Oleh: Roswanda Hadi Surya Bahari
(Peneliti Antera Institut/Mahasiswa Unisba Fakultas Kedokteran)
Kagetnews | Opini – Penyakit yang dibawa oleh nyamuk Aides Aegypti bukanlah penyakit biasa, sekarang sudah menjadi epidemi yang kita kenal tapi tak pernah bisa kita hentikan, itu dia Demam Berdarah Dengue (DBD) bukanlah agi penyakit baru. Ia bukan misteri medis yang belum ada penjelasannya. Virusnya sudah lama ditemukan, vektornya sudah jelas: Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Cara pencegahannya pun sudah diajarkan sejak SD: 3M (menguras, menutup, mengubur). Namun, setiap tahun, Indonesia seolah mengulang bab yang sama dalam buku tragedi kesehatan.
Puncak kasus di musim hujan, korban berjatuhan, pemerintah berjanji, lalu melupakan. Tahun 2024 saja, negeri ini mencatat hampir 250.000 kasus DBD dengan 1.418 kematian (health.detik.com).
Awal 2025 pun tidak memberi tanda perbaikan berarti. Hingga pertengahan Februari, kasus DBD mencapai 10.752 dengan 48 kematian (CFR ±0,8 %) (health.detik.com), dan pada Januari–Juni 2025 jumlahnya menjadi 89.845 kasus dengan 391 kematian (mediaindonesia.com). Angka-angka ini bukan sekadar statistik: di balik setiap angka, ada keluarga yang kehilangan anak, ada orang tua yang kehilangan pencari nafkah, dan ada lubang kemiskinan yang semakin dalam akibat biaya perawatan.
• Indramayu Lahan Subur Nyamuk dan Lengahnya Negara
Indramayu adalah kabupaten pesisir dengan iklim tropis, curah hujan tinggi pada Desember–Maret, suhu tahunan 23–32 °C, dan kelembapan 70–85 % (rsroemani.com). Semua faktor ini menciptakan habitat ideal bagi nyamuk Aedes. Studi lokal menunjukkan bahwa buruknya penerapan 3M meningkatkan risiko DBD hingga 2,778 kali lipat (p = 0,020) (jurnal.unismuhpalu.ac.id), dan kebiasaan menggantung pakaian lembap meningkatkan risiko hingga 3,470 kali lipat (p = 0,015) (jurnal.unismuhpalu.ac.id).
Namun, di balik data perilaku ini, kita jarang membicarakan tanggung jawab negara. Pemerintah daerah tahu betul kondisi geografis dan iklim Indramayu. Mereka tahu pola musim hujan dan ledakan populasi nyamuk yang menyertainya. Tetapi, setiap tahun, respons pemerintah hampir selalu reaktif, bukan preventif. Fogging dilakukan setelah ada korban, bukan sebelum wabah. Edukasi 3M dilakukan saat kasus sudah melonjak, bukan sepanjang tahun.
• Kebijakan di Atas Kertas: Strategi Nasional yang Mandek di Lapangan
Pemerintah pusat membanggakan Strategi Nasional Pengendalian Dengue 2021–2025, dengan target insidensi < 49 per 100.000 penduduk dan fatalitas < 0,5 % di 2025 (who.int). Target ini tampak mulia, tetapi implementasinya pincang. Banyak puskesmas di Indramayu mengeluh anggaran operasional pengendalian vektor tidak mencukupi. Program jumantik di beberapa desa berhenti karena insentif kader macet.
Teknologi seperti pelepasan nyamuk berWolbachia telah sukses di Yogyakarta, menurunkan kasus dengue secara signifikan (theguardian.com). Namun, ekspansi program ini ke daerah lain terhambat alasan “kajian belum selesai” atau “anggaran terbatas”, sementara anggaran untuk proyek-proyek mercusuar yang tidak mendesak tetap mengalir deras. Ketika inovasi teknologi kesehatan kalah prioritas dari proyek citra politik, kita tidak sedang bicara keterbatasan sumber daya, tapi salah urus prioritas.
• Pola Lama, Respons Musiman, Lupa Sepanjang Tahun
DBD adalah penyakit yang bisa diprediksi, tetapi di Indonesia ia selalu dikelola seolah bencana alam yang datang tiba-tiba. Setiap musim hujan, kita mendengar kampanye 3M, kita melihat fogging besar-besaran, lalu saat musim berganti dan kasus menurun, semua kembali diam. Tidak ada program lintas tahun yang benar-benar dijaga keberlanjutannya. Tidak ada jaminan setiap desa punya petugas pemantau jentik aktif. Surveilans epidemi pun minim integrasi dengan data iklim dan perilaku masyarakat.
Ironisnya, nyamuk jauh lebih konsisten daripada pemerintah. Nyamuk tahu persis kapan harus berkembang biak, kapan harus menggigit, dan kapan bertelur. Pemerintah? Baru bergerak ketika angka kasus masuk ke berita nasional.
• Hak Kesehatan: Dari Janji Konstitusi ke Realitas Lapangan
Konstitusi Indonesia menjamin hak setiap warga negara atas kesehatan. Tapi di Indramayu, hak ini terasa seperti pasal yang indah di kertas, namun tak berwujud di kehidupan sehari-hari. Kesehatan publik seharusnya tidak bergantung pada kesadaran individu semata. Negara punya kewajiban menyediakan sistem pencegahan yang efektif, memastikan edukasi kesehatan masuk ke semua lapisan, dan menjamin akses penanganan cepat tanpa biaya mahal.
Namun faktanya, banyak keluarga yang datang ke Puskesmas saat DBD sudah stadium berat karena minimnya informasi gejala dini. Banyak warga yang tidak mampu membeli kelambu, repellent, atau bahkan biaya transportasi untuk berobat. Dan ketika korban meninggal, negara hanya menambahkannya ke tabel statistik, tanpa refleksi kebijakan.
• Menuju perlawanan kesehatan dari akar rumput
sebagai aktivis kesehatan di Indramayu, saya percaya kita tidak bisa menunggu perubahan dari atas. Gerakan melawan DBD harus dimulai dari bawah. Desa-desa perlu membentuk tim jumantik warga, memantau jentik setiap minggu. Edukasi 3M Plus harus menjadi budaya kolektif, bukan sekadar slogan kampanye. Setiap rumah bisa punya ovitrap murah berbahan lokal. Dan yang terpenting, kita harus berani menekan pemerintah untuk mengalokasikan anggaran kesehatan yang memadai dan berkelanjutan, bukan anggaran musiman yang habis dalam sebulan.
Gerakan kesehatan berbasis rakyat bukan berarti membebaskan negara dari tanggung jawab. Justru Ia menjadi alat untuk menagih janji negara. Karena kesehatan bukan hadiah yang diberikan pemerintah, melainkan hak yang harus diperjuangkan.
• Pilihan Ada di Kita
Selama DBD masih diperlakukan sebagai penyakit musiman, selama kebijakan tetap reaktif, dan selama nyawa manusia kalah prioritas dari proyek pencitraan, musim hujan akan terus menjadi musim duka. Indramayu berhak atas lebih dari sekadar angka. Kami berhak atas sistem kesehatan yang siaga, ilmiah, berpihak pada rakyat. Dan jika pemerintah enggan bergerak, rakyatlah yang harus memaksa.