Labelisasi Penerima Bansos: Dongkrak Popularitas atau Blunder Politik?

Carkaya Ketua DPD Jabar Masyarakat Pemerhati Pangan Indonesia ( MAPPAN INDONESIA ).

Bagikan

‏‏Kerja-kerja Pemerintah Kabupaten Indramayu, lewat Dinas Sosial, untuk melakukan verifikasi data penerima Bantuan Sosial (Bansos) perlu diapresiasi. Pembaruan data secara reguler yang dilakukan melalui operator SIKS-NG di tingkat desa dan kelurahan nyaris memenuhi amanah yang diberikan lewat Kepmensos Nomor 150 Tahun 2022.

Sampai pada titik tersebut, kerja-kerja yang dilakukan oleh Pemkab Indramayu sudah berjalan sesuai dengan relnya. Tentu hal ini perlu diapresiasi, sebab meskipun pembaruan DTKS harus sudah dilakukan sejak tahun 2018, namun langkah kongkritnya di Indramayu baru tampak kali ini dibawah kepemimpinan Bupati Nina Agustina.

Sayangnya ada yang perlu dikritik dari salah satu langkah yang dilakukan oleh Pemkab Indramayu lewat Dinas Sosial ini. Yakni perihal labelisasi rumah dari Keluarga Penerima Manfaat (KPM) bansos. Dimana setiap rumah penerima bansos akan dipasang stiker bertuliskan KELUARGA MISKIN dengan logo Kabupaten Indramayu, dan tentu saja foto Bupati Indramayu.

Sekilas tidak ada yang perlu diperdebatkan dalam hal ini. Sebab ketika petugas pemasang stiker yang berdasarkan surat bernomor 460/3620/Dinsos adalah aparat desa dibantu dengan Pendamping PKH dan TKSK memasangnya ke rumah-rumah, maka seseorang yang tidak bersedia dipasang stikernya diharapkan mundur dari KPM bansos.

Dengan begitu penerima bansos yang merasa kaya, malu, atau tidak bersedia rumahnya dipasang stiker dengan alasan lain, dengan sendirinya akan mundur. Maka penerima bansos di Kabupaten Indramayu akan tepat sasaran. Sebab yang merasa sudah kaya, akan mundur karena malu ditempel stiker. Benarkah demikian?

Jika menilik daerah lain yang sudah melaksanakan labelisasi KPM bansos, baik dengan stiker maupun cat, sepertinya tidak berimbas cukup banyak terhadap kualitas data penerima bansos. Sebab KPM yang sudah sejahtera dengan rumah mentereng hanya akan mendapat sanksi sosial saja. Kalau KPM yang bersangkutan bisa berapologi dengan sanksi sosial tersebut, maka kualitas data itu tetap saja stagnan.

Malpraktek Kerja Sosial

Satu hal yang penulis soroti disini adalah soal labelisasi. Yang pertama adalah stigma ‘keluarga miskin’ yang dilabelkan pada rumah KPM. Kata ‘miskin’ merupakan stigma status ekonomi yang masuk pada kategori negatif. Ia bersamaan dengan stigma negatif lainnya seperti tentang kondisi fisik (disabilitas), identitas sosial (pekerja seks komersial), dan seterusnya.

Keluarga miskin masuk pada kelompok terstigmatisasi (stigmatized group) dimana merupakan kelompok orang yang memiliki pengalaman diskriminasi dan eksklusi di masyarakat karena stigma yang dilekatkan kepada mereka. Jadi sudah tugas dari semua pihak untuk menjaga agar stigma tersebut tidak melulu ditempel pada penyintasnya.

Lantas apa yang mesti dilakukan dengan kelompok terstigma yang ada di tengah-tengah masyarakat? Ya lakukanlah kerja-kerja sosial yang baik agar mereka memiliki keberfungsian sosial di masyarakat. Bukan melakukan labelisasi dengan stiker.

Jika kemudian masih ada penerima bansos yang sudah sejahtera, masalahnya memang tidak tunggal. Bisa jadi karena inclusion error pada saat pelaksanaan pendataan. Misalnya pada waktu didata KPM itu memang miskin, namun pada saat pemberian bansos KPM itu sudah kaya.

Faktor lain yang menyebabkan data itu tidak tepat sasaran bisa juga karena adanya faktor kekerabatan maupun kedekatan hubungan politik di tingkat desa pada saat pendataan. Jalan keluarnya, lakukan eksekusi di operator desa dengan terlebih dahulu melakukan pembinaan pada KPM yang sudah sejahtera.

Pendekatan metodologis semacam itu justru akan lebih elegan dilakukan dan lebih berwibawa dibandingkan dengan gagah-gagahan melakukan labelisasi pada seluruh penerima bansos.

Dongkrak Popularitas atau Blunder Politik?

Selain menyoroti dasar dari pelabelan itu, penulis juga menyoroti bentuk stiker yang menyertakan foto Bupati Indramayu, Nina Agustina.

Penambahan foto kepala daerah pada nyaris semua bentuk atribut publikasi pemerintahan yang dipajang di publik memang sudah lumrah dilakukan di daerah manapun. Dari tingkat kementerian hingga level dusun juga melakukannya.

Biasanya, ini dugaan penulis, pejabat pemerintahan yang dipilih langsung oleh rakyat, memiliki motivasi popularitas untuk menghadapi pemilihan selanjutnya. Maka bisa saja, sekali lagi ini dugaan, motif penambahan foto Bupati Indramayu di stiker labelisasi KPM tersebut memiliki motif tersebut. Mohon maaf jika salah.

Penulis hanya bermaksud mengoreksi, alih-alih melakukan kritikan. Sebab apa yang dilakukan dengan stiker itu sudah keliru sejak awal mula. Upaya untuk meningkatkan popularitas pada sesuatu yang keliru, hanya akan menjadi blunder belaka.

Upaya meningkatkan popularitas seharusnya dilakukan pada kerja-kerja donasi, pembangunan, maupun pencapaian prestasi berupa pemberian penghargaan. Jika upaya tersebut dilakukan pada stigmatisasi negatif sebuah kelompok sosial dalam hal ini keluarga miskin, maka sebaiknya program labelisasi itu dihentikan saja.

Pemkab Indramayu melalui Dinas Sosial bisa mengalihkan biaya pencetakan stiker itu kepada pemberian bantuan pada kelompok sosial yang rawan, bisa juga pada pembuatan shelter anak jalanan maupun ODGJ. Banyak hal yang bisa dilakukan jika anggarannya tersedia dan dipadukan dengan pola pikir yang kreatif.

Sebab secara politik, publik akan mengingat bahwa Bupati Indramayu Nina Agustina adalah sosok yang memberikan label keluarga miskin pada ratusan ribu penduduk Indramayu. Apakah hal itu berimbas baik bagi Nina Agustina sendiri, maupun partainya pada Pemilu 2024 mendatang?

Carkaya Ketua DPD Jabar Masyarakat Pemerhati Pangan Indonesia ( MAPPAN INDONESIA )

Berita lainnya