Oleh: Ramli Yudarsana
Suatu hal yang membedakan manusia dengan binatang adalah manusia memiliki kemampuan bahasa. Melalui bahasa, peradaban manusia berkembang atau dinamis berbeda dengan binatang yang bersifat statis. Melalui bahasalah manusia bisa berpikir, mengidentifikasi, merumuskan masalah sesuatu hingga mengambil konklusi. ilmu pengetahuan berkembang dengan bahasa.
Bahasa itu sendiri adalah kumpulan dari huruf membentuk kata menjadi kalimat dan menghasilkan makna yang dikehendaki. Bahasa itu menjadi sarana untuk saling memahami dan saling mengerti antar manusia karena pada dasarnya manusia mahluk beradab dan berbudaya. Dia membutuhkan hidup bersama orang lain sesama manusia maka mereka sangat membutuhkan sarana untuk saling memahami dan saling mengerti dalam interaksinya lalu mereka membuat istilah-istilah dengan menyusun Kata-kata tertentu untuk menunjukkan makna-makna tertentu supaya mereka bisa mengungkapkan apa yang ada pada diri mereka dari gambaran benak terhadap sesuatu dan perbuatan.
Dalam buku karya Kamal Sa’id Habib yang berjudul Kaum minoritas dan politik negara Islam beliau mengutip bahwa terminologi atau peristilahan adalah bangunan dasar yang di atasnya didirikan bangunan ilmu. Istilah mempengaruhi berbagai masalah baik yang berhubungan dengan perbuatan dan awal pertumbuhannya maupun yang berhubungan dengan pemindahan dan terjemahannya (halaman 55). Itulah urgensi penggunaan istilah harus tepat supaya clear suatu permasalahan atau fakta tidak tertukar dengan yang bukan terkategori diluar atau asing dari fakta yang didefinisikan.
Namun yang patut diperhatikan di dalam penggunaan istilah, Terkadang salah mengidentifikasi makna suatu istilah dikarenakan persepsi tentang realitas yang terekam panca indra berbeda-beda. Seperti Ketika orang Jawa menamakan buah pisang Dengan nama Gedhang, berbeda dengan orang Sunda ketika mendengar kata Gedhang yang terbayang di benaknya adalah pepaya. Maka ketika terjadi interaksi orang Jawa membeli Gedhang kepada orang Sunda bila tidak disamakan frekuensi pemahaman terlebih dahulu maka penjual etnis Sunda akan mengambilkannya sebuah pepaya. Inilah yang dinamakan dengan Miss communication (kegagalan dalam berkomunikasi antara dua orang). Maka perlu ada kesamaan persepsi apa yang ingin dituju dari pengungkapan istilah tersebut. Jadi perlunya kaidah yang mengatur penggunaan Istilah supaya tepat sesuai maksud dan tujuan antara komunikator dan komunikan.
Secara makna Ulama Ushul Fiqih mengklasifikasi kalimat ke dalam dua kelompok: kalimat hakiki dan majas. Makna hakikat adalah lafadz yang dapat menggunakannya sesuai makna asal bahasa seperti contoh tangan, kaki dalam arti yang sesungguhnya bagian organ tubuh. Sedangkan majas adalah suatu kata yang keluar dari mana yang aslinya contohnya kata “panjang tangan” maka itu artinya sudah bergeser dari makna tangan yang sebenarnya ke arti lain yaitu gemar mencuri.
Berdasarkan penelitian para ulama kalimat Hakikat terbagi kepada tiga bagian: pertama makna hakikat sesuai dengan makna asal bahasanya seperti kata Shalat menurut kamus artinya berdoa. Kedua ada makna hakikat berdasarkan ‘urf atau tradisi Seperti kata Fi’il, mubtada, khabar, tamyiz populer kumpulan istilah-istilah dalam tradisi ilmu nahwu (Bahasa Arab) atau contoh lain istilah sanad, matan, marfu, maqthu, mauquf istilah dalam tradisi ilmu hadis. Sedangkan ketiga lafadz hakikat syar’iyah yaitu istilah bahasa yang digali dari sumber syara yaitu Alquran dan hadis seperti istilah shalat yang secara bahasa berarti berdoa jika dipahami secara makna syariat berarti kata shalat adalah praktek ibadah yang didahului dengan Takbiratul Ihram dan diakhiri oleh salam.
Kaidah Penggunaan istilah diatur, di dalam hukum Islam melarang penggunaan istilah-istilah yang tidak sesuai dengan makna aslinya sebagaimana firman Allah dalam surat al-baqarah ayat 275: “Orang-orang yang makan dalam (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kerasukan setan” keadaan mereka yang seperti demikian itu sehingga mereka berkata atau berpendapat “sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
Menyamakan antara istilah jual beli dan riba ini perbuatan yang dilarang. riba dan jual beli jelas dua transaksi yang berbeda bentuk, satunya transaksi yang diperbolehkan yaitu jual beli sedangkan riba mutlak keharamannya. Upaya mengaburkan istilah jual beli dengan riba adalah sama ini merupakan perbuatan haram. Walaupun kedua-duanya sama menghasilkan keuntungan, jual beli menghasilkan laba sedangkan riba menghasilkan tambahan yang disebut bunga tetapi jelas berbeda antara laba dan bunga riba.
Keuntungan riba diambil dari transaksi pinjam meminjam yang ketika jatuh tempo membayar cicilan ada tambahan pembayaran dari hutang pokoknya berupa bunga. Pada prinsipnya hutang piutang di dalam Islam itu konsepnya adalah tabarru atau tolong-menolong. Berbeda dengan transaksi bisnis yang memang dasar hukumnya adalah untuk mencari keuntungan dari menjual barang yang dihalalkan.
Jadi jelas, makna hakikat lughawiyah, urfiyah dan syar’iyyah maka yang harus didahulukan adalah makna syar’i dibanding makna lughawi dan urfiyah. Seperti contoh ketika membaca Al Quran dan Al Hadis tentang istilah salat maka dahulukan mana syar’i bahwa salat itu adalah praktek ibadah dan cirinya ada Takbiratul Ihram dan diakhiri salam. Bukan memaknai dalam istilah bahasa yang sebenarnya yaitu doa ini nantinya akan merancukan pemahaman dari Muslimin. ketika salah paham dan pahamnya salah Bisa mendengar panggilan adzan bukan melaksanakan salat yang seperti dicontohkan Rasulullah Tetapi malah mencukupkan dirinya dengan berdoa dengan alasan bahwa shalat adalah berdoa. Hal di atas merupakan sedikit gambaran tentang istilah-istilah bahasa dalam ajaran agama Islam dan juga sebagai pengantar pembahasan utama penulis tentang istilah kafir.
Istilah Kafir
Mencuatnya larangan penggunaan istilah kafir kepada orang-orang yang tidak beragama Islam di Indonesia oleh salah satu ormas perlu dipahami dengan cermat. Istilah kafir termasuk istilah syara’, uruf atau lughowi; Apakah istilah ini boleh diganti dengan terminologi yang lain seperti non muslim. Istilah syariah merupakan istilah yang sudah paten dan tidak bisa dengan istilah lain. Istilah kafir (infidel) sendiri disebutkan lebih dari 525 kali dalam Alquran. Menurut Muhammad Rawas dalam kitab Mu’jam Lughat Al-Fuqaha halaman 343 kata kafir berarti A disbeliever of Allah (Orang yang tidak percaya kepada Allah) lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa kata kafir merupakan Isim fa’il jamaknya adalah Kafirun yaitu orang yang tidak beriman kepada Allah dan kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam atau orang yang mengingkari perkara yang sudah maklum di dalam agama atau mengurangi perkara yang sudah Allah tetapkan dalam risalahNya.
Secara umum orang yang diklasifikasikan kafir ada yang disebut dengan kalangan Ahlul kitab di dalamnya ada agama Yahudi Nasrani dan yang bukan Ahlul kitab seperti menganut majusi As-Sabiah yang disebut oleh umumnya adalah orang-orang musyrik.
Di dalam konteks kehidupan bernegara warga negara yang bukan Islam disebut di dalam istilah fiqih dengan ahlu dzimmah orang-orang tersebut hidup berdampingan dengan orang muslim menunaikan jizyah dan mereka mendapatkan jaminan keamanan perlindungan dan terikat dengan perjanjian. orang-orang non muslim dijamin untuk tetap dalam agama mereka dengan syarat menyerahkan jizyah dan terikat dengan hukum-hukum agama tersebut merupakan akad selama hidup yang menjamin non muslim mendapatkan keamanan, perlindungan, dan kehormatan. Dengan dasar tersebut mereka menjadi warga negara.
Para ahli fiqih bersepakat bahwa penganut Yahudi, Nasrani, dan Majusi adalah termasuk Ahlu dzimmah. Pengklasifikasian warga negara muslim dan ahlu dzimmah ini berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka ketika hidup bermasyarakat bagi orang-orang muslim mereka dibebani kewajiban mengamalkan seluruh ajaran Islam baik yang berkaitan dengan masalah hubungan mereka dengan Tuhannya seperti ibadah shalat puasa, Haji dan lain-lain.
Sedangkan non muslim mereka diberi hak untuk mengamalkan ajaran agama yang berkaitan dengan masalah peribadatan akhlak, makanan, dan minuman tanpa dipaksa untuk ikut menjalankan aturan syariat Islam. Tetapi dalam interaksi sosial politik dan hukum muslim dan kafir tidak ada bedanya sama di dalam hukum.
Jadi kesimpulannya istilah kafir bukan merupakan istilah caci maki, penghinaan. Hanya sebagai sebuah istilah untuk membedakan bahwa pemeluk agama Islam bernama Mukmin dan pemeluk agama non Islam adalah kafir. Istilah-istilah yang ada di dalam Al-Quran bila ditafsirkan berdasarkan hawa nafsu tentu akan mudah dirubah-rubah. Di dalam Al Quran kita membaca istilah munafik yaitu orang-orang yang secara zahirnya beriman Seperti orang Islam tapi hatinya kufur atau tidak percaya kepada Allah dan rasulnya, Apakah istilah munafik ini bentuk penghinaan? tentu bukan ini merupakan klasifikasi bahwa di tubuh kaum muslim Sendiri terkategori yang beriman juga ada yang munafik juga; istilah ini tentunya tidak bisa kita merubah seenak hati.
Termasuk istilah-istilah syarak yang lain seperti penyebutan hadits rasulullah bahwa sistem pemerintahan yang terdapat dalam Khazanah fiqih siyasah disebut sistem Khilafah. Istilah Khilafah juga termasuk salah satu istilah yang dimonsternisasi seolah istilah tersebut istilah terkutuk yang bertolak belakang dengan ideologi bangsa. Padahal istilah Khilafah seperti yang diasumsikan negatif merupakan istilah yang digali dari Hadits Rasulullah yang masyhur di kalangan para ulama mendefinisikannya sebagai kepemimpinan umum atas seluruh kaum muslimin yang menjalankan politik dalam negeri dengan menerapkan aturan-aturan Islam dan menyebarkan ajaran Islam ke seluruh penjuru dunia melalui dakwah dan jihad.
Kita tidak boleh apriori dengan istilah-istilah yang terdapat di dalam hukum-hukum Islam dengan memelintir atau mengubahnya karena menganggap kurang relevan untuk kontek saat ini. Hukum Islam tidaklah berubah mengikuti perkembangan zaman bila yang berkaitan dengan hukum yang bersifat qath’i (pasti). Istilah yang bersifat qath’i maka kita harus menerima tanpa reserve Berbeda bila ranahnya, ranah ijtihadi Maka peluang untuk berbeda pendapat terbuka. Seperti contoh istilah muzara’ah yaitu sistem penyewaan lahan pertanian maka ulama berbeda pendapat ada yang membolehkan ada yang melarang. Namun pada perkara yang sudah maklum minaddin Seperti berkaitan dengan masalah istilah salat, zakat, haji, istilah kafir, mukmin ulama tidak berselisih pendapat yang kafir adalah pemeluk agama non Islam; Mukmin adalah pemeluk agama Islam yang percaya kepada Allah dan Rasul Muhammad.
Mengapa kita lebih asik memperdebatkan masalah istilah yang sudah maklum. Bukannya lebih fokus untuk memperbaiki pengamalan agama yang hari ini sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakat maraknya zina, homosexsual, penyalahgunaan narkotika, korupsi dan lain-lain. Sebaiknya kita lebih fokus untuk mengajak masyarakat mengamalkan agama Islam dengan sebenar-benarnya bukan malah berwacana pada apa yang sudah dibangun dengan rapi di dalam ajaran Islam.
Ulama dan seluruh elemen umat Islam harus bahu-membahu memurnikan ajaran Islam dari pengaruh-pengaruh ajaran yang bukan bersumber dari Al-Qur’.an maupun As-Sunnah.
Kesimpulan
Mengotak-atik istilah yang sudah dimaklumi di dalam agama merupakan perbuatan yang kurang bermakna bahkan cenderung dilarang di dalam agama. Tugas kita sebenarnya sekarang adalah bersungguh-sungguh untuk menjalankan agama sebagai sumber keselamatan di dunia dan di akhirat. Istilah-istilah yang diungkapkan di dalam Al-Qur’an sebagai makna yang syar’i harus kita jaga dan pelihara karena itu bagian dari kejelasan sebuah panduan hidup istilah kafir merupakan istilah yang menunjukkan bahwa orang-orang tersebut tidak akan selamat di di akhirat mereka akan menjadi penghuni neraka yang kekal karena tidak yakin kepada Allah. Maka sikap kita sebagai orang yang beriman tentu menghindari segala hal baik perbuatan, keyakinan yang bisa menjerumuskan kita pada kekafiran.
Bila istilah kekafiran itu sendiri dikaburkan ini akan menghasilkan kerancuan persepsi di benak umat Islam mereka tidak lagi bisa membedakan mana orang yang beriman mana orang yang tidak beriman alias kafir. Sehingga para Mukminin tidak waspada lagi karena pengkaburan istilah tersebut. Wallahualam.
Penulis adalah salah seorang Dosen di STAI Sayid Sabiq Indramayu.