May Day dan Buruh Tani: Membungkuk untuk Bangsa, Tapi Tak Pernah Ditegakkan Haknya

Gambar ilustrasi. (Ist)

Bagikan

Oleh: Try Utomo R.
Kabid Pertanian, Peternakan dan Perikanan Lucky Center

Kagetnews |  Opini – Setiap tanggal 1 Mei, dunia memperingati Hari Buruh Internasional atau lebih dikenal sebagai May Day. Di berbagai kota, ribuan buruh turun ke jalan membawa spanduk, orasi, dan tuntutan. Mereka menuntut upah layak, jaminan sosial, hak berserikat, dan perlindungan kerja. Tapi di balik gegap gempita perjuangan buruh kota, ada satu kelompok yang nyaris tak terdengar suaranya, yakni buruh tani.

Mereka yang bekerja dari pagi hingga senja di sawah, ladang, dan kebun. Mereka yang memproduksi makanan kita sehari-hari. Namun hidup mereka sendiri jauh dari sejahtera.

• Lumbung Padi, Tapi Buruhnya Lapar

Ambil contoh Kabupaten Indramayu, yang dikenal sebagai lumbung padi nasional. Data BPS mencatat, produksi padi Indramayu pada tahun 2020 mencapai 1,36 juta ton gabah kering giling, dengan luas panen lebih dari 226 ribu hektare. Namun di balik capaian ini, nasib buruh tani justru memprihatinkan.

Sebagian besar buruh tani di Indramayu bekerja tanpa kontrak tetap, tanpa jaminan kesehatan, dan dengan upah harian yang sangat minim. Sistem tradisional seperti “bawon” pembagian hasil panen sebagai upah masih berlaku. Namun, ketika hasil panen merosot karena cuaca atau harga anjlok, buruhlah yang pertama kali dikorbankan.

Upah nominal buruh tani secara nasional menurut BPS (2022) hanya sekitar Rp59.000 per hari. Di tingkat lokal, nilainya bisa lebih rendah, tanpa kepastian kerja esok hari. Ini jauh dari angka kebutuhan hidup layak di pedesaan, apalagi jika buruh tani juga harus menghidupi anak-anak mereka.

Tak Punya Lahan, Tak Punya Suara

Menurut Serikat Petani Indonesia (SPI), lebih dari 60% petani di Indonesia tidak memiliki lahan. Mereka bekerja sebagai penggarap atau buruh tani di tanah milik orang lain. Di sisi lain, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat bahwa 1% elit menguasai lebih dari 56% tanah produktif di negeri ini. Kesenjangan ini bukan hanya soal ekonomi, tapi juga soal ketidakadilan struktural yang diwariskan dari masa ke masa.

Di Indramayu, meskipun sudah ada kebijakan lokal seperti perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) seluas 84.000 hektare, realitas di lapangan menunjukkan bahwa banyak buruh tani tetap hidup dalam ketidakpastian. Mereka tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan pertanian, tidak memiliki posisi tawar dalam pasar, dan kerap jadi korban alih fungsi lahan atau proyek skala besar seperti food estate.

May Day Bukan Milik Kota Saja

May Day adalah simbol perjuangan kelas pekerja yang lahir dari tragedi dan pengorbanan. Sejarah mencatat, pada tahun 1886 di Chicago, ribuan buruh menuntut jam kerja 8 jam sehari. Beberapa pemimpinnya dihukum mati. Tapi dari sana, lahirlah solidaritas global yang hingga kini terus membara.

Namun sudah saatnya kita menyadari: buruh bukan hanya mereka yang bekerja di pabrik atau kantor. Buruh juga mereka yang bekerja di ladang, menanam padi, menyabit rumput, memanen buah. Mereka yang membungkuk tiap hari, tapi tak pernah ditegakkan martabatnya.

May Day harus jadi momentum untuk mengakui dan memperjuangkan hak-hak buruh tani.

Upah layak berbasis kebutuhan hidup riil di desa

Jaminan sosial dan perlindungan ketenagakerjaan di sektor informal.

Reforma agraria sejati yang berpihak pada petani kecil dan buruh tani.

Dukungan terhadap pertanian agroekologi dan koperasi tani sebagai pilar ekonomi kerakyatan.

Jika kita bicara soal kedaulatan pangan, maka keadilan agraria dan kesejahteraan buruh tani adalah syarat utama. Tanpa buruh tani, tidak ada nasi di piring kita. Tanpa petani yang merdeka, bangsa ini tak akan pernah berdaulat.

May Day bukan hanya milik buruh kota. May Day juga milik buruh tani dan mereka juga berhak untuk hidup layak, bermartabat, dan bersuara.

Berita lainnya