Menerobos ke Masa Depan dengan Sains

Gambar ilustrasi.

Bagikan

Oleh: Angopik

Kagetnews | Opini – Dimulai dari pertanyaan yang sering terpikirkan oleh saya kepada seorang teman. Ceritanya pada suatu hari saya dan seorang teman bersiap-siap untuk jalan-jalan bersepeda. Saat kami sudah siap, tiba-tiba cuaca berubah. Dari yang begitu terang menjadi gelap gulita dan turunlah hujan. Lantas kami masuk ke rumah dan dia menyuruh saya untuk duduk di suatu ruangan, sambil menunggu cuaca reda. Dia masuk ke kamar sambil memberi waktu 10 menit untuk menunggu. Setelah dia keluar dari kamar, tiba-tiba hujan pun berhenti. Tepat sesuai perhitungan tadi. Saya pun akhirnya bertanya-tanya, apakah teman saya memiliki kesaktian?

Sebelum saya bahas inti pertanyaan itu di sini, mohon siapkan akal dan imannya. Karena kita akan membahas sesuatu yang bisa membuat kita gila!

Saya teringat pada salah satu film fiksi ilmiah berjudul The Butterfly Effect. Film ini menceritakan seorang Evan (dibintangi oleh Ashton Kutcher) yang memiliki kelainan, tidak bisa mengingat peristiwa yang dia alami. Dia pun menuliskan semua peristiwa yang telah dialami pada sebuah buku catatan harian (diary) sejak masih kecil.

Ketika Evan dewasa, dia membaca kembali buku yang telah ia tulis sejak kecil tersebut. Tetapi tiba-tiba dia memiliki kekuatan bisa kembali ke masa lalu hanya dengan membaca buku diarynya. Mengetahui kekuatan ini, lantas dia memanfaatkannya untuk mengubah hidupnya. Ajaibnya, apapun perubahan yang dia lakukan ketika kembali ke masa itu ternyata berpengaruh terhadap masa depannya.

Evan pun menggunakan kekuatan itu untuk kebaikan. Segala hal buruk yang telah dia alami bersama teman-temannya berusaha ia ubah. Namun, apa yang terjadi? Walau pun dia berhasil mengubahnya, ternyata membuat masa depannya lebih buruk lagi. Lantas ia mencoba kembali ke masa lalu yang lain agar hal tersebut bisa diubah. Tapi hal yang sama terulang lagi. Justru semakin banyak hal buruk yang menimpanya di masa depan. Hal buruk di masa lalu bisa dicegah tapi hal buruk lain di masa depan tidak bisa ia cegah, sungguh di luar perkiraannya.

Pesan menarik dari film ini adalah bahwa sekali pun kita bisa bisa pergi ke masa lalu kemudian mengubahnya, lantas hal itu tidak bisa membuat kita mengetahui masa depan. Karena sesuatu yang dapat diubah di masa lalu meskipun itu hal kecil bisa, berdampak besar di masa depan. Ternyata, hal ini bukan hanya sekedar film. Tetapi suatu fenomena yang terinspirasi dalam ilmu matematika yang disebut Butterfly Effect.

Butterfly Effect adalah fenomena di mana tidak ada satu pun rumus yang bisa memprediksi alam ini secara akurat. Karena ramalan apa pun atau prediksi apa pun sekali pun itu menggunakan komputer, akan kacau oleh satu kesalahan kecil yang mustahil kita prediksi. Bahkan konon, ramalan cuaca bisa _chaos_ gara-gara satu kepakan sayap kupu-kupu.

Jika kita perhatikan film itu di bagian awal, ada satu kalimat yang menarik. Bunyinya begini, dikatakan bahwa sesuatu sekecil kepakan sayap kupu-kupu bisa menyebabkan topan di belahan bumi yang lain. Kemudian di bawahnya tertulis, Chaos Theory. Lalu apa maksud dari kalimat tersebut? Sebelum itu, yang perlu dipahami terlebih dahulu adalah istilah chaos theory.

Chaos atau keos berasal dari bahasa Yunani yang artinya kekosongan, sering juga diartikan kekacauan. Konon dalam mitologi Yunani alam semesta ini berawal dari keos. Karena alam semesta ini keos, maka muncullah dewa-dewa dalam mitologi Yunani. Di antaranya adalah Gaia (dewa bumi), Eros (dewa cinta), Erabus (dewa kegelapan), dan lain-lain. Sampai kita mengenal anak-anaknya seperti Hera, Athena, dan Zeus.

Di sini saya tidak akan bahas dewa-dewa itu. Yang ingin saya sampaikan di sini adalah pada era Yunani kuno orang-orang yakin bahwa yang terjadi di dunia ini adalah ulah para dewa. Entah itu hujan, petir, topan, badai, dan sebagainya. Masuk pada era helenistik, para filsuf mulai meninggalkan mitos dan mencari penjelasan yang masuk akal. Bahwa sebenarnya alam ini sebenarnya bisa dijelaskan dengan pikiran-pikiran rasional. Tidak semisterius apa yang dibayangkan orang-orang dalam mitologi Yunani.

Para filsuf kemudian berpendapat bahwa alam semesta ini sepertinya punya pola. Sehingga muncul istilah cosmos (dunia yang teratur), lawan kata dari chaos (kacau). Kemudian, di era berikutnya muncul para pemikir seperti Copernicus, Galileo, dan Kepler yang mencoba merumuskan bagaimana alam semesta ini bergerak.

Pada abad ke-17 Isaac Newton menerbitkan sebuah karya berjudul, Philosophiæ Naturalis Principia Mathematica. Dia merumuskan secara presisi bagaimana benda-benda langit dan sekitar kita bergerak. Kemudian dikenal dengan sebagai hukum gravitasi dan hukum gerak Newton. Dari hukum ini, Newton seolah memberikan kalkulator kepada kita sehingga bisa memprediksi benda-benda bergerak baik yang terkecil sampai terbesar. Hal ini membuat para pembuat jam di masa itu membuat Orrery, replika tata surya yang digerakkan oleh mesin.

Newton meyakini bahwa alam semesta ini seperti mesin Orrery. Pergerakan benda-benda alam semesta sesungguhnya sudah memiliki pola. Jika dilihat secara teoritis, semua hal di dunia ini bisa diketahui secara pasti dan akurat. Inilah masa di mana sains berkembang sangat pesat, semua mitos kemudian ditinggalkan. Bahkan Pierre Simon de Laplace ahli matematika Prancis abad 18 mengatakan, kalau kita bisa mengukur secara tepat posisi dan gerak setiap partikel di alam semesta, maka kita bisa mengetahui masa depan, sama halnya seperti kita mengetahui masa lalu. Sehingga ketika Napoleon Bonaparte bertanya kepadanya soal Tuhan, Laplace menjawab peran Tuhan tidak dibutuhkan dalam keteraturan alam raya ini. Sayangnya, keyakinan Newton dan Laplace ini runtuh seabad kemudian oleh temuan seorang ahli matematika Prancis bernama Henri Poincare. Dia mengatakan bahwa memprediksi perilaku alam semesta secara akurat itu tidak mungkin, karena dia menemukan keos.

Masalah nyata yang dihadapi Newton adalah ketika ia merumuskan gravitasi. Dalam Three-body Problem Newton tidak bisa memasukkan benda ketiga, ketika merumuskan persamaan dua benda langit. Jika benda ketiga itu dimasukkan, maka perhitungannya sangat kacau. Newton pun bertanya-tanya, lalu bagaimana dengan benda langit dengan begitu banyaknya elemen? Kenapa alam semesta bisa stabil? Pada akhirnya Newton pun menyerah dan mengatakan bahwa alam semesta ini stabil bukan semata-mata karena hitungan matematisnya, tetapi ada peran Tuhan di situ yang menyebabkan bintang dan planet-planet tetap bergerak sesuai orbitnya.

Keresahan Newton ini menghantarkan para ilmuwan pada temuan baru yang mencengangkan. Yakni bahwa alam ini sesungguhnya mempunyai pola yang sangat unik. Sehingga tidak bisa diprediksi sepenuhnya. Itulah yang disebut dengan istilah chaos (keos). Namun, yang perlu menjadi catatan di sini adalah bahwa keos tidak berarti kacau, tetapi sesuatu yang justru memiliki keteraturan yang sangat tinggi, sampai-sampai kita tidak mungkin memprediksinya.

Kembali pada Henri Poincaré seorang matematikawan dan fisikawan Perancis. Ia berusaha membantah bahwa sebetulnya alam ini tidak sesimpel seperti apa yang dibayangkan Newton. Sesungguhnya seluruh alam semesta atau seluruh apa pun memiliki karakteristik keos. Salah satunya contohnya adalah ramalan cuaca.

Sebelum ditemukannya teknologi modern, orang bertanya kepada dukun yang bisa meramalkan cuaca. Orang ingin tahu apakah hari ini hujan atau tidak, hujannya gerimis atau deras. Apakah prediksi itu benar-benar tepat? Bahkan sampai ditemukannya teknologi dewasa ini pun sering kali tidak membantu. Masalahnya adalah cuaca merupakan contoh yang paling tepat untuk menggambarkan bagaimana keos itu terjadi.

Pada tahun 80-an para ahli meteorologi mencoba untuk pertama kalinya meramal cuaca menggunakan komputer. Karena pada saat itu komputer sedang berkembang-berkembangnya. Seorang matematikawan dan meteorologi Amerika bernama Edward Norton Lorenz menjadi pionir ramalan cuaca menggunakan komputer. Ia bermodalkan 12 parameter cuaca seperti temperatur, tekanan udara, kelembaban dan sebagainya. Yang nilainya dapat digambarkan dalam grafik sebagai garis naik dan turun seiring berjalannya waktu. Pikirnya dengan modal 12 parameter itu dia bisa meramal cuaca untuk 2 bulan ke depan.

Di suatu hari dia memulai simulasi. Pada simulasi pertama dia mendapatkan nilai 0,506127 pada grafik cuaca. Lalu, dia mulai simulasi kedua, untuk meyakinkannya—dia membulatkan satu variabel dari 0,506127 menjadi 0,506. Kemudian dia meninggalkan kantornya untuk mengambil secangkir kopi sambil membiarkan mesin itu berjalan. Ketika dia kembali, dia terkejut karena hasilnya menyimpang.

Mulanya dia menganggap komputernya itu error. Setelah dia menyadari, ternyata bukan karena komputernya yang error tetapi karena satu kesalahan yang dia perbuat. Dia menginput angka 0,506 yang seharusnya adalah 0,506127. Lorenz menginput dengan ketelitian angka di belakang koma, padahal komputer itu memiliki ketelitian enam angka di belakang koma.

Kalau kita menggunakan sense matematis. Dari enam angka di belakang koma, ketiga angka di belakang koma itu perbedaannya sangat kecil. Bahkan seharusnya itu bisa diabaikan. Tapi ternyata dengan perbedaan yang kecil saja grafik yang didapatkan Lorenz ternyata menyimpang.

Ingat, grafik itu mewakili cuaca. Grafik itu menentukan apakah cuaca akan cerah atau hujan deras. Tapi kalau grafik itu menyimpang jauh gara-gara hal sepele, artinya alam ini pada dasarnya tidak bisa diprediksi. Nah kondisi ini membuat Lorenz kemudian menulis sebuah artikel berjudul, The Butterfly Effect. Kemudian Lorenz segera menyadari bahwa ini berarti prediksi cuaca yang sempurna hanyalah sebuah fantasi. Efek kupu-kupu menghadirkan tantangan yang jelas terhadap prediksi, karena kondisi awal suatu sistem seperti cuaca tidak pernah dapat diketahui secara akurat.

Lalu, apakah kepakan sayap kupu-kupu di Brazil bisa menyebabkan tornado di Texas? Tentu yang dimaksud Lorence dengan kupu-kupu ini hanyalah metafora. Tapi poinnya adalah ramalan cuaca bisa terganggu oleh sesuatu yang kecil, sekecil kepakan sayap kupu-kupu.

Nah gara-gara tulisan Lorenz inilah kemudian istilah butterfly effect menjadi sangat populer. Bahkan digunakan bukan hanya untuk fisika dan matematika. Tapi untuk seluruh fenomena yang karena gangguan kecil situasinya jadi kacau.

Apa yang ditemukan oleh Edward Lorenz dan Henri Poincaré menjadi teori baru yang disebut chaos theory. Ketika semakin dipelajari maka semakin banyak ditemukan karakteristik keos di dunia ini. Meliputi semua fenomena acak di dunia ini seperti aliran air, gunung-gunung, ranting pohon, bahkan sampai detak jantung manusia. Perlu diingat kembali bahwa pengertian keos di sini bukan kacau, tetapi pola yang saking teraturnya sehingga sulit untuk diprediksi.

Tapi di sini kita harus catat bahwa sekalipun tidak bisa diprediksi bukan berarti seluruh sains menjadi tidak berguna. Buktinya semua teknologi yang selama ini kita pakai adalah produk sains. Hanya saja teori  chaos mengajarkan kita bahwa masih banyak hal yang tidak terjangkau oleh akal manusia.

Berita lainnya