Menyoal Etika Moral & Pelanggaran Kampanye Pemilu

Bagikan

Oleh : Sujaya, S.Pd.
(Mantan Anggota PPD II/Komisioner KPUD Kabupaten Cirebon 1999)

 

Kagetnews | Opini – Persoalan etika moral politisi sejauh yang penulis ketahui selalu hadir dan menjadi topik di media massa. Mengutip Media DPR Parlementaria edisi 89 TH. XLII, 2011menerangkan  ada salah satu catatan  dari lembaga survey yang menyebutkan bahwa pamor politisi DPR “jeblok” di mata masyarakat. Responden yang menilai bahwa kinerja politisi itu baik hanya 23,4 %. Bahkan 51.3 % menilai bahwa kinerja politisi sangat buruk .

Tema “politisi beradab” akan selalu berkaitan dengan perspektif kehidupan masyarakat, yang memiliki hubungan-hubungan tertentu, yang sering disebut sebagai struktur sosial, sehingga penilaian terhadap politisi dapat saja berbeda diantara berbagai struktur sosial tersebut.

Kaitan politisi beradab dengan struktur sosial sampai sekarang masih menjadi polemik. Apakah struktur itu yang membentuk politisi menjadi beradab, sebagai entitas yang terpisah, atau bahkan politisi yang membentuk struktur sosial yang memungkinkan terbentuknya kelompok elit dalam masyarakat. Tidak sedikit orang mengkritik, bahwa tersubordinasinya persoalan politik kedalam struktur (sosial), menyebabkan politik dipakai sebagai alat untuk menunjang struktur yang telah ditetapkan oleh ”grand design” politisi tertentu.

Hal tersebut menyebabkan politik tidak saja kehilangan otonominya, melainkan juga telah dimanipulasi sedemikian rupa, sehingga menjadi sekadar alat legitimasi untuk membenarkan tingkah lakunya. Idealnya, politisi (beradab) harus dapat mengarahkan masyarakat untuk masuk kedalam keadaan dan tatanan kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan yang memungkinkan terjadinya situasi yang berkeadilan sosial.

Fenomena dunia politik Indonesia sepuluh tahun terakhir ini mengalami banyak perubahan. Perubahan perpolitikan di Indonesia tidak hanya mengubah watak dan perilaku para politisi, partai politik, elite politik dan penguasa, tetapi juga mengubah persepsi dan paradigma berpikir masyarakat Indonesia tentang memaknai hakikat politik itu sendiri. Sebagai cermin hilangnya tatanan etika dan moral yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Banyak politisi dan pejabat negara yang sudah tidak ada rasa malu meskipun terindikasi terlibat kasus seolah tenang-tenang saja sambil menunggu proses hukum positif, mereka tidak memberikan tanggung jawab secara moral dan menunjukkan rendahnya etika politik .

Demokrasi yang dibangun dalam dunia perpolitikan saat ini adalah demokrasi yang bebas nilai yang menyebabkan perilaku politisi dan pejabat negara jauh dari etika politik.

Makna dan esensi demokrasi direduksi sebagai ” merebut kekuasaan”. Kedaulatan tidak lagi di tangan rakyat, tetapi di tangan penguasa dan lembaga politik.

Lembaga politik seperti partai politik bukan lagi merepresentasikan kepentingan rakyat tetapi merepresentasikan kepentingan partai dan elite partai. Oleh karena itu, etika politik dijadikan sarana merefleksikan kualitas moral yang harus dimiliki oleh para pelaku politik dan para penyelenggara negara.

Indikasinya dapat terlihat sampai sejauh mana para pelaku politik dapat memaknai dan melaksanakan etika politik dan tersebut. ( Dikutip dari pernyataan Prof. Dr. Sudjito, S.H., M.Si. dalam seminar Revitalisasi dan Aktualisasi Pancasila dan Penguatan Karakter Bangsa di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH), pada 16/5/2023).

Dalam berkampanye dan penggunaan Alat Peraga Kampanye (ATK) juga harus mengikuti etika dan moral serta tentu harus mengikuti Perundangan yang berlaku. Dengan demikian Partai

Politik dan Pelaksanaan Pemilu serta tata cara kampanye tentu ada aturannya, jadi  parpol dan peserta pemilu harus menaatinya untuk kenyamanan bersama.  Baik kenyamanan masyarakat, partai politik dan semua yang terlibat.

Namun pemasangan atribut sosialisasi Parpol Pemilu 2024 di beberapa daerah  telah menuai kritik dari kalangan masyarakat karena mengabaikan etika. Stiker, poster, spanduk, baliho, dan bendera partai politik banyak ditempatkan sembarangan di ruang publik, seperti di pinggir jalan, pohon, tiang listrik, jembatan penyeberangan, serta fasilitas umum. Akibatnya, ruang publik berubah menjadi timbunan sampah visual yang mengganggu panorama kota.

Tindakan penertiban Alat Peraga Kampanye (ATK)  yang dilakukan oleh petugas gabungan  KPU, Bawaslu, Satpol PP dan petugas terkait di Kabupaten Indramayu baru-baru ini merupakan tindakan yang tepat dan merupakan penegakan ATK  sesuai Peraturan dan perundang-undangan.

Dengan alasan masa kampanye Pemilu 2024 belum dimulai, tindakan ini tentu saja  melanggar peraturan  yang mengatur penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat.

Beberapa partai politik terlihat memasang bendera dengan gambar logo partai dan nomor urutnya di tempat-tempat fasilitas umum, seperti jembatan dan taman dan ruang publik lainnya.

Tentu saja segala bentuk kegiatan pemasangan Alat Peraga Kampanye (ATK) dan nomor urut di luar internal partai politik sebelum masa kampanye sesuai jadwal kampanye dapat dikategorikan sebagai pelanggaran administratif pemilu, sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1) PKPU Nomor 33 Tahun 2018.

Pelanggaran kampanye diluar jadwal yang dilakukan parpol maupun orang-orang yang mengklaim dirinya sebagai bakal calon, nanti bisa ditindak oleh KPU melalui rekomendasi Bawaslu terkait pelanggaran administrasi atau bahkan pidana.

Pertama tahapannya belum, sehingga tidak ada seorangpun yang boleh atau mensosialisasikan yang bersangkutan sebagai bakal calon ataupun calon. Jika terjadi, maka Bawaslu akan mengkaji apakah masuk pelanggaran administrasi atau bisa jadi pidana karena dianggap kampanye di luar jadwal.

Rekomendasi Bawaslu akan ditentukan oleh KPU, jika ternyata betul melanggar maka akan dapat pemberitahuan kepada peserta pemilu maupun penertiban, parpol masih belum boleh kampanye karena masa kampanye masih nanti tanggal 28 November 2023.

Parpol boleh memasang bendera parpol di kantornya dan melakukan sosialisasi dan pendidikan politik di gedung atau ruang tertutup.

Masa kampanye Pemilu 2024 akan berlangsung selama 75 hari terhitung sejak 28 November 2023 sampai 10 Februari 2024. Sebelum tahapan dimulai, peserta pemilu dilarang berkampanye dalam bentuk apa pun termasuk pemasangan alat peraga kampanye (APK).

Partai Politik belum boleh melakukan kampanye sebelum jadwal kampanye. Salah satu metode kampanye adalah pemasangan Alat peraga kampanye (APK). APK yang boleh dipasang sebelum masa kampanye adalah bendera yang memuat nomor urut partai dalam rangka sosialisasi dan pendidikan politik di internal partai politik, bukan di ruang publik.

Tentu ini merujuk kepada ketentuan Pasal 25 Ayat 1 PKPU Nomor 33 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas PKPU Nomor 23 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilihan Umum, Parpol yang telah ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2024 dilarang melakukan kampanye sebelum dimulainya masa kampanye.

Semua harus mentaati aturan main yang ada. Pemasangan alat peraga ini sudah ada ketentuannya. Ini diatur dalam UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu pada pasal 275 dan 280. Sanksinya diatur di pasal 284 ayat 1 dan 2. Pasal 298 membahas mengenai pemasangan alat peraga kampanye.

Pertama, harus melihat kembali ruang lingkup kampanye. Kedua, lokasi yang dilarang. Tidak boleh menutupi perlengkapan jalan dan pandangan pengguna jalan. Tidak boleh merintangi jalan, merusak, mengubah bentuk jalan.

Lokasi gedung atau kantor milik pemerintah dan fasilitas umum  dilarang dipasang alat peraga kampanye meliputi gedung perkantoran, rumah dinas, rumah milik pejabat pemerintah daerah, TNI, Polri, Kejaksaan, Pengadilan Negeri, dan perwakilan instansi vertikal.

Rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan, sarana prasaran pendidikan, tempat ibadah, tiang, gardu listrik dan telepon, perlengkapan lalu lintas, kawasan terminal, jembatan,  depan kantor sekretariat parpol lain, dan pohon serta turunan jalan lainnya.

Sementara itu menyoroti tindakan pemasangan baliho dengan menggunakan paku pada pohon-pohon. Tentu tindakan ini tidak hanya merusak estetika alam, tetapi juga dapat mengancam kelestarian pohon dan lingkungan secara keseluruhan.

Dalam era yang semakin peduli terhadap pelestarian alam, tindakan memasang baliho dengan menggunakan paku pada pohon adalah tindakan yang tidak bertanggung jawab. Paku-paku yang digunakan untuk memasang baliho bisa merusak batang pohon dan memicu infeksi serta kerusakan struktur internal pohon.

Selain itu, tindakan ini juga menghambat pertukaran nutrisi dan air dalam pohon, yang pada akhirnya dapat mengurangi umur pohon dan bahkan menyebabkan kematian.

Dengan demikian partai politik dan pihak terkait harus lebih memperhatikan dampak ekologis dari tindakan pemasangan baliho.

Perhatian perlindungan lingkungan harus menjadi tanggung jawab bersama, terutama dalam konteks menjaga keberlanjutan dan keindahan alam.

Peraturan dan tata tertib yang lebih ketat akan peru diterapkan untuk mencegah kerusakan lingkungan akibat tindakan sembarangan yang mengesampingkan kelestarian pohon dan lingkungan seperti ini. ***

Berita lainnya