Kepemimpinan Negarawan

Gambar Ilustrasi. (Istimewa)

Bagikan

Oleh: Hasbi Indra

Kagetnews | Opini – Sebentar lagi akan diberi pilihan pemimpin penguasa-negarawan atau penguasa.pengusaha. Lima tahun lagi bila salah dalam memilih pemimpin tertinggi di negeri ini, cita konstitusi semakin jauh. Misalnya bangsa yang kini  berhutang dekat di angka 8000 trilyun  potensials  bertambah, rakyat yang akan membayarnya temasuk 39 juta lebih yang miskin dan menganggur yang jumlahnya akan bertambah yang ikut dibebani melunasi, dan ironi lainnya akan digambarkan.

Debat capres-wapres untuk menemukan pemimpin yang berkualitas nasional dan internasional yang pantas di bangsa yang  telah ada  jutaan sarjananya. Menganalisa model kepemimpinan 5 tahun ke depan yang perlu dipertimbangkan. Selayaknya pemimpin di era Di Orde lama dan  Orde Baru telah tampil kepemimpinan berkualitas tinggi yang menandainya harus diraih kembali.

Ada sosok-sosok produk kepemimpinan di negeri ini yang akan bertarung untuk tahta yang dalam waktu  dekat sangat menentukan masa depan bangsa. Apapun sistem yang dimiliki posisi presiden atau di posisi puncak tertinggi di suatu bangsa   sangat menentukan apakah bangsa itu  bisa bangkit atau sebaliknya. Atau ada yang mengatakan dengan besarnya potensi manusianya namun saat ini dengan kondisi ironi yang tercitra  dalam  “bodoh kolektif”  atau tak cerdas atau dengan katagori lain bangsa berada di posisi jalan di tempat atau tak mengalami perubahan dari era sebelumnya dan bahkan mengalami penurunan.

Tulisan ini sebagai urun rembuk agar bangsa tak semakin jauh dari cita konstitusi.  Bangsa seharusnya telah meraih cita rakyat terwujud keadilan dan kesetaraan manusia serta kemakmuran dirasakan seluruh rakyatnya. Namun  bangsa yang konon SDA yang masih kaya raya begitu pula SDM manusia yang jumlahnya juga sangat banyak dan lengkap, ahli apapun ada di negeri ini. Bangsa yang besar, bangsa berpegang pada Pancasila, bangsa yang beragama, bangsa yang telah lengkap instrumen budaya dan keadabannya dan bangsa yang telah memiliki jutaan sarjana yang telah  ribuan doktor atau profesor agar supaya tak lagi tercitera dalam kolam yang disebutkan. Konsep atau teori telah banyak diteliti tentang kebangsaan atau ketatanegaraan, teori ekonomi, teori keadilan, kemanusiaan dan kemakmuran telah banyak dikaji, dipahami dan di dalami jangan membiarkan dirinya berada di kolam itu.

Tulisan ini bagian dari mengingatkan kembali ke jati diri sebagai bangsa yang berkualitas hebat seperti yang diperlihatkan oleh Soekarno, Hatta, Agussalim, Natsir, Syahrir dan puluhan nama lain sekalipun mereka ada yang berijazah sekolah menengah  yakni Agussalim tetapi kualitas mereka berkualitas intelektual dan mampu tampil di dunia internasional. Lalu era kemudian di masa Soeharto ada BJ Habibie, Wijoyo Nitisastro, Emil Salim, Ali Wardana, Daud Yusuf, Mochtar Kusumaatmadja dan puluhan nama lain yang itu harus diraih dan dihadirkan kembali. Bangsa yang pernah dipimpin kaum teknokrat yang kini terasa ditinggalkan hanya menjadi penonton perjalanan bangsa dan terasa bangsa semakin jauh dari cita konstitusinya.

Bangsa yang tak layak juga ada kenyataan rakyat di angka – 1 persen  manusia super kaya, satu orang kekayaannya berbanding 100 juta manusia di negeri ini, – 5 persen sudah makmur dan 95 persen lebih terancam di kolam kemiskinan dan  kemiskinan akut ada di angka 39 juta lebih, ada pengangguran yang jumlahnya juga jutaan, bangsa yang berhutang di angka 8000 trilyun setiap tahun 500 trilyun bunganya yang membayar rakyat bukan yang di tahta saat saat ini, bangsa yang korups di angka puluhan trilyun di Asabri dan Jiwasraya dan angka 349 yang pernah diumumkan seorang menteri entah motifnya apa, bangsa terlihat baru belajar berhukum dan berdemokrasi yang dicitarasa tahta dan yang rakyatnya masih takut bersuara. Rakyat yang miskin hanya menikmati hasil pesta mereka dan pencuci piringnya. Terasa bangsa melayani siapa?

Bangsa yang seolah tak belajar falsafahnya, bangsa yang seharusnya memaknainya berKetuhanan yang Maha Esa, bangsa yang merdeka wajib merasakan keadilan dan kemanusiaan, merasakan kemakmuran untuk semua rakyat yang  berkeyakinan, ras, suku semua harus merasakan hal tersebut.

Bangsa sedang menikmati keironian ternyata masih dalam lingkaran pertanyaan sertifikasi yang di tahta yang tak berada di prinsip konstitusinya. Bangsa yang tengah merasakan berbagai keironian itu bangsa sendiri yang harus merubahnya. Tuhan tak bisa merubah keadaan suatu bangsa kecuali dari anak bangsa itu sendiri (QS. Al-ra’d, 11).

Corak petugas partai telah berlangsung selama dua dekade ini dan  hasilnya ingin diteruskan begitu juga  kondisi yang ada  akan diteruskan oleh petugas di tahta yang kemungkinan tak jauh dari hasil yang dirasakan saat ini. Bila mereka yang terpilih apalagi terpilih melalui cara yang tak jurdil atau dari hasil  rakyat belum ada  kecerdasannya karena suaranya  masih bisa dibeli dengan sembako atau money politik yang tak seberapa untuk menghidupi dirinya meskipun untuk satu hari saja, maka kondisi yang ada akan terus dirasakan. Bila tak terpilih petugas rakyat, maka rakyat sendiri telah menjadi kendala untuk kebangkitan bangsanya.

Pengamatan saat ini petugas partai dan petugas tahta sangat bergantung pada angka tinggi di lembaga survey yang tentu karyanya untuk  pemilik uang yang super kaya dan pemilik uang trilyunan yang mendanainya. Atau dari pemilik uang hasil korups yang belum di tangkap tangan oleh KPK atau yang mungkin dari bagian dari hasil korups uang rakyat di Jiwasraya dan Asabri atau uang yang diumumkan seorang menteri yang angkanya 349 trilyun itu. Merupakan fenomena di negara demokrasi yang memberi keuntungan finansials berbagai pihak dan melalui kemahalan untuk money politiks yang mendanainya bisa dengan cara korups atau didanai oleh manusia superkaya untuk kepentingannya atau bisa memaksa koceknya paling dalam untuk  hal itu.

Demokrasi

Bangsa yang memilih demokrasi puluhan tahun ini sangat terasa belum  bisa menghasilkan kemajuan suatu bangsa atau bangsa yang belum bisa dibanggakan hingga saat ini, karena demokrasi hanya dimaknai yang penting proses bukan substansinya. Demokrasi bukan dari rakyat oleh rakyat untuk  rakyat tapi dari rakyat oleh rakyat untuk yang di tahta atau untuk pihak yang mengendalikannya.

Demokrasi telah menciptakan banyak kemewahan bagi kaum elitnya. Hasilnya ada yang di tahta puncak, begitu pula untuk yang di beberapa partai ada yang di kabinet  ada mereka yang menduduki tahta di BUMN bukan harena kompetensi dan bukan pula untuk mendayagunakannya untuk bangsa  yang berakibat lembaga itu   banyak menjadi beban negara atau rakyat. Hasil demokrasi memunculkan  pengelola ekonomi terkesan tak bisa mengolahnya karena untuk kepentingan yang tahta.

Demokrasi telah melahirkan beberapa partai yang hanya menjadi tempat menjalani hidup, selama  berdiri dan menjadi partai penguasa tak kunjung membawa arah meraih cita konstitusi, yang ada malahan meninggalkan problem rakyat semakin berat. Ada pula partai tak maraih ukuran yang ditentukan konstitusi hingga kini terus hidup sebab akan digunakan oleh fungsionarisnya  bergaining posisi dan ujungnya materi atau duit. Demokrasi juga melahirkan media nassa yang berorientasi finansial dari penguasa  tahta begitu pula lembaga survey ikut berada di dalamnya memperoleh keuntungan finansials dari pihak yang membayarnya. Juga demokrasi menghasilkan buzzer berbayar untuk memoles wajah yang di tahta.

Teori Post Truth

Demokrasi juga melahirkan teori post truth. Teori ini  bagi mereka yang dididik tinggi di ilmu sosial di AS sangat paham tentang teori  Steve Tesich, teori untuk keburukan yang terus dijajahkan ke rakyat akan menghasilkan satu kebenaran sebagai bentuk pengelabuan psikologis rakyat untuk memilih apa yang diharapkannya. Teori ini yang bisa digunakan untuk kepentingan asing guna membuat bangsa ini selamanya maju kena mundur kena. Bisa juga digunakan oleh manusia negeri ini yang tidak boleh diganggu atau berkurang kekayaanya bila perlu kekayaan terus bertambah. Kekayaan mereka yang bernilai ratusan trilyunan sangat mungkin mereka yang mendanai sebagian media massa dan juga lembaga survey agar muncul pemimpin yang tidak pro rakyat, pemimpin yang tidak berkualitas dan berkapabilitas dan  pemimpin seperti robot yang mereka kendalikan.

Pemimpin robot pemimpin yang andalkan penciteraan semu. Pemimpin hasil konsep lembaga  thinktank dari hasil kajian psikologis rakyat yang sejak lama mengharap pemimpin itu untuk rakyat dan pemimpin itu tak lagi melakukan prilaku korups seperti yang menjadi misi reformasi  Saat itu sang  pemimpin di mata rakyat dari segi fisik memang berbeda dari rakyat pada umumnya yang banyak berwajah seadanya dan banyak pula yang fisiknya krempeng pemimpin yang berwajah dan berfisik yang ideal itu ternyata diujung tahta rezimnya melakukan prilaku korups di terabadikan di bukit yang mudah dilihat orang.

Kondisi itu yang menjadi menu lembaga thinktank yang harus menghadirkan pemimpin yang  antitesis dari yang sebelumnya. Pemimpin yang berwajah seadanya tapi digambarkan oleh media massa sosok pekerja keras hingga ke gorong-gorong dan penting pula anti KKN yang tidak korup yang dan tidak mementingkan keluarganya. Rezim yang dianggap alergi KKN   oleh media massa dan di gambarkan sepanjang  tahun dan gongnya ada di lembaga survey yang memberi angka tinggi inilah pemimpin ratu adil itu.

Ada sosok dalam kisahnya tidak pernah memiliki jabatan tinggi di partai dan tak masuk radar partai untuk mengangkatnya. Partai saat itu telah memiliki pemimpin partai yang bukan saja pernah menduduki kursi tahta tertinggi yang tentu sudah sangat terkenal dan tak mungkin elektabilitasnya dikalahkan oleh sosok yang tak pernah menjadi penjabat tinggi di partai itu. Pengaruh angka tinggi yang sangat mungkin didesakkan oleh elit partainya yang berkolaborasi dengan orang luar untuk tak mendukung calon yang tak diragukan keterkenalannya dikalahkan oleh sosok bukan siapa-siapa hanya modal gambar dari media massa dan dari angka tinggi dari lembaga survey.

Sosok yang bertahun diharap rakyat  sebagai ratu adil sepanjang itu pula sebagai sosok pemimpin yang merakyat yang bekerja hingga ke tempat sampah  lalu digambarkan memiliki berbagai prestasi seperti mobil SMK, mobil nasional yang konon akan menasional yang banyak digunakan di kota dan kampung yang ditunggu hingga hari ini. Diteruskan oleh pengukuran kepuasan rakyat di angka yang tinggi dari lembaga survey. Inilah ceritanya muncul yang tahta sebagai petugas partai karena yang di tahta muncul dari tekanan media massa dan lembaga survey dengan angka tinggi yang menampilkan sosok yang bukan godokan partai yang telah disiapkan

Di dua dekade kini kembali terjadi akan ada petugas partai telah  menjalani pola yang sama  terlihat di alat digital menggerakkan badan memakai pakaian seksi dan berlari di pagi hari serta membagi uang ke pengemudi beca dan penyapu di pinggir jalan. Untuk itu diberi angka tinggi oleh lembaga survey. Ia akan mengulangi petugas partai pertama yang juga mengandalkan jurus kasihan dari rakyat.

Ada lagi petugas yang di tahta yang akan  melanjutkan wajah bangsa dan nasib rakyatnya yang kini dirasakan pahit. Setelah bergaul cukup lama dan menjadi gurunya bisa menggerakkan manusia yang bisa menangani semua masalah dari sosok yang pernah ada beberapa bintang dipundaknya dan memiliki cara menjaga pengikutnya melalui kedermawanannya ke setiap daerah dengan membawa hadiah ke rakyat.

Siapa saja baik yang berilmu tinggi atau berpangkat tinggi tak berdaya dihadapannya. Bisa pula  mengendalikan berbagai partai karena di tangan ada dosadan noda untuk mengendalikannya. Demikian hebat sosok itu sehingga jadi gurunya dan ia bisa seperti pemimpin partai yang menugaskannya. Petugas tahta berharap abuse of powers yang di tahta yang andalkan kekuatan yang dimiliki  yang  punya kaki tangan di pusat dan juga kepala daerah dan pula punya kepala desa.

Lalu, ada petugas rakyat yang sedang menjadi harapan untuk memimpin bangsa. Petugas rakyat tak berasal dari anggota partai. Partai yang memberi jalan atas dasar kualitas dan kapabilitas serta prestasi  yang bersangkutan. Partai itu partai yang dikenal  telah pernah  memberi jalan atau kepercayaan pada  sosok meski bukan anggota partainya untuk meraih kursi kepala daerah dan partai yang tak membutuhkan mahar untuk hal itu.

Korbanya

Bila kondisi bangsa saat ini buruk  bisa jadi korban dari tangan tak terlihat dan berbagai pihak telah menggunakan teori itu. Korbannya pada partai yang didikte untuk menghadirkan manusia di tahta.

Partai yang telah menyiapkan kader terbaiknya yang  pernah menduduki tahta dan secara elektabilitasnya tak mungkin bisa dikalahkan oleh sosok yang hanya menempati kepala daerah. Kecuali sosok itu di desain melalui lembaga itu dengan gambarnya di media massa yang mengagumkan rakyat dan terus diberi angka tinggi oleh lembaga survey.

Partai yang  didikte takut kehilangan jejak sebagai kadernya lalu memunculkan noda sejarah ketatanegaraan di negeri ini yang memunculkan istilah yang kontroversials bahwa ada petugas partai di sebuah negara yang berdemokrasi. Di sistem demokrasi bila partainya sendiri yang memilihnya adalah logis bila disebut sebagai petugas partai tapi bila ada partai lainnya memilihnya maka perlu kongres untuk menetapkan hal tersebut.

Berdampak kepadanya setiap kebijakanya selalu harus dikonsultasikan dan sangat ragu apakah itu akan disetujui, apalagi bila kebijakan itu bukan pesanan partai tapi pesanan sesama pengusahanya. Dampak berikutnya karya dari sosok yang tak memiliki kemandirian menghasilkan  kondisi bangsa yang jalan ditempat atau bahkan mundur dari era sebelumnya.

Kondisi  yang ada mau diteruskan pula oleh petugas yang  di tahta. Kondisi psikologisnya mengalami beban yang berat. Apalagi yang di tahta tak lagi di tempatnya yang harusnya segera ia menjadi manusia yang mendiri lagi yang cerdas dalam membuat kebijakannya. Rasa balas budi yang kadang membebani diri apalagi bentuknya akan memberi perlindungan hukum yang dalan prespektif militer tak berada dalam saptamarga.

Rakyat kembali sangat dirugikan dari kepemimpinan yang lemah berhadapan dengan partai dan dengan yang di tahta yang harus menutup matanya dan hatinya seharusnya  semata untuk rakyat bukan untuk lainnya.

Kepemimpinan yang potensial akan meneruskan memperbesar jarak yang kaya semakin kaya yang miskin semakin miskin, yang miskin bertambah melebihi angka  39 juta dan jumlah hutang yang potensial melebihi angka 8000 triyun, yang korup kini jumlahnya puluhan trilyun dan bahkan ada angka di 349 trilyun semakin parah, demokrasi yang rakyat takut bersuara dan ekonomi dan hukum yang kembali bercitarasa tahta.

Penguasa-Penguasa

Di negara kapitalis bisa terjadi terpilih pemimpin tipe itu tapi di negara pancasilais layaknya bukan pemimpin penguasa pengusaha yang memperlakukan negara berdagang dengan rakyat dan tak hirau dengan wajah bangsa dan nasib rakyat. Pemimpin ini cenderung bercitarasa berlama di tahta karena dia merasakan nikmatnya tahta dan harta. Pemimpin yang sejak awal tahtanya sudah membayangkan tahta yang lama dan  akan mengkooptasi semua potensi yang menggangguh kuasanya dan mengancam dengan dosanya dan demokrasi dan hukum akan kembali berkurang indeksnya.

Saat pemilu nanti jangan terjebak memilih kepemimpinan yang hanya ber orientasi pada dirinya dan tahta. Negara bisa jadi akan terus berbisnis dengan rakyat. Penguasa pengusaha sejak awal yang berorientasi uang dan tahta yang menyiapkan diri untuk berlama di tahta dan sumber ekonomi negara menjadi sumbernya dan rezimnya untuk tujuan itu. Bisa jadi kondisi bangsa dan rakyat yang dirasakan saat ini akan semakin parah.

Rakyat akan merasakan ekonomi tak mengalami pertumbuhan yang positif karena pengelolaanya bukan untuk surplus ekonomi tapi hanya untuk dirinya dan yang di tahta. Sepanjang waktu di tahtanya bukan prestasi atau kualitas kerja yang dipertunjukkan tapi citera kedermawanan semu seperti melempar uang dari mobil dan bentuk lainnya yang prilakunya bak   fatamorgana yang menghipnotis rakyat.  Akan muncul buzzer berbayar untuk memoles wajah dan prilaku  yang tahta.

Semua pihak yang kritis dikendalikannya maka dengan harta dan tahta ia berikan dan bagi mereka yang sulit dimengerti dan tak mau tunduk akan ditundukkan  dengan noda atau dosa  seperti yang terjadi pada beberapa partai saat ini. Tahta terasa menghegemoni kekuatan rakyat.

Potensi bangsa jalan di tempat akan dirasakan  instabilitas di tengah rakyat karena yang tahta hasil dari  meminta tahta dan dirinya berada di rezim yang otoritarians karena semua berada dibawah kendalinya bukan prestasi kerja yang diandalkan tapi melalui cara polesan dari hasil survey atau buzzer rezim. Kondisi bangsa dan rakyat tetap sama. Pengalaman dua dekade ini  sepertinya telah tergambar  yang layaknya jangan lagi  diteruskan.

Penguasa Negarawan

Pilihan yang bisa menyelamatkan wajah bangsa dan nasib rakyat yang di tahta tertinggi adalah penguasa-negarawan dan cendekiawan.  Pemimpin yang berdiri tegak dan kokoh pada nilai konstitusi untuk setiap kebijakannya dan  dengan wawasan keilmuan yang luas dapat mengimplementasinya dalam wujud nyata untuk bangsa dan kepentingan  rakyat banyak atau seluruh rakyat.

Pemimpin ini dari kehendak rakyat. Rakyat menilai pemimpin yang tidak meminta tahta untuknya. Pemimpin yang tidak mengandalkan citera yang semu dan juga tak andalkan yang di tahta untuk melakukan abuse of powers untuk dirinya.

Pemimpin yang hanya andalkan prestasi, rakyat perhatian utamanya ia pun tak ada noda morals atau korup atau masalah kemanusiaan lainnya. Pemimpin yang pernah dibully oleh fungsionaris partai tertentu  sepanjang kepemimpinannya dan ia sambut dengan kata yang baik tak ada tindakannya yang menodai makna demokrasi. Pemimpin yang tak disukai kaum istana yang tak sudi diganti corak kepemimpinannya dari pemimpin penguasa pengusaha beralih ke pemimpin negarawan serta cendikiawan.

Pemimpin ini pemimpin yang mandiri yang memiliki kualitas dan kapabilitas serta professional yang massal jumlah rakyat menghendaki  dan telah menyambutnya yang di mata umumnya kaum surveyer ia cukup diurutan ketiga karena tak ikut berkontribusi dalam citarasa pen survey.

Surveyer wajib ikut menentukan sang pemimpi siapa pemimpin bangsa dan bangsa tak boleh dipimpin oleh manusia terbaiknya. Bagi mereka bangsa cukup dipimpin oleh manusia penguasa-pengusaha dan tak boleh pemimpin yang berkualitas berkapabilitas dan profesionalitas atau pemimpin dalam kolam penguasa negarawan dan cendikiawan.

Sosok yang sangat patut memimpin negara yang besar  dan memimpin bangsa yang rakyatnya 270 juta lebih di mana sudah jutaan sarjana dan ratusan ribu doktor dan professor yang sudah  massal jumlahnya, sangat  layak dipimpin sosok yang negarawan dan cendikiawan yang menjadi pemimpin kaum cerdas itu dan memimpin rakyat yang sudah merindukan ada perubahan akan nasibnya. Perubahan suatu kemestian bagi setiap manusia yang harus diterima.

Bila terpilih pemimpin ala rakyat yang berharap ada perubahan ke pemimpin yang negarawan dan cendikiawan langkah pertama untuk melepaskan bangsa dari kerangkeng yang terasa selama ini melalui SDA yang terasa tak berguna, kerangkeng ekonomi yang dikuasai segelintir manusia yang tak membantu ekonomi bangsa malah membebani rakyat. Kerangkeng politik terhadap yang di tahta yang menghasilkan wajah bangsa yang buruk yang sangat bergantung pada hutang, kesenjangan kaya miskin yang sangat lebar dan ini terasa bukan negeri pancasilais, penyakit korup yang angkanya di ratusan trilyunan itu. Kerangkeng yang mereka buat dan kehendaki untuk anak negeri yang selamanya melayaninya. Kerangkeng-kerangkeng itu membuat hukum dan demokrasi yang tak tegak secara benar yang membuat cacat atau aib bagi bangsa ini dan rakyatnya yang masih puluhan juta yang nestapa yang naifnya bangsa terkesan di kolam kebodohan itu. Perubahan, pilihan keniscayaan bagi bangsa ini. Wallahua’lam

Bogor Desember 2023.
Penulis adalah seorang Dosen di UIKA Bogor.

Berita lainnya