Intelektual, Tahta dan Rakyat

Gambar ilustrasi. (Sumber: Needpix.com)

Bagikan

Oleh: Hasbi Indra

Kagetnews | Opini – Jiwa atau ruh intelektual harus dihidupkan kembali di negeri ini, mereka manusia yang telah tercerahkan di bangsa yang  tujuh puluh tahun lebih merdeka atau dibebaskan dari penjajahan.

Kaum intelektual atau kaum sarjana ada pula yang  bergelar doktor dan ada dari mereka meraih professor  adalah sosok  yang menjadi potensi yang besar bagi bangsa ini ke depan. Sedikit manusia yang bisa meraihnya untuk menjadi bagian mengisi kemerdekaan bangsa ini di berbagai bidang kehidupan. Sebagai manusia istimewa  memiliki kewajiban untuk membayar kebaikan bangsa dan rakyatnya yang memberi sumbangsih adanya kaum intelektual ini.

Kaum intelektual garda pertama bangsa untuk menyiapkan generasinya guna  meneruskan misi kaumnya dan rakyat banyak  untuk meraih cita konstitusi bangsa yang sejak puluhan tahun lalu disepakati rakyat dan dipahami banyak orang yang kini terasa semakin jauh untuk diraih.

Cita konstitusi yang menjadi acuan kaum intelektual  dan juga nilai yang ada di Pancasila. Manusia apalagi  di era modern sangat concern dengan rasa keadilan dan kesetaraan kemanusiaan dan hatinuraninya yang menyukai kemakmuran yang sayogyanya di rasakan seluruh rakyat (sila 1,  2 dan 5).

Mereka menyiapkan generasi yang tidak menanggung beban berat dalam menjalani hidup yang ditinggalkan atau dibuat generasi saat ini  yang juga menjadi misi kaum intelektual untuk diperbaiki demi generasi  bangsa ini ke depan.

Ada fenomena bangsa kehilangan ruh konstitusinya maka fenomena itu layaknya harus diambil sikap untuk kembali memanggil ke ruh itu agar bangsa tak semakin jauh dari cita konstitusi yang mengusik rasa kemanusiaan setiap manusia. Untuk itu perlu dihadirkan pemimpin yang memenuhi citarasa itu. Mungkin melalui sikap atau tulisan yang mungkin layak dilakukan dalam multi prespektifnya.

Pemimpin Teknokrat

Kita patut bersyukur adanya bangsa atas jasa pahlawan dan ada dari mereka yang telah mampu merumuskan konstitusinya dari  manusia yang berada di kolam intelektual. Kepemimpinan mereka  ada yang menyebutnya kepemimpinan teknokratik hingga era akhir Orde Baru.

Pemimpin bangsa dalam sejarah perjalanannya ditandai ada kepemimpinan intelektual atau lebih spesifik lagi kepemimpinan teknokratik. Kepemimpinan yang bertumpuh pada pendekatan keilmuan atau sains yang dimilikinya dan ini telah ditampilkan oleh sosok-sosok era di awal kemerdekaan  seperti Soekarno, Moh Hatta, Syahrir, Maramis, Johannes Latuharhary, Agus Salim, Natsir dan banyak lagi lainnya

Begitu pula era berikutnya ada BJ Habibie, Wijoyo Nitisastro, Emil Salim, Ali Wardana, Frans Seda, Sumarlin, Daud Yusuf, Mochtar Kusumatmadja dan lainnya.

Kepemimpinan yang di masanya secara politik memberi kepuasan namun di bidang ekonomi yang masih dalam transisi, begitu pula kepemimpinan era berikutnya memberi rasa kepuasan ekonomi belum memuaskan bidang politik. Kaum intekektual di era reformasi tak diberikan cukup tempat untuk mewarnai kebijakan pembangunannya terutama tahun belakangan ini. Kepemimpinan yang tidak berbasis teknokratik potensial gagal keduanya.

Pembangunan yang telah berlangsung hingga di ujung reformasi ini ada data yang memprihatinkan di mana  jumlah hutang semakin bertambah dari era sebelumnya. Misalnya di tahun 2016 hutang hanya di angka 2600 trilyun, angkanya kini  lebih 8000 trilyun terasa seluruh rakyat dibebani oleh hutang dan bunganya lebih dari 500 trilyun setiap tahun, hutang yang tak membebani yang di tahta saat ini sebagai wujud pestanya di mana  rakyat dijadikan sebagai pencuci piringnya. Rakyat pun penyaksi penyakit  korup angkanya ada di puluhan triliun di Asabri dan Jiwasraya dan ada angka di 349 triliun yang tak jelas posisinya. Jumlah kaum miskin ada di angka 39 juta juga ada jutaan  yang menganggur dan menurunnya indeks hukum dan demokrasi. Itu terjadi potensial karena kepemimpinan yang tidak melibatkan kaum intelektualnya atau pemimpin puncak tertingginya bukan bagian dari kaum intelektual.

Kondisi itu layaknya dan baiknya serta seyogyanya harus mengalami perbaikan atau perubahan yang memanggil peran intelektual di puncak tertinggi tahta atau di kursi presiden sebagai pengambil kebijakan yang sangat strategis itu.

Bangsa tak layak jatuh menjadi bangsa yang seolah tak memiliki manusia yang mampu mengolah kehidupannya padahal telah lengkap peralatan budaya dan peradaban. Bangsa yang seharusnya berbudaya adiluhung dan berperadaban yang bisa mengangkat harkat bangsa dan rakyatnya. Bila tidak peralatan budaya dan peradaban itu terasa sia- sia terasa tak bermakna bagi kehidupan manusianya.

Sikap kaum intelektual terhadap bangsa dan rakyat bukan penonton bukan objek penderita tapi subjek kehidupan di tengah bangsanya. Tentu peran intelektual yang masih memiliki patriotisme berbangsa. Menjadi tantangan berat bagi manusia yang ingin terus menggiring bahwa kaum intelektual suatu bangsa tak perlu memiliki kemampuan mengolah kehidupannya. Melalui jalan legitimasi politik atau demokrasi melalui pemilu yang rakyat dan kaum intektualnya sesungguhnya mampu menghadirkan pemimpin yang ada di kolam intelektual.

Cukup Menjadi Manusia

Memahami kondisi bangsa ada yang mengatakan cukup menjadi manusia agar terpanggil hatinuraninya. Kaum intelektual itu bukan saja cerdas akal dan juga cerdas hatinurani untuk mengangkat derajat bangsanya dan nasib rakyat. Mereka  menunggu kepedulian kaum ini agar kondisi yang ada tak semakin parah seperti berada dalan lingkaran setan yang tak ada ujungnya untuk di atasi

Setelah melihat data yang ada yang cukup memprihatinkan yang mungkin menyentuh hatinurani kaum itu yang harus dilakukan koreksi atau pelurusan agar tak menjadi beban generasi demi generasi bangsa mendatang. Melalui Kepemimpinan yang memberi rasa puas psikologis kaum intelektual dan juga kepuasan sosiologis rakyat.

Saatnya kembali lagi ada ikhtiar dari kaum intelektual dan rakyat untuk hadirnya kepemimpinan teknokratik agar bagian darinya  menempati posisi tertinggi atau posisi kunci untuk memperbaiki wajah bangsa dan nasib rakyat.

Kaum teknokratik memang tempatnya bukan saja  di kampus atau hanya ada di lembaga riset tapi tempatnya sangat berarti bila berada di kursi presiden tempat yang  sangat menentukan arah bangsa untuk kebangkitannya. Pengetahuan yang luas dan pengalaman yang lebih memadai untuk menjadi pilot bangsa ketimbang hanya politisi an sich atau penguasa-pedagang atau lainnya.

Kaum intelektual telah mewarnai sejarah awal bangsa ini sebagai penerus manusia utama, seperti nabi atau manusia agung lainnya yang telah diberi kelebihan kecerdasannya, kecerdasan yang bisa ada di wujud manusia cerdas spiritual, emosional dan intelektualnya, manusia yang sangat layak menjadi kemudi atau pilot utama bangsa.

Pilot utama bangsa atau kursi presiden harus direbut kembali oleh kaum intelektual bersama rakyat untuk memenuhi cita konstitusi di mana rakyat dan kaum intelektual akan terpenuhi  psikologisnya dan juga kepuasan  psikologis dan sosiologis  rakyat banyak. Bagaikan dulu melihat Soekarno dan Moh Hatta dan bagaikan dulu melihat Bj Habibie dan lainnya sebagai pemenuh citarasa kepuasan  atas pemimpinnya yang memiliki kemampuan intelektualnya tingkat dunia begitu pula ada kepuasan sosiologis bagi rakyat.

Sosok pemimpin  intelektual memang yang sangat layak ditempatkan di tempat yang sangat terhormat itu sebagai pemimpin di bangsa yang telah memiliki jutaan sarjana dan di bangsa besar yang penduduknya di angka 272 juta lebih. Kepemimpinan yang bisa berdampak pada wajah bangsa yang bisa harum di dunia internasional dan juga memberi kepuasan pada rakyatnya untuk berusaha terwujudnya keadilan dan kesetaraan manusia serta kemakmuran seluruh rakyat. Bangsa saat ini menantikan anak bangsa yang saatnya nanti berada pada kecerdasan memilih sang presiden dalam cita rasa kaum intelektual yang memberi harapan baru pada nasib bangsa dan rakyat ke depan.

Bogor Januari 2024
Penulis adalah seorang Dosen di UIKA Bogor.

Berita lainnya