Eksistensi Guru Ngaji: Lilin Kecil di Tengah Gelombang Kemunduran Peradaban

Gambar ilustrasi. (Ist)

Bagikan

Oleh: H. Sujaya, S. Pd. Gr.
(Pendidik, Pemerhati Pendidikan Karakter)

 

Kagetnews | Opini – Di tengah hiruk pikuk modernisasi, digitalisasi, dan degradasi moral, keberadaan guru ngaji laksana lilin kecil yang tetap menyala di tengah gelapnya kemunduran peradaban. Mereka hadir bukan hanya sebagai pengajar huruf Arab atau hafalan surah, melainkan penjaga nilai, penerus tradisi keilmuan, dan pembina akhlak generasi muda. Namun, realitas saat ini menunjukkan bahwa eksistensi guru ngaji kian terpinggirkan, bahkan nyaris hilang di banyak tempat.

Kemunduran Peradaban dan Krisis Nilai

Kemajuan teknologi tidak selalu diiringi dengan kemajuan moral. Banyak pengamat sosial menilai bahwa kita sedang menghadapi krisis karakter dan degradasi nilai. Sosiolog Imam B. Prasodjo mengatakan, “Modernisasi membawa disrupsi bukan hanya pada aspek ekonomi dan sosial, tapi juga pada sistem nilai dan moral masyarakat. Pendidikan informal berbasis agama, seperti pengajian, mengalami penurunan eksistensi.” (Kompas, 2021)

Krisis ini diperparah dengan sedikitnya waktu anak-anak untuk belajar agama. Berdasarkan Laporan BPS tahun 2023, waktu belajar agama anak-anak usia sekolah mengalami penurunan drastis. Sistem Full Day School dan 5 Hari Kerja dianggap menggeser waktu luang anak untuk kegiatan spiritual, termasuk mengikuti TPA dan pengajian sore.

Kelangkaan Guru Ngaji dan Tekanan Sosial

Kementerian Agama RI pada tahun 2011 mencatat bahwa hanya 36% Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) yang masih aktif pasca pandemi. Data ini menunjukkan kemerosotan drastis peran guru ngaji dalam sistem pendidikan informal keagamaan. Padahal, guru ngaji memiliki kontribusi luar biasa dalam membentuk kepribadian anak yang berakhlak mulia.

Sayangnya, tekanan sosial terhadap profesi ini makin berat. Seorang guru ngaji di sebuah desa dikriminalisasi dan dikenai denda Rp25 juta karena dianggap melakukan kekerasan saat menegur murid dengan keras. Padahal, teguran tersebut tidak dimaksudkan untuk melukai, tetapi untuk mendidik dan mengarahkan. Kejadian ini menunjukkan bahwa masyarakat mulai kehilangan konteks pendidikan tradisional yang penuh kearifan.

Pendapat Ahli: Peran Strategis Guru Ngaji

Prof. Quraish Shihab, pakar tafsir terkemuka Indonesia, pernah menyampaikan bahwa guru ngaji adalah “penyambung generasi Qur’ani dari masa ke masa. Mereka bukan hanya mengajarkan bacaan, tapi menanamkan nilai dan membentuk peradaban.” (Dialog Kebangsaan, 2020). Artinya, memudarnya eksistensi guru ngaji bukan sekadar kehilangan pengajar, tetapi kehilangan penopang moral bangsa.

Sementara itu, KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) mengingatkan dalam salah satu pengajiannya, “Kalau guru ngaji dianggap tidak penting, maka yang akan penting hanya influencer dan selebritas” Kritik ini menyoroti pergeseran orientasi masyarakat dari keteladanan moral ke popularitas semu.

 Masalah Utama

1. Turunnya minat belajar agama secara informal. Waktu belajar anak tersita oleh sistem pendidikan formal yang padat.

2. Minimnya penghargaan dan perlindungan terhadap guru ngaji. Belum ada regulasi kuat yang melindungi guru ngaji sebagai tenaga pendidik nonformal.

3. Stigma negatif terhadap metode pengajaran tradisional. Teguran keras dari guru dianggap kekerasan tanpa melihat niat dan konteks edukatifnya.

4. Pengaruh gaya hidup modern dan digitalisasi. Anak-anak lebih banyak mengakses gawai dibanding mushaf.

Solusi yang Dapat Ditawarkan

1. Penguatan Peran Negara dan Lembaga Keagamaan

Pemerintah melalui Kementerian Agama perlu memperluas program pendataan dan sertifikasi guru ngaji seperti halnya guru formal. Pengakuan formal akan meningkatkan kepercayaan masyarakat serta memberikan perlindungan hukum.

2. Revitalisasi TPA dan Madrasah Diniyah

Kegiatan belajar agama sore hari perlu dihidupkan kembali melalui kerja sama antara sekolah, masjid, dan keluarga. Misalnya, memberikan waktu khusus dalam seminggu yang mendukung kegiatan keagamaan di luar jam sekolah.

3. Pendidikan Karakter yang Terintegrasi

Pendidikan karakter berbasis agama harus diintegrasikan dalam kurikulum sekolah formal, dan sekolah wajib merekomendasikan santri dari TPA/guru ngaji sebagai bagian dari penilaian kepribadian siswa.

4. Perlindungan Hukum Bagi Guru Ngaji

Perlu adanya kebijakan hukum yang membedakan antara mendidik dan kekerasan. Guru ngaji yang menegur tidak bisa serta merta dikriminalisasi tanpa penelusuran etika pendidikan tradisional.

5. Literasi Digital dan Keagamaan

Mendorong inovasi pengajaran agama melalui platform digital. Guru ngaji perlu didorong untuk beradaptasi dengan platform seperti YouTube, TikTok, atau podcast untuk menjangkau generasi muda dengan pendekatan baru.

Penutup: Menjaga Lilin Itu Tetap Menyala

Guru ngaji memang tidak selalu berpendidikan tinggi. Mereka mungkin tidak dikenal media, tidak punya akun viral, bahkan tidak dibayar. Namun jasa mereka menyala dalam sunyi. Eksistensinya harus tetap dijaga karena di pundak merekalah cahaya peradaban Islam terus hidup.

Sebagaimana kata Buya Hamka, “Guru sejati adalah mereka yang tetap mengajar walau tidak dibayar, tetap menasehati walau tidak didengar.” Maka jangan padamkan lilin-lilin kecil itu, karena dari cahaya merekalah harapan generasi ini masih bisa menyala.

 

Referensi

Kementerian Agama RI. (2011). Data Taman Pendidikan Al-Quran di Indonesia.

Badan Pusat Statistik. (2023). Waktu Belajar Agama Anak-anak dan Aktivitas Sosial Pasca Pandemi.

Kompas. (2021). Modernisasi dan Krisis Moral di Indonesia: Wawancara dengan Imam B. Prasodjo.

Dialog Kebangsaan bersama Prof. M. Quraish Shihab. (2020). TVRI Nasional.

Gus Mus Official Channel. (2022). Pengajian Kebangsaan dan Kritik Sosial Budaya.

Indramayu, 2 Agustus 2025.

Berita lainnya