Kagetnews | Indramayu – Fenomena pengemis asal Kabupaten Indramayu yang beroperasi hingga ke luar kota seperti Cirebon dan Jakarta kian memprihatinkan. Tak sekadar mencari belas kasihan, aktivitas ini kini diduga kuat telah menjadi mata pencaharian tetap yang dikelola secara terorganisir. Hasilnya pun mencengangkan bahkan bisa melampaui penghasilan pedagang kecil dan buruh tani.
Menurut advokat dan pengamat sosial, Dudung Badrun, SH., MH., praktik mengemis telah berubah wajah. “Ini bukan sekadar ekspresi keterdesakan ekonomi. Ini sudah menjadi industri sosial yang terstruktur, dengan alur logistik, titik operasi, dan sistem pengumpulan hasil,” ujarnya saat diwawancarai, (17/5/2025).
Dalam satu hari, kata Dudung, seorang pengemis bisa mengantongi pendapatan sekitar Rp150.000 – Rp200.000. Sementara buruh tani hanya mendapatkan upah harian rata-rata Rp100.000, dengan kerja keras dari pagi hingga sore. “Ketimpangan ini memicu tumbuhnya mental instan. Kenapa harus kerja keras jika cukup duduk dan menengadahkan tangan bisa dapat lebih?” tambahnya.
• Pengalaman Warga: Mengemis di Kota, Pulang di Desa
Fenomena ini juga dirasakan langsung oleh masyarakat. Seorang warga, Syaiful Arifin (37), mengaku sering melihat pengemis berpakaian rapi datang silih berganti saat makan di sebuah rumah makan Padang dekat Bundaran Kijang, Indramayu. “Baru duduk makan 30 menit, sudah tiga orang datang minta-minta. Tapi bajunya bersih, bahkan ada yang pakai sepatu olahraga baru,” ungkapnya.
Tak hanya di Indramayu, praktik ini juga ditemukan di Cakung, Jakarta Timur. Setiap pagi sekitar pukul 06.00 WIB, pengemis asal Indramayu didrop di perempatan lampu merah. Menjelang sore, mereka dijemput kembali oleh koordinator. “Kabar yang beredar, bos pengemis ini berasal dari desa antara Muntur dan Manggungan, rumahnya besar, mirip milik anggota DPR,” kata Dudung.
• Fakta Hukum yang Terabaikan
Padahal secara hukum, praktik mengemis dilarang. Pasal 504 KUHP menyebutkan:
“Barang siapa meminta-minta di jalanan atau di tempat umum lainnya, diancam dengan pidana kurungan paling lama enam minggu.”
Sedangkan Pasal 505 KUHP menambahkan:
“Barang siapa bergelandangan tanpa pencaharian dan tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan.”
Namun, aturan ini tak berjalan efektif. Menurut Dudung, ketentuan tersebut tidak menjadi prioritas dalam agenda Aparat Penegak Hukum (APH), Satpol PP, maupun Pemerintah Desa (Pemdes). “Ini masalah sistemik. Aparat tidak bergerak, masyarakat membiarkan, dan akhirnya praktik ini dianggap wajar,” tegasnya.
• Solusi dan Rekomendasi
Dudung menyarankan pendekatan kolaboratif antara Pemda, dinas sosial, dan tokoh masyarakat. “Kita butuh program rehabilitasi sosial, pelatihan keterampilan, serta pemberdayaan ekonomi berbasis desa agar masyarakat tidak bergantung pada praktik mengemis,” jelasnya.
Ia juga mengimbau aparat penegak hukum lebih aktif. “Pasal pidana yang ada bisa digunakan, tinggal keberanian dan kemauan politik dari pemerintah,” pungkasnya.
Pewarta: Sujaya
Editor: Taufid