(Bagian 2) Kenapa Kalian Berpaling dari Alloh?

Gambar ilustrasi. (Ist)

Bagikan

Oleh: Mohamad Nasirin

 

Penyebab Ingkarnya Manusia: Keliru Memilih Idola

Idola bisa berupa manusia dalam berbagai bentuk, seperti orang alim, artis, tokoh masyarakat, dan lain-lain. Bagi sebagian orang, apa pun yang dilakukan idolanya dianggap sebagai contoh yang harus diikuti. Mereka menjadikan idola sebagai figur sentral dalam hidupnya.

Pengkufuran manusia terhadap Allah SWT dilakukan secara sistematis, rapi, dan terus-menerus tanpa jeda. Akibatnya, kita tidak lagi sempat berpikir dengan baik dan rasional: bagaimana mungkin seorang idola bisa menjadi jalan menuju kekufuran?

Abdul Shabur Marzuq dalam bukunya Ghazwul Fikri: Invasi Pemikiran menjelaskan bahwa ghazwul fikri (perang pemikiran) jauh lebih berbahaya dibandingkan penaklukan militer dan politik di masa lalu. Jika penjajahan militer bisa berakhir dengan mundurnya penjajah, maka ideologi kolonial tetap akan hidup selama koloninya masih ada.

Orientalis, kristenisasi, dan zionis bergerilya melalui budaya, gaya berpakaian, selera makanan, dan olahraga memainkan peran besar dalam ghazwul fikri. Mereka menggeser cara berpikir manusia melalui pintu budaya, memperkenalkan gaya hidup, bahkan mengubah istilah yang akrab di telinga, seperti mengganti kata jilbab menjadi hijab, atau memperkenalkan kerudung gaul dengan berbagai mode. Mereka juga menghadirkan idola dalam bidang olahraga, musik, dan hiburan. Akibatnya, banyak anak hafal nama penyanyi atau pemain bola beserta kisah hidupnya, tetapi tidak mengenal siapa nabinya.

Pergeseran ini sangat masif alih-alih mengikuti perkembangan zaman, manusia justru terjebak dalam pusarannya.

Para idola menampilkan kemewahan melalui media, seolah menunjukkan standar ideal kehidupan yang layak ditiru generasi muda. Perlahan namun pasti, umat digiring untuk mencintai dunia dan takut mati, hingga akhirnya bergeser mengikuti millah mereka.

QS. Al-Baqarah [2]: 120

وَلَنۡ تَرۡضٰى عَنۡكَ الۡيَهُوۡدُ وَلَا النَّصٰرٰى حَتّٰى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمۡ‌ؕ قُلۡ اِنَّ هُدَى اللّٰهِ هُوَ الۡهُدٰى‌ؕ وَلَٮِٕنِ اتَّبَعۡتَ اَهۡوَآءَهُمۡ بَعۡدَ الَّذِىۡ جَآءَكَ مِنَ الۡعِلۡمِ‌ۙ مَا لَـكَ مِنَ اللّٰهِ مِنۡ وَّلِىٍّ وَّلَا نَصِيۡرٍ

 “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: ‘Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk yang benar’. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.”

Yahudi tidak membutuhkan umat yang banyak; melalui media, ide-ide mereka diamalkan manusia. Menurut pandangan Nasrani, umat ini tidak perlu cerdas, cukup dijadikan penyembah doktrin yang mereka tanamkan, dan hal itu kini berjalan dengan baik.

Kita mungkin tidak pernah mengaku sebagai Yahudi, tetapi gaya hidup mereka kita telan mentah-mentah. Kecerdasan yang Allah berikan sering kali dipakai hanya untuk keuntungan pribadi, bahkan lebih ironis lagi digunakan untuk menjauhkan manusia dari Allah.

Kita pun enggan disebut Nasrani, tetapi sistem kerja kita meniru mereka: mengumpulkan orang untuk dimanfaatkan kelemahannya, menekan agar bergantung, hingga akhirnya mengikuti apa yang kita inginkan.

Contoh sederhana: seseorang yang merasa pasti masuk surga karena amal dakwahnya. Saat ditanya malaikat, “Dengan amal apa engkau yakin masuk surga?” Ia menjawab, “Bukankah aku seorang pendakwah yang setiap hari menyampaikan ayat?” Malaikat berkata, “Engkau sudah dibayar tunai dengan kemewahan dunia. Bukankah dakwahmu sudah diberi imbalan?” Sebaliknya, ada pengamen yang ikhlas menghibur orang, hanya dibalas dengan ucapan sederhana, “Permisi saja, Mas…”

Perang pemikiran (ghazwul fikri) melalui idola dan tokoh sudah digelorakan. Sarana disiapkan, metode digulirkan, dan korban pun mulai berjatuhan.

Manusia berasal dari “mati”, kemudian dihidupkan, lalu dimatikan, dan akan dihidupkan kembali untuk menghadap Rabb, dimintai pertanggungjawaban atas segala amal di dunia. Dua kali mati dan dua kali hidup: pertama hayyatud-dunya (kehidupan dunia), kedua hayyatul-akhirah (kehidupan akhirat).

“Dulu kalian tidak ada (mati), lalu Aku ciptakan…”

Apa yang kalian banggakan? Dahulu kalian bukan siapa-siapa. Segala kebutuhan hidup dicukupkan tanpa harus membayar. Manusia hanya akan bernilai jika mengikuti kehendak Sang Pencipta. Itulah sebabnya Allah mengingatkan, agar manusia mawas diri dan sadar tujuan diciptakan.

“Kemudian Allah mematikanmu, lalu menghidupkanmu kembali…” (QS. Al-Baqarah: 28)

Hidup manusia adalah kehendak Allah SWT. Tidak bisa memilih lahir dari ibu siapa, keluarga mana, atau bangsa apa. Namun dengan keadilan-Nya, setiap manusia diberi modal hidup yang sama: sam’a (pendengaran), bashar (penglihatan), dan af’idah (hati). Dengan modal inilah manusia bisa berkembang menjadi insan kamil.

QS. Al-Isra [17]: 36

وَلَا تَقۡفُ مَا لَـيۡسَ لَـكَ بِهٖ عِلۡمٌ‌ ؕ اِنَّ السَّمۡعَ وَالۡبَصَرَ وَالۡفُؤَادَ كُلُّ اُولٰۤٮِٕكَ كَانَ عَنۡهُ مَسۡـُٔوۡلًا

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.”

Kehidupan dunia adalah tempat bekerja dan beramal. Segala aktivitas akan terekam dalam bentuk amaliyah. Jika hidup dijalani dengan tanggung jawab, maka kerusakan diri, keluarga, agama, dan bangsa bisa diminimalkan.

Pendidikan setinggi apa pun tidak menjamin; yang menentukan adalah kebersihan jiwa. Seorang berpendidikan tinggi yang diberi amanah jabatan tidak pantas merusak, apalagi merusak secara berjamaah seperti dalam praktik korupsi hari ini.

“Kemudian Aku matikan kamu…”

(bersambung)

Berita lainnya