Oleh: Yulieta Indriyani Lasut
Mahasiswi S2 PPKn STKIP Arrahmaniyah
Kagetnews | Opini – Sekolah adalah wahana utama pembentukan karakter generasi bangsa. Di balik gedung-gedung kelas, bukan hanya ilmu pengetahuan yang diajarkan, tetapi nilai-nilai kehidupan yang menjadi pondasi masa depan siswa. Salah satu norma mendasar yang selama ini diajarkan dalam budaya sekolah Indonesia adalah sikap menghormati guru, yang sering diterjemahkan dalam bentuk larangan untuk membantah perintah guru. Norma ini, jika ditanamkan dan dipraktikkan dengan cara yang bijaksana, akan membentuk pribadi siswa yang santun, beretika, dan menghargai otoritas yang sah.
Namun, norma ini juga sering kali disalahartikan atau bahkan disalahgunakan. Tidak sedikit siswa yang merasa tidak memiliki ruang untuk menyampaikan pendapat, apalagi ketika mereka memiliki pandangan berbeda dari guru. Di sisi lain, ada pula siswa yang mulai kehilangan rasa hormat terhadap guru, membantah secara terbuka, dan membawa nilai-nilai luar yang tidak selaras dengan budaya ketimuran kita.
Lantas, bagaimana seharusnya norma “tidak membantah perintah guru” diterapkan di lingkungan sekolah masa kini? Apakah kepatuhan mutlak menjadi satu-satunya jalan, atau justru perlu ada ruang dialog yang sehat antara guru dan siswa? Tulisan ini akan membedah secara komprehensif posisi norma tersebut dalam praktik pendidikan, dinamika yang menyertainya, serta solusi bijak agar norma ini dapat ditegakkan tanpa mengorbankan prinsip keadilan dan hak siswa untuk bersuara.
• Makna Filosofis: Guru Sebagai Sosok Pengganti Orang Tua
Dalam tradisi pendidikan Indonesia, guru bukan hanya pengajar, tetapi juga pendidik bahkan sering disebut sebagai “orang tua kedua” di sekolah. Norma “tidak membantah perintah guru” pada dasarnya berakar pada nilai penghormatan kepada orang yang lebih tua dan lebih berpengalaman. Hal ini menjadi bagian dari budaya timur yang menekankan adab dan kesantunan dalam relasi sosial.
Sikap tidak membantah guru sebenarnya bukan semata-mata bentuk ketundukan, melainkan ekspresi dari penghormatan terhadap ilmu dan proses belajar. Di sinilah pentingnya memahami bahwa norma ini bukan untuk membungkam siswa, tetapi untuk membentuk karakter yang rendah hati dan tahu tempat.
• Realita di Lapangan: Kepatuhan yang Dipertanyakan
Meski secara teoritis norma ini tampak ideal, kenyataan di lapangan menunjukkan adanya berbagai dinamika. Di satu sisi, ada sekolah yang masih mempertahankan norma ini secara kaku: siswa dilarang mengkritik guru, bahkan ketika perintah yang diberikan tidak masuk akal atau menyalahi aturan. Sementara itu, ada pula sekolah yang terlalu longgar, membiarkan siswa membantah guru tanpa dasar yang tepat, yang pada akhirnya menciptakan ketidakdisiplinan dan merosotnya wibawa pendidik.
Kondisi ini diperparah oleh kemajuan teknologi dan informasi yang mempercepat pertukaran nilai-nilai global. Banyak siswa yang menuntut kebebasan berekspresi tanpa dibarengi dengan pemahaman etika berkomunikasi. Di sinilah letak tantangan terbesar: bagaimana menjaga wibawa guru tanpa mengebiri nalar kritis siswa?
• Membantah Bukan Berarti Tidak Hormat
Penting untuk membedakan antara membantah dalam arti negatif seperti membangkang atau tidak sopan dengan mengajukan pertanyaan kritis atau pendapat yang berbeda. Dunia pendidikan modern menuntut adanya interaksi dua arah. Siswa bukan lagi objek pembelajaran yang pasif, tetapi subjek yang aktif bertanya, menanggapi, dan berpikir kritis.
Dalam konteks ini, “tidak membantah perintah guru” seharusnya tidak diartikan sebagai larangan mutlak untuk berbeda pendapat. Justru guru yang baik adalah mereka yang membuka ruang dialog, yang tetap menjaga otoritasnya tanpa merasa terancam oleh kritik atau pertanyaan dari siswa. Dengan demikian, norma ini perlu dimaknai ulang. Kepatuhan tetap penting, tetapi harus dibarengi dengan pendidikan literasi etika: bagaimana menyampaikan pendapat dengan santun, bagaimana tidak menyakiti guru saat berbeda pandangan, dan bagaimana menumbuhkan respek dalam keragaman sudut pandang.
• Norma dan Pendidikan Karakter
Penerapan norma “tidak membantah perintah guru” idealnya menjadi bagian dari pendidikan karakter. Ini tidak bisa dibangun hanya dengan hukuman atau ancaman. Harus ada proses internalisasi nilai melalui keteladanan, pembiasaan, dan dialog.
Guru harus mampu menunjukkan bahwa perintah yang diberikan adalah untuk kebaikan siswa, bukan sekadar bentuk otoritas. Sementara siswa perlu diberikan ruang untuk belajar memahami maksud di balik setiap aturan dan perintah. Dengan cara ini, kepatuhan yang dibentuk bukan karena takut, tetapi karena kesadaran.
• Peran Sekolah dan Orang Tua
Penerapan norma ini tidak bisa dilepaskan dari peran sekolah sebagai institusi dan peran orang tua sebagai mitra pendidikan. Sekolah perlu merancang kebijakan yang seimbang antara penghormatan terhadap guru dan perlindungan hak siswa. Sementara itu, orang tua perlu ikut menanamkan nilai-nilai hormat kepada guru sejak dari rumah.
Sekolah juga dapat menyelenggarakan pelatihan bagi guru tentang komunikasi efektif dan pendekatan humanis dalam mendidik siswa. Guru yang disegani adalah guru yang tegas namun tidak otoriter, yang dihormati bukan karena ditakuti, tetapi karena dicintai dan dijadikan panutan.
• Dinamika Guru dan Siswa di Era Digital
Perkembangan teknologi informasi telah membawa perubahan besar dalam interaksi sosial, termasuk di lingkungan sekolah. Siswa kini tumbuh di era digital dengan akses luas terhadap berbagai sumber pengetahuan. Situasi ini menantang peran guru sebagai satu-satunya sumber informasi. Tidak jarang siswa menemukan informasi berbeda dengan apa yang disampaikan guru, dan secara spontan mempertanyakannya.
Sayangnya, tidak semua guru siap menerima kritik atau pertanyaan dari siswa, terutama jika dianggap membantah. Di sinilah perlunya adaptasi peran guru dari otoritas tunggal menjadi fasilitator pembelajaran. Guru perlu memanfaatkan teknologi sebagai jembatan untuk membangun dialog produktif, bukan mematikannya dengan sikap defensif.
Siswa juga perlu dibekali dengan literasi digital dan etika berdiskusi. Menyanggah pendapat guru secara kasar di media sosial, misalnya, bukanlah bentuk kritik yang sehat. Sekolah harus berperan aktif dalam membimbing siswa untuk menggunakan kebebasan berekspresi secara bertanggung jawab.
• Studi Kasus Ketegangan dan Solusi di Sekolah
Di berbagai sekolah, sering muncul konflik antara siswa dan guru akibat perbedaan interpretasi terhadap norma “tidak membantah perintah guru.” Misalnya, seorang siswa dipanggil ke depan kelas untuk menjawab soal, namun ia menolak karena merasa belum siap. Guru merasa tidak dihormati, sementara siswa merasa tidak didengarkan.
Kasus seperti ini menunjukkan pentingnya komunikasi yang dua arah. Dalam sebuah sekolah menengah di Yogyakarta, konflik serupa berhasil diselesaikan dengan pendekatan dialog terbuka. Guru diberi pelatihan untuk memahami emosi siswa, sementara siswa dibimbing untuk menyampaikan keberatan secara sopan. Hasilnya, hubungan antar mereka membaik dan suasana kelas menjadi lebih kondusif.
Di sisi lain, sebuah sekolah di Jakarta menerapkan sistem “Kotak Saran Anonim” di mana siswa dapat mengkritik atau memberikan masukan terhadap proses belajar tanpa rasa takut. Guru pun terbuka membaca dan membahas saran tersebut bersama siswa. Ini menjadi contoh baik bagaimana norma kepatuhan bisa berjalan beriringan dengan kebebasan berpendapat yang beradab.
• Prinsip Restorative Justice dalam Penyelesaian Konflik Norma
Restorative justice, atau keadilan restoratif, adalah pendekatan penyelesaian konflik yang berfokus pada pemulihan hubungan dan pembelajaran sosial. Dalam konteks pelanggaran norma seperti membantah guru, pendekatan ini bisa menjadi solusi yang lebih edukatif ketimbang hanya memberikan hukuman.
Alih-alih langsung menghukum siswa yang dianggap membantah, guru dan sekolah bisa mengajak siswa berdialog, mendengar alasan di balik perilaku tersebut, dan bersama-sama mencari solusi. Proses ini juga bisa melibatkan mediator dari kalangan guru lain atau konselor sekolah.
Manfaat pendekatan ini sangat besar, siswa tidak hanya belajar bahwa tindakannya berdampak, tetapi juga merasa didengar dan dihargai. Guru pun dapat memahami latar belakang siswa dengan lebih baik, sehingga hubungan yang terjalin menjadi lebih kuat dan saling menghargai.
• Integrasi Norma dalam Kurikulum dan Budaya Sekolah
Agar norma “tidak membantah perintah guru” tidak menjadi jargon semata, perlu integrasi sistematis dalam kurikulum dan budaya sekolah. Hal ini bisa dilakukan melalui Penguatan Pendidikan Pancasila dan Budi Pekerti, materi pembelajaran yang menanamkan nilai hormat, toleransi, dan etika berkomunikasi.
Pembelajaran Berbasis Proyek (Project-Based Learning): Di mana guru dan siswa berkolaborasi menyelesaikan masalah, mengajarkan kerjasama tanpa hierarki yang kaku.
Pembuatan Kode Etik Siswa dan Guru Disepakati bersama dan dijadikan pedoman perilaku harian.
Simulasi Dialog Etis: Melalui role-play atau drama sekolah untuk mengasah empati dan kemampuan menyampaikan pendapat secara sopan.
Integrasi ini juga membutuhkan keterlibatan seluruh warga sekolah, termasuk kepala sekolah, tata usaha, dan petugas keamanan, agar tercipta budaya sekolah yang konsisten dan mendukung pembentukan karakter.
• Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan Norma
“Tidak membantah perintah guru” tetap relevan untuk diterapkan di sekolah, selama dipahami secara kontekstual dan disertai ruang bagi ekspresi siswa. Kepatuhan yang dibangun harus berbasis pada kesadaran, bukan ketakutan. Dialog, empati, dan keteladanan adalah kunci agar norma ini mendidik dan tidak menindas.
Rekomendasi yang dapat diambil adalah mengikuti atau mengadakan pelatihan reguler bagi guru tentang komunikasi empatik dan manajemen kelas partisipatif. Penguatan kurikulum karakter yang mengintegrasikan nilai kesantunan dan kebebasan berpendapat secara harmonis. Fasilitasi ruang diskusi siswa-guru, seperti forum kelas atau kotak saran yang efektif. Penerapan restorative justice dalam menyelesaikan konflik norma.
Peran aktif orang tua dan komite sekolah dalam menanamkan nilai hormat dan mendukung disiplin yang adil. Dengan pendekatan menyeluruh, norma ini bukan hanya membentuk siswa yang patuh, tetapi juga kritis, santun, dan bertanggung jawab nilai-nilai yang menjadi fondasi kuat untuk membangun masyarakat beradab di masa depan.