Efektivitas Penegakan HAM Kasus Pembunuhan yang Dilakukan Oleh Paspampres & TNI AD

Gambar ilustrasi.

Bagikan

Oleh: Malik Abdul Aziz

Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Pasundan.

 

Kagetnews | Opini – Pada tanggal 27 Agustus kemaren menjadi peristiwa yang tidak sepatutnya dilakukan oleh paspampres dan 2 (dua) anggota TNI AD. Pemuda asal Aceh, Imam Masykur (25) tewas tewas akibat penganiayaan oleh anggota Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) berinisial Praka RM.

Kejadian ini menjadi ramai dibahas usai sebuah video yang merekam peristiwa saat Imam diduga diculik dan menelepon keluarganya untuk meminta uang tebusan, beredar di media sosial.

Pembunuhan yang disertai dengan penganiayaan yang dilakukan oleh oknum paspampres dan kedua anggota TNI menjadi catatan merah ditubuh Tentara Nasional Indonesia (TNI). Apa yang dilakukan oleh oknum paspampres dan kedua anggota TNI tidak patut dicontoh dimana seharusnya mereka bertiga menjadi pelindung bagi warga sipil bukan malah membunuh pemuda aceh yang menjadi tulang punggung keluarga.

Ibu kandung Imam, Fauziah (48) menceritakan, awalnya imam merantau ke Jakarta sejak setahun lalu. Di Jakarta berjualan kosmetik. Imam bahkan sudah mempunyai kios kosmetik sendiri di daerah Tangerang Selatan sejak empat bulan belakangan. Selain itu, kondisi perekonomiannya di perantau mulai membaik.

Pada Sabtu (12/08/2023), Imam meneleponnya dan meminta uang Rp. 50.000.0000,- Imam mengaku uang itu akan diserahkan karena ia sedang diculik “saya tidak tahu apa masalahnya,” kata Fauziah, seperti diberitakan Kompas.com, Minggu (27/08/2023).

Saat panggilan telepon masih tersambung, Fauziah juga mendengar suara orang lain yang diduga pelaku. “dia bilang, kalau sayang anak, kirim duit Rp. 50.000.000, saya bilang, iya saya kirim jangan dipukul anak saya”

Seorang kerabat korban, Said Sulaiman mengungkapkan Imam dibawa paksa pelaku saat berada di Rempoa, Ciputat Timur, Kota Tangerang, Banten. Setelah sambungan telepon terakhir, keluarga tidak bisa lagi menghubungi korban. Imam juga tidak Kembali pulang ke rumah. Merasa khawatir, Said yang sedang berada di Jakarta melaporkan kejadian tersebut ke Polda Metro Jaya pada 14 Agustus 2023.

“Pelaku juga mengirimkan video penganiyaannya. Hingga saat laporan tersebut dibuat. Korban (Imam) tidak dapat dihubungi,” kata Said, dikutip dari Kompas.id (27/8/2023)”

Namun pada Rabu (23/08/2023), Fauziah mendapatkan kabar anaknya ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa di Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat. Jenazah Imam tergeletak didalam sebuah kali.

Pengertian Ham

Hak asas manusia merupakan hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Dalam hal ini meskipun setiap orang dilahirkan dengan latar belakang berbeda, baik suku, agama, warna kulit, jenis kelamin, ia tetap mempunyai hak-hak tersebut dan wajib untuk dilindungi oleh siapapun, terutama oleh negara-negara di dunia.

HAM adalah hak-hak yang dimiliki oleh manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran dan kehadirannya dalam hidup masyarakat. Hak ini ada pada manusia tanpa membedakan bangsa, ras, agama, golongan, jenis kelamin, karena itu bersifat asasi dan universal. Dasar dari semua hak asasi adalah bahwa semua orang harus memperoleh kesempatan berkembang sesuai dengan bakat dan citacitanya. (Mariam Budiardjo, 1982, 120)

Secara teoritik, hak asasi manusia pada dasarnya mengatur hubungan antara individu-individu dengan negara. Hak asasi manusia telah disepakati sebagai hukum internasional yang telah menjadi standar yang kuat bagaimana negara harus memberlakukan indivdu-individu di dalam wilayah yurisdiksinya. Hak asasi manusia memberikan jaminan moral dan hukum kepada individu-individu setiap manusia untuk melakukan kontrol dan mendorong aturan-aturan dan praktik-praktik kekuasaan yang menghormati, memastikan adanya kebebasan individu dalam berhubungan dengan negara dan meminta negara untuk melakukan pemenuhan hak-hak dasar individu dalam yurisdiksinya Oleh karena itu individu dalam yurisdiksi suatu negara wajib untuk dilindungi dan dihormati hak asasinya, apapun kondisi individu yang bersangkutan. Maka ketika negara tidak mampu melindungi dan menghormati hak asasi, saat itu juga negara telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengemukakan prinsip penting bagi penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia dalam rangka menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia masa lalu serta menghapus impunitas di negara-negara di dunia. Prinsip tersebut meliputi keseluruhan aspek dan dimensi serta mekanisme penting bagi penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia, dengan empat pilar penting yaitu: a) hak atas rasa keadilan (right to justice); b) hak atas kebenaran (right to truth); c) hak atas reparasi (right to reparation); dan d) jaminan ketidakberulangan (guarantees of non reccurance). Seluruh pilar tersebut berdiri di atas prinsip umum, yaitu kewajiban negara untuk mengambil langkah-langkah yang efektif dalam memerangi impunitas.

Impunitas muncul karena kegagalan negara dalam memenuhi kewajiban mereka menyelidiki, mengambil langkah tepat dengan menjamin siapapun pelakunya dituntut dan dibawa ke pangadilan dan dihukum, menyediakan langkah pemulihan bagi korban, menjamin terpenuhinya hak atas kebenaran yang tak dapat dicabut milik korban serta mengambil langkah untuk mejamin ketidakberulangan (Firdiansyah, 2016: 16-17).

Dalam Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 disebutkan pelanggaran hak asasi manusia adalah “setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak sengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.”

Namun untuk sampai pada upaya penegakannya lewat pengadilan hak asasi manusia, hanya pelanggaran hak asasi manusia berat yang dapat diselesaikan lewat jalur pro justicia. Hal ini termuat dalam Pasal 104 ayat (1) yang berbunyi: “Untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat dibentuk pengadilan hak asasi manusia di lingkungan pengadilan umum.

Analisis Kasus Menurut Undang-undang HAM

Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 disebutkan bahwa: “hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.” Sebagai aparatur negara yang saat melakukan perbuatan masih terikat aktif sebagai anggota Paspampres dan TNI AD para terdakwa justru tidak melakukan kewajibannya untuk menghormati, melindungi, dan menjunjung tinggi hak asasi korban. Malah para terdakwa melakukan pembunuhan dengan dibarengi penyiksaan bertujuan untuk meminta uang tebusan terhadap keluarga korban sebesar Rp. 50.000.000.

Pada pasal 1 ayat 4 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa “Penyiksaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmasi maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh seseorang atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan siapapun dan atau pejabat publik”. Di pasal 1 ayat 4 sudah jelas mengatakan bahwa bagaimanapun permasalahan yang dilakukan oleh korban tidak dibenarkan dengan adanya penyiksaan yang mengakibatkan penderitaan.

Apa yang terjadi sebelum pembunuhan, saat pembunuhan, dan setelah pembunuhan dihubungkan dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, yang berbunyi: “Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.” Dimana dalam pasal 9 adalah salah satu perbuatannya melakukan pembunuhan dan penganiayaan. Hal ini menunjukkan bahwa unsur-unsur yang ada dalam Pasal 9 tersebut mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan telah terpenuhi, karena sejak awal ada upaya-upaya yang dilakukan oleh para terdakwa. Dengan berpura-pura sebagai polisi untuk menangkap korban dan menuduhnya mengedarkan obat-obatan illegal melakukan, penyiksaan, memeras keluarga korban dan sampai membunuh korban.

Dalam penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia terdapat prinsip yang meliputi keseluruhan aspek dan dimensi serta mekanisme penting bagi penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia, dengan empat pilar penting yaitu: a) hak atas rasa keadilan (right to justice); b) hak atas kebenaran (right to truth); hak atas reparasi (right to reparation); dan d) jaminan ketidakberulangan (guarantees of non reccurance).

Maka dari itu negara harus serius melakukan penyelidikan secara mendalam dan transparan sehingga tidak mengakibatkan timbulnya polemik di Masyarakat. Tanggung jawab negara ada dua macam yaitu: tanggung jawab terhadap pelaku yaitu dengan membawa para pelaku ke depan pengadilan hak asasi manusia untuk diadili, hal ini bertujuan untuk menciptakan keadilan bagi semua pihak dan memutus impunitas yang sering terjadi terhadap para pelaku pelanggaran hak asasi manusia berat. Di sisi yang lain yaitu memberikan kompensasi dan rehabilitasi terhadap korban pelanggaran hak asasi manusia.

Dalam perspektif hak asasi manusia, korban bukan semata-mata mereka yang telah meninggal tetapi juga ahli warisnya dan mereka yang menderita atas tindakan para pelaku tersebut. Seperti yang dikatakan Teo Van Boven, korban adalah orang yang secara individual maupun kelompok telah menderita kerugian, termasuk cedera fisik, maupun mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi ataupun perampasan yang nyata terhadap hak-hak dasarnya, baik karena tindakan (by act) maupun karena kelalaian (by omission).

Pengertian korban dalam hak asasi manusia merangkum hampir semua jenis penderitaan yang dialami korban, penderitaan di sini tidak hanya terbatas pada kerugian ekonomi, cedera fisik maupun mental juga mencakup derita-derita yang dialami secara emosional oleh para korban, seperti mengalami trauma. Istilah korban juga termasuk keluarga atau orang yang bergantung kepada orang lain yang menjadi korban. Dengan demikian korban yang dimaksud bukan hanya yang mengalami penderitaan secara langsung, melainkan juga keluarga atau orang yang mengalami penderitaan akibat dari penderitaan si korban tadi (Yulia, 2012: 277). ***

Berita lainnya