Membangun Bangsa Melalui Pendidikan Karakter di Era Disrupsi pada Generasi Milenial

Gambar ilustrasi. (Sumber: Wikimedia Commons)

Bagikan

Oleh : Fajar Romadhon
(Dosen STAI Sayid Sabiq Indramayu)

 

Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya. Sungguh mereka akan menghadapi masa yang berbeda dengan masamu
(Ali Ibn Abi Thalib)

Kagetnews | Ilmiah – Pendidikan karakter yang digaungkan oleh pemerintah Indonesia saat ini mengalami ketidaksinkronan antara idealitas dan realitasnya. Pasalnya penerapan  pendidikan karakter saat ini belum mampu menjadi jawaban atas pembentukan karakter generasi bangsa.

Maraknya kasus seks bebas pelajar di berbagai kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Medan dan Surabaya. Kasus narkoba yang menjangkit pelajar pun ikut marak, bahkan beberapa pelajar pun diketahui menjadi pengedarnya. Belum lagi kasus tawuran pelajar yang masih mewarnai aksi anarkis para pelajar di Indonesia. Tentunya, masih banyak lagi sederet problematika para pelajar Indonesia yang menghiasi layar kaca kita setiap hari. Hal tersebut menjadi bukti kurang berhasilnya internalisasi pendidikan karakter ke dalam jiwa generasi bangsa. 

Harus ada evaluasi terhadap pelaksanaan pendidikan karakter di Indonesia. Secara konsep baik dan bagus, namun secara pelaksanaan masih jauh dari harapan. Bisa disimpulkan masalahnya ada pada pelaksanaan. Elemen yang menjadi pelaksana pendidikan karakter di Indonesia (sekolah/guru, keluarga, masyarakat/lingkungan) harus bergotong royong menanamkan dan melaksanakan pendidikan karakter untuk generasi bangsa. Karena hanya dengan kerja kolektif segala permasalahan dapat diselesaikan dengan ringan. Sehingga dari hal ini  harus ada kesadaran bersama, bahwa penanaman pendidikan karakter untuk generasi bangsa adalah tugas bersama yang harus dilaksanakan.

Namun, era sekarang telah mengalami perubahan. Perubahan zaman yang begitu cepat, hal yang mempengaruhinya adalah teknologi informasi yang semakin canggih, mutakhir dan membantu pekerjaan manusia menjadi semakin mudah. Banyak sekali terjadi disrupsi di berbagai sektor, sektor bisnis, ekonomi, perdagangan, pendidikan, pelayanan dan sebagainya.

Ketika melihat ketimpangan pada praktek pendidikan karakter di Indonesia, kita pun melihat fenomena baru dimana banyak pula generasi bangsa yang dikenal dengan sebutan generasi milenial atau generasi Z, yang secara wawasan luas, pendidikan pun tinggi, income pun tinggi, open minded, percaya diri, kreatif,  berfikir secara out of the box, bahkan mampu menciptakan lapangan pekerjaan untuk orang lain dan memiliki daya ledak manfaat yang luas.Tentunya generasi baru milenial ini memiliki cara berfikir dan karakteristik yang berbeda dari generasi sebelumnya.

Sebagai contoh pada era disrupsi (inovasi), seorang dr. Gamal Albinsaid mampu menciptakan layanan kesehatan yang praktis dan efisien, tidak membuat ribet pasien, serta menciptakan kebermanfaatan bagi masyarakat lingkungan sekitar melalui bank sampah. Belum lagi para youtuber muda Indonesia yang menjadikan channel youtube-nya untuk kebaikan dan menebar manfaat. Selain itu ada pula layanan aplikasi Go-Jek yang mempu menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat. Serta aplikasi KitaBisa.com yang mampu menggerakan para dermawan untuk mendonasikan hartanya untuk orang-orang yang membutuhkan.

Tentu ketika melihat karakteristik generasi milenial berbeda dengan dengan generasi sebelumnya, maka upaya penanaman pendidikan karakter pun harus disesuaikan dengan karakter anak zamannya. Apabila bangsa ini berhasil di dalam mendidik generasi milenial atau generasi Z maka generasi ini akan menjadi generasi emas Indonesia 2045. Namun sebaliknya, apabila bangsa ini gagal dalam mendidik generasi milenial atau generasi Z maka Indonesia akan mengalami keruntuhannya.

Maka dalam hal ini penulis hendak mengkaji bagaimana membangun bangsa melalui pendidikan karakter di era disrupsi pada generasi milenial.

Urgensi Pendidikan

Dalam sejarah peradaban umat manusia terdapat satu episode yang perlu kita jadikan sebagai sumber inspirasi, yaitu tradisi keilmuan dalam Islam. Dengan segala keunikan dan kekhasannya ia mampu menghadirkan peradaban unggul; bukan saja unggul dari tradisinya, tetapi juga unggul dari segi manfaatnya, baik bagi umat Islam khususnya maupun bagi umat manusia umumnya.

Dalam waktu 23 tahun dakwah Nabi Muhammad SAW., telah mampu membangun suatu tatanan kehidupan yang baik. Hal ini ditandai dengan lahirnya sebuah kota yaitu Madinah al-Munawwarah, kota yang tercerahkan. Di mana kota tersebut kelak bermetamorfosis, menjelma menjadi suatu Negara (state) atau peradaban (civilization).

Peradaban Islam dimulai dengan tradisi ilmu atau tafaquh fi al-din secara terus menerus. Mulai dari turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad SAW., proses interaksi dan ideasi antar individu dan masyarakat senantiasa disadarkan pada wahyu. Ini bukti bahwa ilmu tidak hanya dalam pikiran semata, akan tetapi mewujud dalam sebuah aktivitas, baik berupa amal individu maupun amal kolektif. Dari sinilah lahir komunitas ilmiah yang mana oleh para ahli sejarah disebut ahlu al-Suffah (Kadir & Heroyati, 2016: 36).

Hal di atas menjadi gambaran bahwa membangun generasi bangsa hanya dapat dilakukan dengan jalan tradisi ilmu/pendidikan. Pendidikan di sekolah, di keluarga dan di lingkungan masyarakat. Membangun mutu generasi bangsa masih menjadi pekerjaan rumah yang sangat rumit. Karena selain pendidiknya harus bermutu, sekolahnya bermutu, sarana dan prasarananya bermutu, kini generasi bangsa pun mengalami zaman yang berbeda dari zaman-zaman sebelumnya. Otomatis sebagai seorang pendidik, harus mampu dalam beradaptasi dengan karakter generasi bangsa sekarang yang biasa dikenal dengan generasi milenial atau generasi Z.

Maka sangatlah berkorelasi antara wahyu pertama yang turun kepada Nabi Muhammad Saw., dengan urgensi pendidikan. Bahwa pendidikan atau budaya ilmu menjadi misi dari Al-Qur’an. Perintah Iqra’ dalam Al-Qur’an bukan saja membaca artinya, namun lebih luas lagi adalah menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-ciri dan sebagainya yang kesemuanya bermuara pada arti menghimpun (Shihab, 2009: 454).

Berkaitan dengan urgensi penanaman pendidikan karakter, Lickona dalam Mansur (2016: 19-20) memaparkan beberapa alasan mengenai pentingnya pendidikan karakter, sebagai berikut:

  1. Banyaknya generasi muda saling melukai karena lemahnya kesadaran pada nilai-nilai moral;
  2. Memberikan nilai-nilai moral pada generasi muda merupakan salah satu fungsi peradaban yang paling utama;
  3. Pendidikan karakter yang efektif membuat sekolah lebih beradab, peduli pada masyarakat dan mengacu pada performasi akademik yang meningkat;
  4. Tidak ada sesuatu pendidikan yang bebas nilai. Sekolah mengajarkan nilai-nilai setiap hari melalui ataupun tanpa desain.

Penulis menyimpulkan bahwa pendidikan umum ataupun pendidikan berbasis karakter sangat penting bagi peradaban suatu bangsa yang diinisiasi oleh masing-masing generasi zaman.

Karakter Bangsa

Karakter adalah tabiat; sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain. Karakter adalah sesuatu yang menunjukkan kepribadian. Jadi karakter bisa disimpulkan sebagai kepribadian dalam praktik atau sebuah perwujudan dari kepribadian (Nugroho, 2018: 59).

Menurut Koentjaraningrat dan Mochtar Lubis dalam Listyarti (2012: 4) bahwa karakter bangsa Indonesia yaitu meremehkan mutu, suka menerabas, tidak percaya diri sendiri, tidak berdisiplin, mengabaikan tanggung jawab, hipokrit, lemah kreativitas, etos kerja buruk, suka feodalisme, dan tidak punya malu.

Karakter lemah tersebut menjadi realitas dalam kehidupan bangsa Indonesia. Nilai-nilai tersebut sudah ada sejak bangsa Indonesia masih dijajah bangsa asing beratus-ratus tahun yang lalu. Karakter tersebut akhirnya mengkristalisasi pada masyarakat Indonesia. Bahkan ketika bangsa ini sudah merdeka pun karakter tersebut masih melekat. Kondisi inilah yang kemudian melatarbelakangi lahirnya pendidikan karakter oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Berkaitan dengan pendidikan karakter, Lickona dalam Mansur (2016: 6) mendefinisikan pendidikan karakter sebagai upaya yang sungguh-sungguh untuk  membantu seseorang memahami, peduli dan bertindak dengan landasan nilai-nilai etis. Pendidkan karakter mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (desiring the good), dan melakukan kebaikan (doing the good).

Pendidikan karakter di Indonesia pada tahun 2011 mulai disisipkan pada seluruh tingkat pendidikan. Beberapa nilai karakter yang hendak dibangun oleh bangsa Indonesia melalui pendidikan adalah karakter religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkukngan, peduli sosial, dan tanggung jawab (Listyarti, 2012: 5-8).

Menurut Mansur (2016: 21) bahwa nilai-nilai luhur yang diinternalisasikan dalam pendidikan karakter berpijak pada karakter dasar manusia, yang bersumber dari agama yang seringkali disebut sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah : cinta kepada Allah dan ciptaan-Nya, tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih saying, peduli, kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan.

Generasi Milenial

Menurut Anggraeny (2017: 2) bahwa generasi milenial adalah generasi Y dan Z. Generasi Y adalah generasi yang lahir tahun 1980 hingga 2000 (saat ini di tahun 2018 berumur 18 sampai 37 tahun). Generasi Z adalah generasi generasi yang lahir tahun 1995-2010 (saat ini berumur 7 sampai 22 tahun).

Generasi milenial memiliki karakteristik yang unik dan berbeda dari generasi sebelumnya, Anggraeny (2017: 3-8) menguraikan karakteristik generasi milenial secara apik, sebagai berikut: 

  1. Percaya diri, generasi millenial ini adalah orang yang sangat percaya diri, berani mengemukakan pendapat, dan tidak sungkan-sungkan berdebat di depan publik;
  2. Kreatif, generasi millenial ini biasa berfikir out of the box, kaya akan ide dan gagasan, serta mampu mengkomunikasikan ide dan gagasan itu dengan cemerlang;
  3. Terhubung (connected), generasi yang pandai bersosialisasi terutama dalam komunitas yang mereka ikuti, mereka juga aktif berselancar di media sosial dan internet. Namun, generasi ini juga sangat rentan dengan pengaruh negatif dari internet;
  4. Emosional, generasi yang memiliki sensitifitas dalam merasa, mental yang kuat dan meluap-luap. Maka generasi ini lebih banyak menahan emosi demi menjaga hubungan dengan orang lain;
  5. Terbuka (open minded), generasi ini terbuka dalam mengungkapkan sesuatu, terkesan blak-blakan tanpa etika. Lebih menyukai mengungkapkan fakta apa adanya, walaupun terkadang kebablasan;
  6. Fleksibel, generasi ini memiliki sikap luwes, artinya mudah beradaptasi dengan situasi apapun, cepat dalam mengikuti trend zaman.
  7. Menabung (saving), tipe menabung generasi ini adalah easy come easy go. Generasi millenial lebih mudah membelanjakan uang tabungan mereka untuk sesuatu yang diinginkan, seperti travelling.

Perlu diketahui pula bahwa generasi milenial dari sisi budaya, pengetahuan, dan perkembangan sosial, generasi ini sangat rentan “menelan” begitu saja apa yang menurut naluri mereka asyik dan menarik, tanpa memperdulikan batasan agama dan norma, terlalu permisif.

Hal tersebut pula yang membuat banyak orang tua tampak kewalahan dalam menghadapi perilaku anak. Sebagian ada yang mengambil tindakan ekstrem dengan mengisolir anak dari perkembangan zaman. Sebagian justru apatis dan membiarkan anaknya tumbuh sesuai dengan perkembangan zaman yang berlangsung.

Maka para pendidik atau orang tua harus mampu beradaptasi dengan karakteristik generasi millenial guna memudahkan dalam melakukan pendekatan dan pendidikan. Ini semua menuntut para pendidik untuk terus belajar dan meng-upgrade kualitas diri.

Era Disrupsi

Disrupsi adalah sebuah inovasi. Inovasi yang akan menggantikan seluruh sistem lama dengan cara-cara baru. Disrupsi berpotensi menggantikan pemain-pemain lama dengan yang baru. Disrupsi menggantikan teknologi lama yang serbafisik dengan teknologi digital yang menghasilkan sesuatu yang benar-benar baru dan lebih efisien, juga lebih bermanfaat (Kasali, 2018: 34).

Sebagai contoh dari peristiwa disrupsi adalah runtuhnya perusahaan nokia walaupun perusahaan nokia tidak melakukan kesalahan apapun. Tiba-tiba hilang tergerus oleh zaman. Kemudian, kita menyaksikan tiba-tiba Blue Bird harus menghadapi gempuran mobil-mobil yang tak terlihat bermerek taksi, tidak berpelat nomor kuning, dan tidak beroperasi sebagai taksi. Selanjutnya, tiba-tiba angkutan umum mulai resah karena mengalami penurunan pendapatan ketika harus berhadapan dengan Go-Jek dan Grab. Dalam dunia pendidikan beberapa peran guru pun digantikan oleh mesin pencari google dan artificial intelligent (AI) yang mampu memunculkan referensi yang dibutuhkan. Hal-hal seperti ini disebut dengan disruption. Dalam bahasa yang lebih mudah disruption adalah hadirnya masa depan di masa kini. Siapa yang mampu beradaptasi akan berjalan dengan tenang, siapa yang tidak beradaptasi akan tergerus zaman. 

Generasi milenial cenderung lebih mudah beradaptasi dengan era digital atau disrupsi ini. Karena generasi milenial adalah generasi yang terkoneksi dengan internet secara intensif dan memiliki pengetahuan yang luas. Selain itu, generasi milenial juga akrab dengan digitalisasi.

Membangun Karakter Bangsa Pada Generasi Milenial

Upaya membangun karakter suatu bangsa melalui pendidikan pada generasi milenial, generasi yang sangat berbeda dari generasi-generasi sebelumnya, tentu harus disesuaikan dengan kondisi semangat zamannya. Perkataan Ali Ibn Abi Thalib yang dijuluki sebagai gerbang ilmunya Rasulullah SAW., sangat memberi isyarat kepada para pendidik pada setiap periode zamannya. Beliau berkata “Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya. Sungguh mereka akan menghadapi masa yang berbeda dengan masamu”. 

Menurut Anggraeny (2017: 14) bahwa mendidik anak sesuai dengan zamannya adalah mengarahkan anak-anak pada kemampuan-kemampuan tertentu yang memungkinkan mereka menjadi problem solver atas segala macam permasalahan-permasalahan yang dihadapi.

Mohammad Nuh (2013: 18) menyatakan bahwa pendidikan karakter yang hendak dibangun adalah : (a) yang menumbuhkan kesadaran sebagai makhluk dan hamba Tuhan Yang Maha Esa; (b) yang terkait dengan keilmuan/kompetensi; (c) yang menumbuhkan rasa cinta dan bangga menjadi bangsa Indonesia.

Untuk membangun generasi yang memiliki kemampuan berfikir orde tinggi, metodologi dan materi pembelajaran yang merangsang tumbuhnya kepenasaran intelektual haruslah lebih ditonjolkan untuk membangun pola pikir, tradisi, dan budaya keilmuan, menumbuhkan kreativitas dan sekaligus daya inovasi. Otomatis peran guru yang berkualitas juga menjadi kunci keberhasilan (Nuh, 2013: 19).

Budaya keilmuan merupakan modal penting dan menjadikan semakin rasional dalam menyelesaikan berbagai permasalahan dan tantangan. Dengan kreativitas dan daya inovasi, semakin cerdas dalam mengelola sumber daya yang bangsa miliki, semakin tinggi nilai tambah yang bisa diberikan. Pada akhirnya bisa meningkatkan kesejahteraan yang lebih signifikan. Inilah pendidikan karakter yang terkait dengan keilmuan dan keterampilan.

Hal yang paling fundamental dalam bahasan mendidik generasi sesuai dengan zamannya adalah bagaimana orang tua dan guru menjadikan putra-putri mereka haus akan ilmu. Tentu ini bukan pekerjaan ringan, terlebih lagi jika orang tua dan guru tidak memiliki ketertarikan yang tinggi terhadap ilmu (Anggraeny, 2017: 14). Rasa selalu ingin menuntut ilmu harus ditumbuhkan sedini mungkin. Disinilah kandungan substansi dari hadits Nabi Muhammad Saw., “Menuntut ilmu itu dari lahir (bayi) hingga liang lahat (mati)”, benar-benar harus diimplementasikan.

Karakter baik yang dicita-citakan dalam konsep pendidikan karakter serta beberapa ulasan yang telah dibahas di atas harus benar-benar terinternalisasi pada setiap generasi. Jika saja karakter tersebut melekat dalam sanubari anak bangsa maka bukan tidak mungkin jika bangsa ini mampu bersaing dengan Negara-negara lain dan maju.

Nugroho (2018: 55) menyebutkan bahwa pemikiran tentang “hubungan karakter bangsa” dengan “daya saing bangsa” di kalangan praktisi pemerintahan maupun akademisi dipengaruhi oleh model piker pembangunan develop-mentalistik dengan pendekatan kultural dan psikologis.

Sebagai contoh, Korea menjadi bangsa yang maju karena karakter bangsanya yang menyukai jam kerja yang panjang. Begitupula Tiongkok, berhasil karena memiliki karakter yang diangkat dari lima nilai Konfusius, yaitu tentang motivasi, pendidikan, pengelolaan uang, keluarga dan persahabatan.

Menyiapkan Generasi Indonesia Emas

Menurut Ibnu Khaldun dalam Nuh (2013: 62) bahwa dalam 100 tahun perjalanan suatu bangsa akan lahir empat model pemuda (generasi). Pertama, generasi pendobrak, generasi yang berani melakukan perubahan secara mendasar. Kedua, generasi pembangun, generasi yang dengan segala kesederhanaan dan solidaritas yang tulus tunduk di bawah otoritas kekuasaan yang didukungnya, bekerja secara bersistem, memiliki rencana dan target yang terukur. Ketiga, generasi penikmat, generasi yang diuntungkan secara ekonomi dan politik dalam sistem kekuasaan, sehingga tidak lagi peka terhadap kepentingan bangsa dan Negara. Keempat, generasi masa bodoh, generasi yang tidak memiliki hubungan emosional dengan Negara.

Lantas, bagaimana posisi Indonesia pada 2045 atau 100 tahun setelah Indonesia merdeka? Beberapa lembaga riset global meramalkan posisi Indonesia akan semakin naik dalam peran global.

Lembaga riset Citibank menyebutkan Indonesia akan menjadi salah satu Negara penting dalam skala global. Indonesia bahkan dikelompokkan sebagai Global Growth Generators atau penggerak ekonomi global. Pada 2030, Indonesia diprediksi mejadi Negara ekonomi terbesar nomor tujuh tingkat dunia, setelah China, AS, India, Jepang, Brazil, dan Rusia. Pada tahun 2050, Indonesia menjadi Negara terbesar nomor empat tingkat dunia, setelah India, China, dan AS. Indonesia akan menjadi Negara berpenghasilan tinggi pada saat 100 tahun kemerdekaan (Baswedan, 2015: 182).

Untuk mencapai apa yang telah diramalkan oleh beberapa lembaga riset mengenai kemajuan Indonesia di masa depan, maka yang harus dilakukan adalah mengembangkan generasi pendobrak dan pembangun; serta mengikis generasi penikmat dan masa bodo. Salah satu sistem rekayasa terbaik untuk mencetak generasi yang diharapkan adalah pendidikan.

Para generasi pendobrak itu adalah manusia-manusia yang disebut entrepreneur, yaitu pribadi-pribadi yang menginginkan perubahan. Pribadi tersebut adalah mereka yang berfikir kritis dan tidak puas dengan keadaan yang berlaku. Mereka menginginkan kehidupan yang lebih baik dan lebih maju. Pemikiran dan aksi mereka merupakan pioneer yang berani mengambil resiko untuk suatu perubahan (Nuh, 2013: 64).

Daya nalar kritis juga mampu menempatkan diri mereka dalam perubahan zaman yang tidak bisa dibendung. Nalar kritis mampu mendorong pemuda untuk membaca tanda-tanda zaman. Mampu membaca peluang sekaligus memiliki keyakinan bahwa di setiap masalah pasti ada solusi, dan di setiap krisis pasti ada kesempatan.

Kemampuan bernalar kritis harus diimbangi dengan semangat berkerja atau berusaha. Sebagaimana Allah berfirman dalam QS. Hud : 6, “Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya.” Selain itu, Allah pun berfirman dalam QS. Al-Mulk : 15, “Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka jelajahilah di segala penjurunya dan makanlah sebagain dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” Menurut Setiawan bahwa Allah memberi fasilitas bumi bukan sekedar untuk dinikmati, melainkan agar manusia menelusuri setiap sisi penjurunya untuk mampu berbuat dan berkarya, di manapun kaki berpijak, di situ pula manusia aktif dan kreatif. Dalam QS. An-Nisa : 100, terdapat perintah untuk berhijrah agar mampu meraih rezeki-Nya yang luas. Dengan hijrah, manusia belajar dan memahami tradisi dan kebudayaan bangsa lain.

Menyiapkan generasi emas Indonesia untuk menyambut 100 tahun kemerdekaan Indonesia pada tahun 2045, stakeholder yang ada hari ini di Indonesia harus saling menopang dan bergotong-royong untuk melahirkan generasi-generasi pemuda harapan bangsa. Tentunya, setiap pendidik atau orang tua mengidamkan lahirnya sosok pemuda yang digambarkan dalam Al-Qur’an : QS. Al-Anbiya :60; QS. Al-Kahfi : 10-13; QS. At-Thur : 21; Al-Maidah : 54; dan QS. Maryam : 42, dalam berbagai karakter: sebagai bintang dan tanda perubahan, generasi penerus, generasi pengganti, dan generasi pembaharu.

Kesimpulan

Penerapan pendidikan karakter di Indonesia walaupun belum sempurna dan seberhasil yang diharapkan, namun harus terus ada upaya yang massif dan intensif untuk mengimplementasikan dan menanamkan pendidikan karakter pada generasi bangsa.

Pendidikan karakter pun harus disesuaikan dengan karakteristik generasi muda Indonesia saat ini, yang lebih dikenal dengan generasi millenial. Karena generasi milenial ini memiliki keunikan dan karakteristik yang berbeda dari generasi sebelumnya.

Karena karakteristiknya yang terbuka dan terhubung dengan internet secara intens, maka generasi ini cenderung menyukai hal yang praktis dan berpengetahuan luas. Selain itu generasi milenial ini memiliki kekurangan dan kelebihan. Kekurangannya, generasi ini akan menjadi sampah masyarakat apabila tidak terbina dan terdidik dengan baik. Kelebihannya dari generasi ini adalah apabila dibina dan dididik dengan baik, maka akan menjadi generasi emas Indonesia 2045.***

Berita lainnya