Kemiskinan menjadi masalah sosial, sebab dari situ muncul pola diskriminasi didalam masyarakat. Peran negara dalam hal ini Kementerian Sosial di tingkat pusat, dan Dinas Sosial di level daerah, memiliki tanggung jawab untuk mengentaskan kemiskinan serta mereduksi diskriminasi tersebut.
Pemberian bantuan sosial (bansos) untuk mengurangi kesenjangan yang terjadi antara si miskin dan si kaya dipandang perlu. Sebab lewat pemberian bantuan sosial, si miskin bisa sedikit terbantu secara ekonomi. Dengan harapan, program pemberian bantuan sosial ini akan menciptakan keberfungsian sosial pada si miskin tersebut.
Pelan namun pasti, pemberian bantuan sosial dan program-program pengentasan kemiskinan lainnya harus mengedepankan tujuan akhir untuk mengubah kualitas hidup dan mentalitas si miskin tersebut.
Ibarat guru, maka pemberian bantuan sosial tersebut merupakan bentuk pendidikan yang nyata bagi murid yang masih belum bisa membaca maupun menghitung. Sang guru tidak boleh dan mungkin tak akan tega melabeli si murid yang masih belajar itu dengan ‘si murid bodoh’. Meskipun pada kenyataannya, memang si murid itu tertatih-tatih belajar di sekolah.
Masalah yang muncul dari pemberian bansos adalah tidak tepat sasaran, baik karena inclusion error maupun ada exclusion error. Hal ini terjadi karena dinamika ekonomi pada masyarakat. Namun bisa jadi pula karena pola kekerabatan politik yang dianut masyarakat.
Sasaran bansos yang tidak tepat, sebagaimana diatur lewat regulasi Kementerian Sosial, yakni Permensos Nomor 3 Tahun 2021, memiliki mekanisme yang jelas, transparan, dan terukur. Adapun pelaksanaannya kembali pada beragam faktor di lapangan.
Kriteria penerima bansos, sejak dulu selalu tetap, yakni miskin. Berbagai definisi miskin dari berbagai lembaga dan para ahli selalu nyaris sama. Hanya berbeda pada beberapa hal kecil saja. Yang jelas, tidak di definisi manapun orang miskin yang memiliki mobil, rumah mewah, sawah berhektar-hektar dan penghasilan yang berlebih.
Lantas jika di tengah-tengah masyarakat masih saja terjadi sebutan “bansos tidak tepat sasaran”, maka yang salah bukanlah orang-orang yang betul-betul miskin. Jadi sangat tidak tepat sasaran jika mereka menjadi sasaran dari labelisasi apapun bentuknya.
Sebab untuk memutakhirkan data agar tepat sasaran, mekanisme yang ditempuh harus dengan tindakan-tindakan yang persuasif. Dengan terlebih dahulu melakukan verifikasi yang ketat dan meningkatkan kualitas data usulan.
Labelisasi
Perihal labelisasi yang terjadi di Indramayu, sudah saya sebut sebelumnya bahwa hal tersebut merupakan tindakan bullying terhadap keluarga miskin. Mereka yang miskin, diberi label miskin, bukannya malah dimotivasi agar keluar dari kubangan kemiskinan.
Sama halnya dengan masalah sosial lain yang membutuhkan penanganan. Para penyintasnya tidak membutuhkan label. Mereka butuh diberdayakan agar keberfungsian sosialnya kembali pulih.
Labelisasi merupakan bentuk stigma, yang tak hanya menyakiti penyintas di satu sisi, namun disisi lain merusak mentalitas mereka untuk bangkit dari masalah sosial yang diderita.
Jika kemudian labelisasi ini ditujukan untuk transparansi data, pemetaan penerima bansos, dan mendorong ketepatan penerima bansos, regulasi di Kementerian Sosial sudah mengaturnya secara gamblang. Yang perlu dicatat, tidak ada dalam regulasi pusat yang menyebut labelisasi merupakan sebentuk mekanisme pengelolaan data.
Keluarga penerima manfaat bansos yang memang tidak tepat sasaran mungkin saja memilih keluar dari kepesertaan. Tapi mereka yang benar-benar miskin akan tetap terstigma sebab ada stiker KELUARGA MISKIN di pintu rumahnya.
Sakit hatinya mereka akan menjadi dosa dari stake holder di Kabupaten Indramayu yang bertanggungjawab terhadap labelisasi KPM bansos tersebut.
Tulisan ini dibuat oleh Carkaya, Ketua DPD Jabar Masyarakat Pemerhati Pangan Indonesia ( MAPPAN INDONESIA )