Demokrasi di Telapak Kaki

Gambar ilustrasi.

Bagikan

Oleh: Hasbi Indra

Kagetnews | Opini – (“Bangsa kembalilah ke wasiyat pahlawannya, mereka mengorbankan nyawa untuk negeri yang supaya demokratis yang tujuannya untuk keadilan dan kesetaraan manusia serta kemakmuran seluruh rakyat”).

Tulisan ini semoga untuk mengingatkan hal itu!

Manusia sekalipun sudah tinggi level pengetahuannya tapi mungkin ada yang  belum memahami esensi demokrasi yang menghormati dirinya setara dengan manusia lainnya tak ada manusia istimewa di suatu bangsa sehingga ia sangat berhak di suatu tahta yang di pandang terhormat.

Demokrasi ada agar suatu bangsa tak berada dibawah telapak kaki lain yang sangat kuat dan perkasa dan rasanya tak mungkin lagi ada di hari ini karena sudah di era peradaban dan budaya pendidikan yang menandainya dan manusia telah memahami dirinya  sama terhormat dengan manusia lainnya.

Konsisten memilih jalan itu jangan hanya sekolah tapi sesungguhnya manusianya yang kini  baiknya tak lagi berada dibawah telapak kaki yang sedang menguasai manusia lain yang dianggap ia sangat istimewa bak raja.

Manusia istimewa ada yang tercipta dalam istilah manusia ada yang berdarah biru dan ada yang yang tidak, dibentuk oleh manusia pentuhan harta dan tahta.

Saat ini manusia  sudah berkecerdasan terkesan telah tahunan terjadi yang sebaliknya berada dalam injakan manusia yang tak semestinya.

Baiknya  segeralah membebaskan diri dari suasana itu dengan mengembalikan esensi demokrasi sebagai wasiyat para pahlawannya di tengah anak bangsa yang banyak mengorbankan kehendaknya agar tegak dan berdiri  setara sesama manusia untuk meraih cita konstitusi itu.

Berharap melalui demokrasi menghasilkan pemimpin yang berkecerdasan untuk membawa bangsa menuju kejayaannya bukan keterpurukannya dan nasib rakyatnya yang belum banyak merasakan keadilan, kesetaraan dan berkemakmuran yang jumlahnya kini dua ratusan juta lebih yang cita itu saat ini terasa masih jauh.

Kini negeri terasa hanya untuk sekelompok kecil manusia sangat berkemakmuran, aset ekonomi di atas 70 persen lebih dan tanah jutaan hektar dikuasai, dan kekayaan lain juga miliknya.

Eksistensi bangsa kini bergantung hutang di angka 8000 triliun lebih, juga yang korup ada puluhan triliun dan juga ada di angka 271 dan 349 triliun dan manusia miskin dan menganggur  puluhan juta versi tahta dan 100 juta lebih versi bank dunia, juga penangkapan aktifis yang kritis dan pelemahan KPK dan MK  terkesan tahta tuna hukum, etika dan morals serta tuna politik adiluhung, demokrasi jadi otokrasi.

Karya besarnya memperburuk wajah bangsa dan membebani kehidupan ratusan juta rakyat dan Pemilu yang kontroversials, serta bukan pengulangan dari sebelumnya dan malah lebih parah, fenomena-fenomena yang luar biasa belum pernah terjadi era sebelumnya.

Demokrasi otokrasi

Demokrasi yang diarahkan ke otokrasi telah mengantarkan manusia disandera melalui panggung manusia bertoga dan berhukum hal itu  ada berpandangan  telah melahirkan anak haramnya.

Menunjukkan instrumen demokrasinya menuju kelumpuhan yang diisi oleh manusianya yang seolah tak lagi berpendidikan dan bekecerdasan seperti manusia zaman dulu.

Mereka tak lagi memegang teguh nilai itu dan merendahkan dirinya bak manusia tak berpengetahuan dan tak berprinsip dalam menjalani peran kehidupannya untuk bangsanya oleh iming materialistik yang mengorbankan manusia  banyak lainnya.

Kondisi bangsa yang ada adalah fenomena instrumen demokrasi dalam kerangkeng dan  tersandera SK yang dimilikinya, dan juga tersandera oleh iming jabatan dan masa jabatannya.

Demokrasi diinjak juga melalui cawe yang di tahta dalam di berbagai peristiwa seperti menggunakan Bansos uang rakyat yang jumlahnya 497 trilyun dengan politik gentong babi yang semakin merusak mentalitas rakyat.

Rakyat harus berterima kasih padanya yang digerakkan oleh beberapa kaki tangannya yang berkaitan dengan ekonomi dan perdagangan yang mereka makan  gaji besar dari rakyat.

Proses pemilu yang kontroversials oleh instrumennya seperti KPU dan lainnya yang  telah gagap dan terkesan dungu dalam melaksanakan tugasnya.

Rakyat berharap pemutus hukum dari yang bertoga dan pemutus suara rakyat yang jangan mengalami kelumpuhan karena mungkin harta mengguyuri darahnya atau noda melekat didirinya.

Kembali lembaga terhormat itu seperti Mahkamah Keluarga yang didukung padahal  mereka makan gaji besar dari rakyat dan  terhormat. Sangat disayangkan tak  dibayar dengan karya besar untuk rakyat oleh kebanyakan sang hakim.

Juga menunggu angket wakil rakyat yang juga makan gaji besar dari rakyat dan juga terhormat. Baiknya bayar dengan karya besar untuk rakyat dan baiknya tak  lumpuh.

Agar demokrasi tak semakin jauh diselewengkan yang menjadi tantangan manusia telapak kaki yang sering berkaos kaki dan bekecerdasan di negeri ini.

Manusia telapak kaki berbau

Alkisah, dulu ada   telapak kaki manusia belum mengenal kaos kaki dan sepatu. Awalnya baru mengenal sandal dari kayu lalu plastik sebagai gambar manusia baru mengenal kemajuan yang umumnya saat itu  dipakai di pasar-pasar.

Manusia mengenal sepatu dan berkaos kaki sebagai satu ukuran manusia terhormat yang digunakan diperkantoran itu.

Dalam perjalanan suatu bangsa  ada telapak kaki yang ingin berada di atas telapak kaki lain meskipun awalnya sesekali  dibalut kaos kaki yang tentu penuh keringat dan berbau.

Telapak kaki di demokrasi harus dikembalikan pada aura sejatinya dan manusianya kembalilah pada harkat dan martabatnya yang bekecerdasan.

Manusianya kini ada dalam andaian  telapak kaki yang sering berkaos kaki yang telah diinjak oleh telapak kaki yang jarang berkaos kaki yang tentu ada aroma bau yang tak sedap itu.

Demokrasi yang telah diinjak  oleh telapak kaki itu di tengah bangsa besar yang rakyatnya dua ratus juta lebih begitu banyak orang pintar lagi cerdas di berbagai tempat yang tak sedap posisinya.

Bahkan mereka ada di si pemegang senjata lambangnya ada bintang satu hingga empat di pundaknya dan juga di pemakai toga yang telapak kakinya sering dibalut kaos kaki yang rasanya mereka ada sedang dikuasai oleh telapak kaki yang beraroma bau.

Telapak kaki otoritarians

Telapak kaki otoritarians bersenjata kisah lama yang disesali  lalu muncul di era reformasi  kini kondisi menuju pengulangan yang good fathersnya kaum lama dan mungkin otoritarians ideologi dari negara yang sering dikunjungi untuk membangun fisik bangsa. Hal yang sangat mengkhawatirkan kondisi nanti mencekam akan terulang melalui telapak kaki otoritarians selama tahunan ke depan.

Telapak kaki yang sama sekali tak mengenal apa misi reformasi, seperti penumpang gelap yang diselundupkan.

Menguasai telapak kaki manusia yang sering berkaos kaki begitu tinggi dan terhormat karena telapak kakinya telah berjalan jauh masuk ke kampus -kampus dan ke kantor yang ber-ac., namun nasibnya sungguh memilukan.

Telapak kaki sering berkaos kaki di sepatu telah menjadi lambang kecerdasannya dan terhormat dan ada  yang berjejer bintang empat di pundaknya dan ada pula di toga sebagai lambang kecerdasannya

Telapak kaki yang jarang berkaos kaki suatu ketika menjadi telapak kaki perkasa yang darinya mengeluarkan misalnya SK untuk hidup dan penentu nasib seseorang yang bekecerdasan dengan tanda bintang dan toga telah ditundukkan itu.

Lalu, hanya karena merasa telapak kakinya telah tahunan di atas telapak kaki manusia cerdas  dan  ingin selamanya berada di sana dan menikmati injakannya lebih lama.

Memang sejak semula telapak kaki yang jarang berkaos kaki itu salah tempatnya. 

Telapak kaki yang salah tempat yang lebih banyak dibungkus oleh  sandal. Telapak kaki yang banyak berjalan di tempatnya yakni di pasar loak dan bukan di istana.

Telapak kaki yang memang tempatnya awalnya di pasar karenanya menjadikan istananya seperti pasar tempat jual beli barang untuk keuntungan dirinya dan kaki tangannya. Istana peng-peng namanya kata Rizal Ramli sang ekonom itu.

Telapak kaki itu lalu sangat perkasa karena mungkin ada tuannya yang menggerakkan hampir semua tunduk apakah itu manusia di lembaga think tank, di lembaga survey, di media massa, di partai dan di ormas serta telapak kaki yang berkaos kaki dari kaki yang berbintang dan bertoga.

Bahkan ia telah menundukkan instrumen demokrasi lainnya yakni lembaga penyelenggara pesta kaum elit, pengawas,  dan pemutus dan juga kaum bertoga ada yang  tunduk dan patuh padanya.

Telapak kaki yang sesekali berkaos  kaki bekas yang berkuasa di era modern di bangsa Kanowa sangat perkasa.

Telapak kaki itu  sangat perkasa di era demokrasi yang awalnya dibiarkan oleh hampir semua orang cerdas negeri ini ulama, pendeta, intelektual dan bintang empat tentara dan polisi.

Lalu, berbagai pihak terkejut bukan saja sumsum kekayaan yang ia mau rampas membiarkan korupsi gila-gilaan di bangsa ini ia buat KPK underbow politiknya dan MK hanya Mahkamah Keluarga bak di telapak kakinya, tapi juga sumsung reformasi yang rakyat telah dibebaskan untuk bersuara diberangusnya dan klimaksnya demokrasi citarasa otokrasi.

Bahkan ia telah menundukkan instrumen demokrasi lainnya yakni lembaga penyelenggara pesta kaum elit, pengawas,  dan pemutus dan juga kaum bertoga ada yang  tunduk dan patuh padanya.

Telapak kaki berkaos kaki bekas itu telah menginjak mereka dan mereka terus menikmatinya!

Telapak kaki menyandera suatu bangsa bak telapak kaki manusia otoritarians di masa lalu yang mengorbankan manusia bak kaki tangannya  di bangsa yang seolah kini tak lagi bekecerdasan termasuk mereka yang bertoga di MK itu.

Ada beberapa manusia lemah di MK hanya punya satu nyawa atau hatinya telah dicap hitam oleh dirinya sehingga panggilan hati nurani tetutup oleh jubahnya. Mereka cenderung menjadi manusia gila jabatan dan pengejar tahta dan tahta seperti juga yang terjadi di lembaga lain seperti KPK dan lembaga sejenis lainnya.

Pesan teologis agama dan Pancasila tak sampai ke mereka karenanya ada yang tetap berdiri di keadilan versinya sebagai jalan yang aman di dunia tak aman di akhirat dan bagi mereka urusan nanti. Mereka memilih berada di telapak kaki otoritarians yang akan berdampak pada wajah bangsa dan nasib rakyat berikutnya.

Beberapa toga yang sia-sia bagi bangsa dan rakyat negeri ini. Kembali tak bekerja dengan hati, ratusan juta gaji besar dari keringat rakyat yang hanya menghasilkan keputusan diantaranya dari beberapa manusia sampah yang baiknya malu dengan rakyat dan mundur dari kursi empuk itu yang hanya berguna untuk diri dan anaknya.

Bila hak angket juga tak kunjung tiba yang sangat mungkin  partai tersandera dosa, kembali rakyat menyaksikan dana ratusan milyar atau bahkan lebih yang hanya  menghadirkan partai benalu rakyat dan manusia sampah yang menyebut diri  wakil rakyat yang juga kumpulan tong sampah bagi bangsa dan rakyat?

Bangsa tak memiliki jalan kembali, kondisi yang buruk akan kembali rezim peng-peng berlanjut dan akan terus menuju ke ketidakpastian sebagai gerbang kehancuran kondisi bangsa (lihat kembali data kualitatif di atas) bentuk pengkhianatan terhadap pahlawannya yang telah mengorbankan nyawa.

Bangsa terus berada di alam kedunguan yang  meliputi langit bangsa yang sangat memprihatinkan yang ditunjukkan oleh mereka yang di tahta negara bak robot asing dan oligarki dan kaki tangannya di KPK, KPU Bawaslu dan lainnya lalu MK, dan hak angket lagi ditunggu oleh rakyat.

Bogor April 202
Penulis adalah seorang Dosen di UIKA Bogor.

Berita lainnya