Gambar ilustrasi.

Bagikan

Oleh: KH. Heri Kuswanto, M. Si.

Kagetnews | Religi – Fidiyah arti secara bahasa adalah tebusan. Menurut istilah syariat adalah denda yang wajib ditunaikan karena meninggalkan kewajiban atau melakukan larangan.

Dalam kitab Al-Lubab, Syekh Ahmad bin Muhammad Abu al-Hasan al-Mahamili mengklasifikasi fidyah menjadi 3:

• Pertama, fidyah senilai satu mud.

• Kedua, fidyah senilai dua mud.

• Ketiga, fidyah dengan menyembelih dam (binatang).

Fidyah ibadah puasa Ramadhan masuk dalam kategori pertama, yaitu fidyah senilai satu mud.

Syekh Zakariyya al-Anshari dalam Asna Al-Mathalib menjelaskan bahwa orang yang Wajib Membayar Fidyah diantaranya adalah:

1) Orang tua renta  

Kakek atau nenek tua renta yang tidak sanggup lagi menjalankan puasa, tidak terkena tuntutan berpuasa.

fidyah satu mud makanan untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan. Batasan tidak mampu sekiranya dipaksakan berpuasa menimbulkan kepayahan (masyaqqah) yang memperbolehkan tayamum. Maka tidak terkena tuntutan mengganti (qadha) puasa yang ditinggalkan

2) Orang sakit parah   

Syekh Sulaiman Al-Bujairimi, Tuhfah Al-Habib menjelaskan orang sakit parah yang tidak ada harapan sembuh dan ia tidak sanggup berpuasa, tidak terkena tuntutan kewajiban puasa Ramadan.

Sebagai gantinya, ia wajib membayar fidyah. Seperti orang tua renta, batasan tidak mampu berpuasa bagi orang sakit parah adalah sekiranya mengalami kepayahan apabila ia berpuasa, sesuai standar masyaqqah dalam bab tayamum.

Orang dalam kategori ini hanya wajib membayar fidyah, tidak ada kewajiban puasa, baik ada’ (dalam bulan Ramadan) maupun qadha’ (di luar Ramadan).

Berbeda dengan orang sakit yang masih diharapkan sembuh, ia tidak terkena kewajiban fidyah. Ia diperbolehkan tidak berpuasa apabila mengalami kepayahan dengan berpuasa, namun berkewajiban mengganti puasanya di kemudian hari .

3) Wanita hamil atau menyusui   

Menurut Syekh Ibnu Qasim Al-Ghuzzi, Fath Al-Qarib Hamisy Qut al-Habib Al-Gharib menjelaskan;

Ibu hamil atau wanita yang tengah menyusui, diperbolehkan meninggalkan puasa bila ia mengalami kepayahan dengan berpuasa atau mengkhawatirkan keselamatan anak/janin yang dikandungnya.

Dikemudian hari, ia wajib mengganti puasa yang ditinggalkan, baik karena khawatir keselamatan dirinya atau anaknya. Jika ia khawatir keselamatan dirinya atau dirinya beserta anak /janinya, maka tidak ada kewajiban fidyah. Jika hanya khawatir keselamatan anak/janinnya, maka wajib membayar fidyah.

4) Orang mati   

Menurut Syekh Nawawi Al-Bantani, dalam Qut Al-Habib Al-Gharib, dalam fiqih Syafi’i, orang mati yang meninggalkan utang puasa dibagi menjadi dua:

•Pertama: Orang yang tidak wajib difidyahi.

Yaitu orang yang meninggalkan puasa karena uzur dan ia tidak memiliki kesempatan untuk mengqadha, semisal sakitnya berlanjut sampai mati.

Tidak ada kewajiban apa pun bagi ahli waris perihal puasa yang ditinggalkan mayit, baik berupa fidyah atau puasa.

•Kedua: Orang yang wajib difidyahi.

Yaitu orang yang meninggalkan puasa tanpa uzur atau karena uzur namun ia menemukan waktu yang memungkinkan untuk mengqadha puasa.

Menurut qaul jadid (pendapat baru Imam Syafi’i), wajib bagi ahli waris/wali mengeluarkan fidyah untuk mayit sebesar satu mud makanan pokok untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan. Biaya pembayaran fidyah diambilkan dari harta peninggalan mayit.

Sedangkan menurut qaul qadim (pendapat lama Imam Syafi’i), wali/ahli waris boleh memilih di antara dua opsi, membayar fidyah atau berpuasa untuk mayit. Qaul qadim dalam permasalahan ini lebih unggul pendapatnya.

5) Orang yang mengakhirkan qadha Ramadhan   

Syekh Jalaluddin al-Mahalli, Kanz al-Raghibin menyampaikan bahwa orang yang menunda-nunda qadha puasa Ramadhan padahal ia memungkinkan untuk segera mengqadha sampai datang Ramadhan berikutnya, maka ia berdosa dan wajib membayar fidyah satu mud makanan pokok untuk per hari puasa yang ditinggalkan.

Fidyah ini diwajibkan sebagai ganjaran atas keterlambatan mengqadha puasa Ramadhan. Berbeda dengan orang yang tidak memungkinkan mengqadha, semisal uzur sakit atau perjalanannya (safar) berlanjut hingga memasuki Ramadan berikutnya, maka tidak ada kewajiban fidyah baginya, ia hanya diwajibkan mengqadha puasa.

Menurut pendapat Al-Ashah, fidyah kategori ini menjadi berlipat ganda dengan berlalunya putaran tahun.

Fidyah Uang ?

Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam Al-Fiqih Al-Islami wa Adillatuhu di dalamnya didapati perbedaan pendapat dikalangan ulama, adapun pendapatnya sebagai berikut;

1) Pendapat mayorits ulama mazhab empat, yaitu Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah ini berargumen dengan nash syariat yang secara tegas memerintahkan untuk memberi makanan pokok kepada fakir/miskin, bukan memberi jenis lain.

Sebagaimana penjelasan di atas, harta yang dikeluarkan untuk fidyah disyaratkan berupa makanan pokok daerah setempat. Tidak cukup menggunakan harta jenis lain yang bukan merupakan makanan pokok, semisal uang, daging dan lain-lain.

2) Sedangkan menurut Hanafiyah, fidyah boleh ditunaikan dalam bentuk qimah (nominal) yang setara dengan makanan yang dijelaskan dalam nash Al-Qur’an atau hadits, misalnya ditunaikan dalam bentuk uang.

Ulama Hanafiyyah cenderung lebih longgar memahami teks-teks dalil agama yang mewajibkan pemberian makan kepada fakir miskin. maksud pemberian makanan untuk fakir miskin adalah memenuhi kebutuhan mereka, dan tujuan tersebut bisa tercapai dengan membayar qimah (nominal harta) yang sebanding dengan makanan.

3) SK Ketua BAZNAS No. 7 Tahun 2023 tentang Zakat Fitrah dan Fidyah untuk wilayah Ibukota DKI Jakarta dan sekitarnya telah ditentukan bahwa nilai fidyah dalam bentuk uang sebesar Rp 60.000/hari/jiwa (wilayah lain bisa lebih tinggi/rendah)

Sementara, untuk fidyah dengan uang, hanya pendapat dari Mazhab Hanafi yang membolehkan hal ini. Pembayaran fidyah dengan uang atau qimah harus sebanding dengan harga makanan pokok yang dikonsumsi.

____

P. Heri Pesantren Lintang Songo Yogya 0856 0121 5953. Dosen Institut Ilmu Al Quran (IIQ) Annur Yogyakarta dan Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIYO) Yogyakarta, A’wan Syuriyah PWNU DIY.

Berita lainnya