah (Reza, 2022).
Ketegangan hingga menghasilkan sengketa peperangan antara kubu Ali ibn Abi Thalib dan Muawiyah diawali oleh adanya baiyah umat Muslim kepada Ali sebagai Khalifah untuk menggantikan Khalifah Usman bin Affan. Muawiyah yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Syam tidak menyetujui pengangkatan Ali sebagai Khalifah tersebut. Muawiyah berupaya mencari simpati agar Ali terlebih dahulu mengusut pembunuhan atas Khalifah Usman bin Affan. Ali selaku pengganti Usman berpendapat bahwa sebaiknya hanya pelakunya saja yang dijatuhi hukuman, bukan kesemua pelaku, mengingat jumlah pelaku sangat banyak.
Perseteruan ini berpuncak pada terjadinya Perang Shiffin antara kubu Ali ibn Abi Thalib melawan kubu Muawiyah (Mafazah, 2020).
Kaum Khawarij sebagai kaum yang memisahkan diri dari kubu Ali ibn Abi Thalib karena menolak terjadinya upaya arbitrase damai antara dua kubu lalu memutuskan untuk membunuh keduanya, baik Ali maupun Muawiyah. Kelompok Khawarij berfikir bahwa keduanya menjadi bibit kekacauan umat. Dalam proses pembunuhan ini Muawuyah gagal dibunuh, sedangkan Ali berhasil dibunuh oleh Abdurrahman Ibn Muljam al-Muradi pada saat melaksanakan sholat subuh. Sang pembunuh melakukan aksi pembunuhan tersebut sambil meneriakkan kalimat:
“Hukum itu hanya milik Allah bukan milikmu wahai Ali, dan bukan milik para sahabatmu”
Tindakan Ibn Muljam ini akhirnya menewaskan Ali Ibn Abi Thalib sebagai khalifah keempat. Perbuatan ini menjadi sebuah sejarah hitam dalam peradaban umat Islam karena pembunuhan kejam dilaksanakan atas dasar agama dan keyakinan yang salah. Rasulullah Saw pernah memprediksi akan hadirnya sebuah kaum yang menjalankan ibadah tetapi tak berilmu, sebagaimana tertuang dalam hadits:
“Akan keluar di akhir zaman. Sekelompok kaum yang pemahaman agamanya sedikit, akalnya bodoh. Mereka mendengung-dengungkan ucapan yang terbaik yang ada di muka bumi ini. Mereka membaca al-Quran, namun tidak melewati tenggorokannya. Mereka melesat keluar dari agama, sebagaimana anak panah melesat menuju sasaran” (HR. Bukhari).
Ibn Muljam selaku pelaku pembunuhan Ali bukanlah selama ini dianggap sebagai seorang yang shaleh dalam menjalankan agama. Ibn Muljam adalah seorang ahli al-Qur’an yang sempat dikirim oleh Khalifah Umar ibn Khattab kepada Gubernur Amr bin Ash untuk mengajarkan al-Qur’an kepada penduduk Mesir. Walau demikian ia menjadi bagian dari kaum yang telah diprediksi oleh Rasulullah SAW sebagai orang yang telah keluar dari agamanya, ibadahnya tak bermanfaat baginya (Basri Hay, 2017).
Neo-Khawarij dan Problematika Kemanusiaan
Peradaban modern manusia kini menghadapi problem yang sama dengan yang dihadapi oleh umat di masa lalu dengan hadirnya kaum Neo-Khawarij, sebagai metamorfosa eksistensi kelompok khawarij. Kelompok khawarij kini hadir melalui bentuk dan pemikiran sejenis dengan tetap berkeyakinan pada sebuah konsep teologi kematian. Begitu mudahnya membunuh sesama muslim dan umat manusia, dengan mendengungkan kalimat yang sama yaitu:
”hukum itu milik Allah, barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka ia kafir”.
Organisasi teror semacam ISIS, al-Qaeda dan semua sayap organisasi teror yang berafiliasi dengan keduanya, mencoba melanjutkan perjuangan kaum Khawarij di alam postmoderen ini dengan mendengungkan kalimat di atas.
Postmoderen lahir sebagai reaksi era modern yang syarat nilai. Postmoderen menawarkan konsep hidup bebas nilai dan mendobrak segala nilai yang dianut selama ini. Postmoderen ditandai dengan hadirnya teknologi digital sebagai sarana komunikasi. Tekonologi digital ini mampu melakukan sebuah realitas semu (hiperrealitas), sehingga antara kenyataan dan kepalsuan bercampuraduk dan sulit dibedakan. Manusia kehilangan realitas objektif atas segala hal yang hadir dihadapannya akibat manipulasi fakta. Kebingungan muncul karena manusia begitu sulit membedakan mana yang realita sesungguhnya, dan mana yang bukan (Azwar, 2014).
Postmoderen hadir dengan konsep bebas nilai dan sangat cair, begitu mudahnya komunikasi terjalin, dan begitu mudahnya manipulasi terjadi melalui sarana-sarana digital. Neo-Khawarij dengan konsep ideologi kematian yang dianutnya mencoba memanipulasi agama agar masyarakat tak bermasjid ini mudah tertarik pada pemikiran-pemikiran destruktif yang dikembangkannya. Tanpa bekal ajaran agama yang cukup masyarakat awam mudah terprovokasi oleh gagasan-gagasan destruktif kaum Neo-Khawarij. Pada saat yang bersamaan kaum Neo-Khawarij ini ikut berperan menumbuhsuburkan pemahaman Islamophobia di kalangan masyarakat non-Muslim bahwa Islam identik dengan kekerasan dan teror.
Teknologi digital di era postmoderen dimanfaatkan oleh kelompok ini untuk menyebarluaskan pesan-pesan kebencian, pembunuhan hingga kehancuran. Manusia postmoderen yang menggunakan perangkat digital sebagai sebuah sarana komunikasi mendapat sebuah tantangan baru melalui massifnya penyebaran pesan destruktif.
Kaum neo-khawarij ini memanfaatkan sekaligus membajak kelompok apa yang disebut Kuntowijoyo sebagai Muslim tanpa Masjid. Masyarakat Islam tanpa masjid adalah sebuah kelompok yang hadir di lingkungan kaum urban perkotaan yang tidak mempelajari Islam melalui sarana-sarana konvensional seperti masjid, pesantren, madarasah, atau belajar pada perorangan: ustad, kyai, ulama, atau dai. Mereka memanfaat sumber-sumber lain seperti kaset, CD, VCD, internet, televisi dan lainnya. Mereka memperoleh sumber keilmuan agama secara anonim (Kuntowijoyo, 2018).
Masyarakat ini tidak lagi belajar agama pada seorang guru, atau ulama, tetapi cukup melalui sarana digital. Mereka lebih mengutamakan followers atas sebuah kajian Islam, dan tidak pernah melihat dan peduli pada sanad keilmuan sang guru tersebut. Hal ini menjadi hal yang mengkhawatirkan karena keinnginan belajar agama tidak diimbangi oleh ilmu yang cukup. Mereka lebih mengutamakan pada gemuruh provokasi, tetapi miskin refleksi beragama, lebih menghasilkan dan mengutamakan militansi dibandingkan argumentasi (Salahudin, 2018).
Masyarakat awam ini menjadi sasaran yang dituju kaum neo-khawarij untuk menyusupkan doktrin-doktrin dan ajaran teologi kematian. Penebusan dosa atas masa lalu yang kelam diwujudkan dengan menghembuskan narasi jihad hingga upaya bom bunuh diri. Anak muda rentan terprovokasi melakukan upaya penebusan dosa melalui cara-cara kekerasan. Pemikiran ekstrem tumbuh dalam ketidaksadarannya, bahwa nalarnya kini telah tertutupi oleh segala hal yang tidak dapat diterima oleh akal sehat. Pemikiran dan doktrin tidak lagi dicerna dengan akal sehatnya, dan ia dengan mudah menggambarkan Tuhan sebagai sosok yang menghukum dibanding sosok Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang (Qs.[1]:3). Tentunya tidak semua masyarakat awam yang tak berlatarbelakang pendidikan agama terpengaruh oleh ide kekerasan kaum Neo-Khawarij.
Pengagungan hukum itu milik Allah, dan jika tidak berhukum pada hukum Allah adalah kafir acapkali diucapkan oleh kaum neo-khawarij yang dengan mudah ditelan oleh kaum awam tanpa mencernanya terlebih dahulu. Semangat untuk berhijrah ke jalan Islam dapat dimanfaatkan oleh kaum neo-khawarij untuk menarik kaum muda terlibat di dalamnya. Doktrin dan semangat berjuang dibalut dengan sikap yang keras serta dibumbui oleh adanya hegemoni barat semakin memperkuat semangat perlawanan tanpa berfikir secara lebih mendalam. Extremisme kaum Neo-Khawarij ini terbukti telah menimbulkan problematika kemanusiaan dengan aksi-aksi teror yag dijalankan olehnya. Ajaran dan dokrin teologi kematian disusun dengan mencantumkan ayat-ayat tanpa memahami makna yang terkandung di dalamnya.
Dalam upaya membendung pemahaman Neo-Khawarij ini maka setiap individu seyogyanya lebih bersifat terbuka terhadap keluasan keilmuan Islam. Setiap individu selayaknya membangun nilai-nilai Islam berdasarkan pada konsep teologi kehidupan dibandingkan mengedepankan gagasan teologi kematian. Bahwa Islam dibutuhkan sebagai sarana manusia yang hidup untuk mendekatkan dirinya kepada Allah dan sesama manusia. Dalam hal ini setiap individu seyogyanya belajar tidak saja kepada satu guru, melainkan juga belajar pada banyak guru yang memahami ilmu Islam agar mendapatkan pemahaman terhadap keluasan keilmuan Islam.
Masyarakat awam selayaknya mewaspadai ide dan jargon kelompok Neo-Khawarij yang menebarkan ide-ide destruktif yang dengan mudahnya mengkafirkan sesama Muslim melalui dakwah yang dijalankannya.
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (Qs. Ar-Rum [30]:41)