Kapan Kasus DBD di Indramayu Berakhir?

Potret penulis (kiri) dan nyambuk DBD (kanan). (Ist)

Bagikan

 

Oleh: Roswanda Hadi Surya Bahari
Peneliti Antera Institut/Mahasiswa Unisba Fakultas Kedokteran

 

Kagetnews | Aspirasi – Saya lahir dan besar di Indramayu. Setiap musim hujan, saya selalu menyaksikan pola yang sama: angka kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) naik, warga resah, fogging darurat dilakukan, lalu perlahan semua kembali tenang seakan masalah selesai. Sayangnya, tahun berikutnya cerita ini akan berulang. Bedanya hanya di jumlah korban.

Sepanjang 2024, Indonesia mencatat hampir 250 ribu kasus DBD dengan lebih dari seribu kematian. Awal 2025 pun tidak memberi kabar baik dalam dua bulan pertama saja sudah lebih dari sepuluh ribu kasus, ratusan di antaranya berakhir tragis. Indramayu, dengan iklim tropis, curah hujan tinggi, dan lingkungan yang sering tergenang, menjadi lahan subur bagi nyamuk Aedes aegypti. Kami tahu ini. Pemerintah tahu ini. Tapi entah kenapa, pencegahan yang seharusnya jadi prioritas malah terasa musiman.

Sebagai orang yang bergerak di bidang kesehatan, saya sering menemui warga yang belum paham tanda awal DBD. Banyak yang baru ke puskesmas ketika kondisinya sudah parah. Program jumantik kadang berjalan, kadang menghilang. Edukasi 3M muncul ketika kasus sudah tinggi, lalu lenyap saat grafik mulai turun. Seolah nyawa hanya layak diselamatkan kalau sudah menjadi berita.

Saya menulis ini bukan untuk menyalahkan satu pihak saja. Tapi kita harus jujur nyamuk jauh lebih konsisten daripada pemerintah. Nyamuk tahu kapan berkembang biak, kapan menggigit, dan kapan bertelur. Pemerintah? Baru bergerak setelah korban berjatuhan.

Indramayu berhak atas sistem pengendalian DBD yang siaga sepanjang tahun, bukan hanya di musim hujan. Kami butuh kebijakan yang memprioritaskan pencegahan, kader jumantik yang didukung penuh, inovasi teknologi seperti Wolbachia yang diperluas ke daerah, dan edukasi yang masuk hingga pelosok.

Bagi saya, kesehatan bukan hadiah dari negara. Ia adalah hak yang harus dijamin. Dan kalau pemerintah belum serius, kita yang di lapangan warga, kader, tenaga kesehatan, pemuda desa harus bersatu menjaga nyawa dari ancaman yang datang setiap tahun ini. Karena melawan DBD bukan hanya urusan medis, tapi urusan kemanusiaan.

Berita lainnya