Kun Hartawan Adi Satria
Mahasiswa Magister Hukum Al Azhar Indonesia
Kagetnews | Opini – Kasus gugatan hak cipta terhadap penyanyi Vidi Aldiano terkait lagu legendaris Nuansa Bening menjadi bahan perbincangan hangat publik dalam beberapa waktu terakhir. Di tengah ketenaran lagu ini yang sudah melekat di benak masyarakat Indonesia sejak tahun 1980-an, munculnya gugatan dari pihak pencipta, yakni Keenan Nasution dan Rudi Pekerti, terhadap Vidi karena dianggap telah menyanyikan lagu tersebut secara komersial tanpa izin resmi, menyentil kesadaran kolektif kita tentang pentingnya perlindungan kekayaan intelektual. Kasus ini seharusnya menyadarkan kita bahwa sistem Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) di Indonesia masih menyisakan banyak pekerjaan rumah, terutama dalam perlindungan terhadap pengetahuan tradisional; sebuah aset kultural yang kerap dilupakan atau malah “tereksploitasi” tanpa perlindungan hukum yang memadai.
Gugatan terhadap Vidi menyoroti bagaimana karya seni, meskipun sudah menjadi bagian dari budaya populer, tetap memiliki dimensi hukum yang tidak bisa diabaikan. Lagu Nuansa Bening bukanlah lagu rakyat tanpa pencipta. Ia adalah karya berhak cipta, meskipun sudah berusia lebih dari tiga dekade, tetap berada dalam payung hukum eksklusif penciptanya. Vidi, menurut pihak penggugat, telah membawakan lagu tersebut dalam lebih dari 30 pertunjukan tanpa izin komersial yang sah, yang kemudian ditafsirkan sebagai pelanggaran hak ekonomi para pencipta.
Kasus semacam ini menunjukkan bahwa dalam ranah musik, bahkan lagu yang sudah ‘melegenda’ pun tak bebas digunakan semena-mena. Ini adalah prinsip dasar dalam hukum HAKI: perlindungan moral dan ekonomi atas karya cipta tetap melekat selama masa perlindungannya belum habis.
Lalu bagaimana dengan karya-karya yang berasal dari pengetahuan tradisional? Misalnya: lagu-lagu daerah tanpa pencipta jelas, motif kain tenun dari suatu suku, ramuan jamu warisan nenek moyang, hingga tarian tradisional? Siapa yang melindungi mereka?
• Pengetahuan Tradisional: Karya Tanpa Pengakuan?
Pengetahuan tradisional adalah bagian dari kekayaan intelektual kolektif masyarakat adat atau komunitas lokal. Namun berbeda dengan ciptaan individu seperti lagu Nuansa Bening, pengetahuan tradisional sering kali tidak tercatat, tidak didaftarkan, dan tidak diklaim secara hukum oleh satu entitas tunggal. Akibatnya, banyak ekspresi budaya tradisional Indonesia yang rentan diklaim pihak luar atau dimanfaatkan secara komersial tanpa kompensasi yang adil terhadap komunitas asalnya.
Contoh yang nyata adalah bagaimana beberapa motif batik, tarian tradisional, hingga kuliner khas Indonesia diklaim sebagai milik negara lain, hanya karena kita lalai melindunginya secara formal melalui sistem HAKI. Hal ini menunjukkan celah besar dalam sistem hukum kita, yang masih dominan berorientasi pada karya individual dan belum optimal melindungi hak kolektif masyarakat adat. Meskipun terdapat undang-undang yang berusaha melindungi ekspresi budaya tradisional, seperti UU No. 5 tahun 2017, implementasinya masih memerlukan perhatian lebih.
• Refleksi dari Kasus Vidi: Mendesak Perlindungan Pengetahuan Tradisional
Kasus Vidi bisa menjadi refleksi penting bahwa jika lagu ciptaan individu bisa dilindungi dan digugat ketika disalahgunakan, maka seharusnya kekayaan budaya kolektif pun berhak mendapat perlakuan serupa. Sayangnya, sistem HAKI konvensional belum sepenuhnya mampu menjangkau bentuk-bentuk pengetahuan tradisional, terutama yang diwariskan secara lisan dan turun-temurun tanpa dokumentasi formal.
Pemerintah Indonesia sebenarnya telah berupaya melalui UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten yang mencakup perlindungan pengetahuan tradisional. Namun implementasinya masih lemah karena minimnya pemetaan, dokumentasi, serta mekanisme klaim dan pengelolaan hak oleh komunitas adat atau pemerintah daerah.
Jika kasus Vidi bisa membuka mata banyak artis tentang pentingnya menghormati hak cipta secara formal, maka kini saatnya pemerintah dan masyarakat luas juga membuka mata untuk menempatkan pengetahuan tradisional sebagai kekayaan nasional yang layak dilindungi tidak hanya secara moral, tapi juga legal dan ekonomis.
• Menuju HAKI yang Inklusif
Indonesia adalah negara dengan keragaman budaya yang luar biasa. Namun keragaman ini justru dapat menjadi sumber kerentanan jika tidak ada payung hukum yang kuat dan inklusif. Perlindungan pengetahuan tradisional harus didekati bukan hanya sebagai isu legal, tapi juga sebagai upaya pelestarian identitas bangsa dan pemberdayaan ekonomi komunitas lokal.
Pemerintah, akademisi, komunitas kreatif, dan masyarakat adat perlu bersinergi dalam mendokumentasikan, mendaftarkan, dan mengelola kekayaan budaya lokal dalam sistem HAKI. Tanpa itu, bukan tidak mungkin suatu saat nanti, lagu daerah pun bisa “digugat balik” oleh pihak asing karena lebih dahulu mendaftarkannya sebagai milik mereka. ***