Hukum Jual Kulit Kurban?

Gambar ilustrasi.

Bagikan

Oleh: KH. Heri Kuswanto, M. Si.

Kagetnews | Religi – Seringkali terjadi saat Iduladha berlangsung, terjadi praktik memberikan kulit hewan kurban ke Masjid atau Musala. Namun setelah itu pihak Masjid/Musala menjualnya. Lantas dalam fenomena tersebut seperti apa sih hukum atau landasan fikihnya?

1) Pertama

Tidak boleh menjual apapun dari hasil kurbannya. Karena orang yang berkurban, dia menyerahkan semua hewannya dalam rangka beribadah kepada Allah.

Ali bin Abi Thalib ra:

أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لَا أُعْطِيَ الْجَزَّارَ مِنْهَا . قَالَ : نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا

Rasulullah SAW memerintahkanku untuk menangani hewan kurban Onta kurbannya, mensedekahkan dagingnya, kulitnya, dan asesoris onta. Dan saya dilarang untuk memberikan upah jagal dari hasil qurban. Ali menambahkan: Kami memberikan upah dari uang pribadi. (HR. Bukhari 1717 & Muslim 1317).

Rasulullah SAW memberi ancaman, orang yang menjual kulit kemudian uangnya dimanfaatkan pribadi, bisa membatalkan pahala kurbannya.

مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَتِهِ فَلاَ أُضْحِيَةَ لَهُ

Siapa yang menjual kulit kurbannya maka tidak ada kurban baginya. (HR. Al-Hakim 2/390)

2) Kedua

Panitia kurban, statusnya adalah wakil dari shohibul kurban. Sehingga apapun yang dilakukan panitia kurban, dianggap sebagai  pemilik kurban.

Tidak diizinkan menjual kulit kurban, kemudian uangnya dimanfaatkan untuk biaya operasional.

3) Ketiga

Ada perbedaan pendapat dari para Imam Madzhab terkait fenomena tersebut, berikut penjelasannya:

Madzhab Hanafiyah dan Imam Ahmad memperbolehkan.

Dalam Tabyin al-Haqaiq – kitab madzhab Hanafi

ولو باعهما بالدراهم ليتصدق بها جاز ; لأنه قربة كالتصدق بالجلد واللحم

”Jika dia menjual kurbannya dengan pembayaran uang dirham untuk disedekahkan dalam bentuk dirham, hukumnya boleh. Karena ini termasuk ibadah, sebagaimana sedekah dengan kulit atau dagingnya.” (Tabyin al-Haqaiq, 6/9).

Ibnul Qoyim dalam Tuhfah al-Maudud, riwayat dari Imam Ahmad, diantaranya keterangan al-Khallal,

وأخبرني عبد الملك بن عبد الحميد أن أبا عبد الله [يعني الإمام أحمد] قال : إن ابن عمر باع جلد بقرةٍ وتصدق بثمنه

Abdul Malik bin Abdul Humaid menyampaikan kepadaku bahwa Imam Ahmad pernah mengatakan, ’Sesungguhnya Ibnu Umar menjual kulit sapi, kemudian beliau sedekahkan uangnya.’ (Tuhfah al-Maudud, hlm. 89)

Mayoritas Ulama

Malikiyah, Syafiiyah dan Hambali melarang jual beli ini.

As-Syaukani :

اتفقوا على أن لحمها لا يباع فكذا الجلود. وأجازه الأوزاعي وأحمد وإسحاق وأبو ثور وهو وجه عند الشافعية قالوا : ويصرف ثمنه مصرف الأضحية

Ulama sepakat bahwa dagingnya tidak boleh dijual, demikian pula kulitnya. Sementara al-Auza’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan salah satu pendapat sebagian ulama Syafiiyah mengatakan, “Uang hasil menjual kurban disedekahkan sebagaimana hewan kurban.” (Nailul Authar, 5/153)

Kesimpulan

وعلى هذا ؛ فلا حرج في إعطاء الجلود للجمعيات الخيرية التي تتولى بيعه والتصدق بثمنه ، وهذا من المشاريع النافعة ؛ لأن أكثر الناس لا ينتفعون بجلد الأضحية ، فبيع الجلد والتصدق به فيه تحقيق للمصلحة المقصودة ، وهو نفع الفقراء ، مع السلامة من المحذور وهو اعتياض المضحي عن شيء من أضحيته .

فلو نوى المضحي أنه أعطى الجلد هدية للجمعية الخيرية التي تقوم بجمعه ، فلا حرج في ذلك .

ثم تقوم الجمعية ببيعه والتصدق بثمنه فيما شاءت من الأعمال الخيرية .

Oleh karena itu, tidak masalah memberikan kulit ke Yayasan sosial yang bertugas menjualnya dan mensedekahkan uangnya. Dan ini termasuk penanganan yang manfaat. Karena umumnya orang tidak bisa memanfaatkan kulit kurban. Sehingga menjual kulit untuk disedekahkan, mewujudkan inti maslahat itu. Yaitu memberi manfaat bagi orang miskin, disamping menghindari yang terlarang, yaitu memanfaatkan hasil jurban untuk mendapat keuntungan dari kurbannya.

Jika orang yang berkurban berniat memberikan kulit kurbannya ke yayasan sosial yang mengumpulkannya, tidak masalah. Kemudian yayasan ini menjual kulit itu, dan mensedekahkan uangnya untuk kepentingan sosial.

____

Heri Lintang Songo
Dosen Institut Ilmu Al Quran, IIQ Annur Yogyakarta, Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam STAIYO Yogyakarta dan A’wan Syuriyah PWNU DIY

Berita lainnya