By Dr. Firman Turmantara End.
Kagetnews | Opini – Kontroversi tentang sumber air AQUA yang disebutkan berasal dari hasil bor, bukan mata air pegunungan terus menuai sorotan. Hal yang mengejutkan terungkap saat Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke perusahaan air mineral kemasan merek AQUA di Subang, Jawa Barat.
Sesuai yang diberitakan rmol.id, Rabu, 22 Oktober 2025, 22:52 WIB, dalam sidak tersebut, KDM, sapaan Dedi Mulyadi kaget sumber air pabrik Aqua ternyata bukan dari mata air pegunungan murni, melainkan berasal dari sumur bor. Fakta tersebut didapat KDM saat menanyakan sumber air produksi AQUA. “(Sumber) Airnya dari bawah tanah, pak,” kata seorang perempuan perwakilan perusahaan Aqua kepada KDM dikutip Rabu, 22 Oktober 2025. Kepada KDM, perwakilan perusahaan menyebut sumber air AQUA didapat dari pengeboran di dalam tanah.
Di sisi lain detikFinance, Senin, 15 Sep 2025 16:05 WIB memberitakan pendapat Heru Hendrayana, ahli hidrogeologi Universitas Gadjah Mada (UGM), yang mengungkapkan satu kali pengeboran sumur dalam bisa menelan biaya hingga Rp2 miliar. “Itu sebabnya hanya industri besar yang bisa melakukan. Mereka meneliti asal-usul air tanahnya agar benar-benar dari pegunungan, bukan asal ambil,” ujarnya.
Investasi mahal ini dilakukan karena air tanah dangkal lebih rentan terkontaminasi limbah rumah tangga, septic tank, maupun polusi lingkungan. Air dari akuifer dalam, yang umumnya terhubung dengan sistem hidrogeologi pegunungan, dinilai lebih higienis dan memiliki mineral alami yang lebih kaya.
Profesor Lambok M. Hutasoit, pakar hidrogeologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), menambahkan tidak semua air tanah aman dikonsumsi. “Salah satunya ada Kromium VI yang sangat beracun. Jadi, tidak sembarangan menggunakan air tanah untuk air minum. Harus dianalisis kimianya terlebih dahulu,” jelasnya.
Menurut Lambok, lapisan batuan juga memegang peranan penting dalam menentukan kualitas air. Batuan pasir, kapur, dan gamping menjadi lapisan ideal, sementara batu lumpur dinilai mudah tercemar. Fakta ini memperlihatkan bahwa klaim air pegunungan yang diusung produsen AMDK bukan hanya strategi marketing, melainkan hasil penelitian ilmiah dan investasi besar agar produk yang dijual benar-benar sehat dan aman bagi konsumen.
Sementara itu, PT Tirta Investama atau PT. Aqua Golden Mississippi Tbk yang kemudian beralih kepemilikannya kepada Danone, yang memproduksi Air mineral AQUA, telah membuat iklan yang menarik dan mengalokasikan anggaran yang memadai untuk menjangkau pengguna sasaran, dan berdampak langsung bagi bisnisnya. Dampak yang dihasilkan tampak di beberapa metrik seperti meningkatkan penjualan atau popularitas brand.
Mayoritas iklan tersebut menyebutkan AQUA adalah minuman air higienis terbaik yang dikonsumsi masyarakat. Iklan-iklan AQUA tersebut membuat konsumen atau masyarakat percaya bahwa AQUA merupakan minuman air yang tepat bagi Kesehatan tubuh, terutama dalam mengurangi dehidrasi dan meningkatkan konsentrasi orang yang mengkonsumsinya.
Informasi mengenai sumber air dari sumur bor ini sama sekali tidak terungkap dalam iklan-iklan yang masif dipublikasikan AQUA. Dan hasil sidak Gubernur Jawa Barat yang memperoleh informasi bahwa sumber air mineral kemasan merek AQUA yang ternyata berasal dari sumur bor itu, membuat terkejut konsumen se Indonesia, karena selama ini masyarakat menganggap sumber air mineral AQUA itu dari pegunungan/wilayah pegunungan. Narasi iklan AQUA yang menyatakan “Aqua 100 Persen Murni Air Mineral Pegunungan”.
Jadi pertanyaannya, apa yang salah dalam kasus ini? Mengapa klarifikasi dari manajemen AQUA dan pendapat dua orang ahli hidrogeologi di atas tidak gencar dan rutin disosialisasikan, kalau perlu penjelasan itu ditempel dalam kemasan sehingga ada itikad baik dan tidak membuat gaduh dan tidak membuat konsumen terkejut, kecewa, marah bahkan beberapa lembaga negara akan memanggil pengelola AQUA.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) mengatur tentang hak-hak konsumen, diantaranya menyebutkan: “Konsumen berhak untuk mendapat informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.” Sedangkan kewajiban pelaku usaha diantaranya kewajiban untuk ‘memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur’ mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
Informasi yang benar, artinya, informasi tersebut tidak boleh menyesatkan atau mengandung kebohongan. Informasi yang jelas, artinya, informasi harus disampaikan dengan cara yang mudah dipahami, tidak samar, dan tidak multitafsir. Informasi yang jujur, artinya produsen atau pelaku usaha tidak boleh menyembunyikan fakta penting yang bisa memengaruhi keputusan konsumen. Hak konsumen untuk mendapatkan informasi (The right to be informed) ini juga telah disampaikan John F. Kennedy pada 15 Maret 1962 dihadapan Kongres AS.
Dengan kata lain tujuan dari hak ini adalah untuk melindungi konsumen dari kerugian akibat informasi yang tidak akurat atau menyesatkan. Meningkatkan tanggung jawab pelaku usaha untuk bersikap transparan. Mewujudkan transaksi yang adil dan setara antara konsumen dan produsen. Jadi, secara singkat hak ini memberi konsumen perlindungan agar tidak tertipu atau dirugikan karena informasi yang tidak benar, tidak lengkap, atau menyesatkan dari pelaku usaha.
Iklan AQUA sudah berhasil mempengaruhi secara maksimal pikiran dan pemahaman konsumen Indonesia (brainwash). Maksudnya adalah tidak hanya membuat seseorang berperilaku untuk menuruti perkataan dan kemauan mereka, tapi hingga merubah cara berpikir, nilai-nilai dan keyakinan yang dianut, bahwa air AQUA berasal dari gunung, seperti mata air panas dari gunung yang mengandung belerang. Namun publik menganggap AQUA bersalah, karena tidak menjelaskan sampai rinci sehingga dipahami/dimengerti oleh masyarakat bahwa air itu tidak langsung mengambil dari gunung, tapi air gunung yang diambil/dibor yang mengalir sampai di bawah tanah daratan.
Kontroversi mengenai sumber air AQUA ini menjadi sorotan, mengingat citra air mineral pegunungan murni yang selama ini melekat erat pada merek tersebut. Namun demikian, untuk membuktikan ada tidaknya kebohongan/penipuan, maka perlu proses di pengadilan dengan membawa bukti awal. UUPK menganut asas pembuktian terbalik yang tercantum dalam Pasal 22 dan Pasal 28. Untuk itu sebagai dasar pengajuan gugatan dan adanya bukti awal, ketentuan Pasal 22 dan Pasal 28 UUPK ini bisa digunakan.
Menurut UUPK, pelaku usaha yang melanggar bisa dikenakan tiga sanksi sekaligus. Ketentuan Pasal 19 mengatur sanksi perdata dan pidana. Untuk sanksi pidana juga diatur di Pasal 62 UUPK mengaturnya sanksi penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak dua miliar. Pasal 63 UUPK menyebutkan sanksi administratif, bahwa terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa pencabutan izin usaha.
Ketentuan Pasal 46 UUPK, mengatur pelaku usaha dapat digugat oleh seorang konsumen; sekelompok konsumen; LPKSM; dan oleh pemerintah. Dengan kata lain menurut ketentuan ini, konsumen, pemerintah (termasuk Gubernur Jawa Barat), atau LSM bisa menuntut/mengajukan gugatan baik secara perdata, administratif, maupun secara pidana.
Di alinea terakhir Penjelasan Umum UUPK, disebutkan: “Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini merupakan payung yang mengintegrasikan (peraturan perundang-undangan lain-pen) dan memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen.” Artinya undang-undang lain juga bisa menjerat perbuatan pelaku usaha ini secara berlapis, seperti peraturan terkait pelayanan, keamanan, keselamatan, kesehatan atau informasi publik. (***)
*) Penulis : Dr. Firman Turmantara Endipradja, SH., S.Sos., M.Hum dosen Politik Hukum Perlindungan Konsumen Pascasarjana Univ. Pasundan/Dewan Pakar Ekonomi Majelis Musyawarah Sunda (MMS)/Mantan Anggota BPKN RI (periode 2013-2016 & periode 2020-2023).





















