Antara Heeren Zeventien dan Oligarki

Gambar ilustrasi. (Istimewa)

Bagikan

Oleh: Nunu A Hamijaya
UKS – MPUII

Kagetnews | Opini – Tentu, sebutan oligarki sudah dikenal publik. Oligarki berasal dari bahasa Yunani, “oligarkhes”, yang berarti sedikit yang memerintah. Gagasan filsuf Plato, dalam teorinya menyebutkan bahwa oligarki merupakan bentuk pemerosotan dari pemerintahan aristokrasi, pemerintahan yang dipimpin cerdik pandai, menjadi dipimpin segolongan kecil yang memerintah demi kepentingan golongan itu sendiri.

Pakar politik Jeffrey A Winters dalam bukunya Oligarki (2011), mendeteksi oligarki Indonesia membesar di masa Presiden Soeharto. Winters menyampaikan tesis tentang ihwal asal mula perkembangan oligarki di Indonesia, di mana dia menyoroti oligarki yang muncul dan tumbuh kuat di bawah kendali figur sentral Soeharto, pola oligarki yang oleh Winters disebut sebagai  “SULTANISTIC OLIGARCHY”.

Umumnya, oligarki lebih dikenal di Indonesia dengan istilah “pengusaha hitam”, penamaan yang sebenarnya mempersempit definisi oligarki hanya ke pengusaha dan bisa mengalihkan perhatian dari pola “PENGUSAHA-PENGUASA”, istilah yang diperkenalkan oleh RIZAL RAMLI sebagai “PEPENG” singkatan dari pengusaha-penguasa. Bentuk oligarki yang tampil di publik berdagang sambil berkuasa secara formal.

Dalam buku “Oligarki dan Totalitarianisme Baru” (2023),  Jimly A. Siddiqi mengungkapkan dalam tataran bernegara,  konsep Montesquieu tentang Trias Politica telah berkembang menjadi konsep Quadri Politica yang menambahkan media sebagai  keempat kekuasaan dalam demokrasi. Menurutnya, ada sekitar 20 lebih lembaga yang menjalankan fungsi ‘campur aduk’, dengan menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Mengapa Oligarki Subur di Negeri Ini?

Sejarah VOC dengan Gubernur Jenderalnya di Hindia belanda telah mencatat tinta hitam dengan sebutan  Heeren Zeventien. Sejarawan  Bernard H. M Vlekke di dalam bukunya “Nusantara: Sejarah Indonesia”, mencatat negeri ini dikuasai VOC dengan 38 Gubernur Jenderal, sejak tahun 1609 sampai 1816. Setelah VOC bangkrut karena kalah teknologi pelayaran dengan perusahaan dagang Inggris, EIC, dan adanya Traktat London 1814, serta korupsi besar-besaran yang dilakukan oleh para pejabatnya sendiri, Nusantara berada di bawah rezim Hindia Belanda, sejak 1816 hingga 1946, dengan 28 Gubernur Jenderal.

Para Gubernur Jenderal  tersebut dikendalikan oleh para bandar yang disebut Heeren Zeventien (Heeren XVII) atau Dewan Tujuh Belas. Heeren  Zeventien adalah para bandar yang berasal dari 17 Provinsi di Belanda. Mereka  adalah  para pemilik modal yang mengongkosi pembuatan kapal, rekrutmen tenaga kerja, pelayaran, logistik, dan operasional lainnya, yang dijalankan oleh VOC di Nusantara.

Heeren Zeventien sebagai pemilik modal mengambil keuntungan yang sangat besar dari kekayaan alam Nusantara yang dirampok oleh VOC, yang kemudian bekerjasama dengan elit bumiputera, seperti para sultan dan raja-raja yang berkhianat.

Hanya sedikit dari para Gubernur Jenderal itu yang berasal dari golongan intelek. Umumnya memulai karir sebagai juru tulis dan opperkoopman (pedagang), yang selain bekerja untuk kepentingan VOC juga untuk keuntungan diri sendiri. Kerajaan Protestan Belanda  menguasai daerah koloninya selama ratusan tahun terutama bukan dengan cara-cara militer, tetapi melalui konsesi atau perjanjian-perjanjian dengan elite penguasa pribumi, seperti raja-raja atau sultan, yang mengacuhkan etika dan menyediakan diri jadi boneka.

Siapakah Oligarki di Indonesia yang diseut dengan 9 naga taipan? Jejak awal dari 9 Naga setidaknya dapat ditarik sejak masa Orde Baru. Pada masa itu 9 Naga atau dikenal juga ‘Gang of Nine’ sangat berkonotasi negatif dan seram. Mengacu pada investigasi Tempo berjudul “Mafia Bisnis” Tommy Winata (2020, hlm 12), 9 Naga atau Gang of Nine merujuk pada sekelompok orang yang menguasai bisnis remang-remang: dari judi, obat bius, hingga penyelundupan.

Konon, mereka punya bekingan kuat yang membuat sepak terjangnya tak tersentuh untuk memuluskannya bermain di bisnis gelap. Namun, tidak diketahui pasti siapa orang-orangnya. Masih mengacu pada investigasi Tempo (hlm. 94), pengusaha seperti Aguan, Haryadi Kumala, Iwan Cahyadi, Yorrys, Arief Cocong, Edi Porkas, Arie Sigit, Jony Kusuma, dan Tommy Winata disebut sebagai kelompok Gang of Nine.

Dampak dari Demokrasi

Kemunculan Oligarki subur dalam sistem demokrasi  Barat  yang diterapkan dalam sistem politik Indonesia. Politik ‘uang’ adalah pintu dari   munculnya bandar-bandar politik, dari tingkat   kab/kota hingga pemilu Presiden. Adapun operatornya  adalah partai  politik dan penguasaan terhadap DPR yang membuat regulasi/perundang-undangan sesuai pesanan para pebisnis kapitalis.

Masalah terbesar di Indonesia adalah hukum dan negara dikesampingkan karena kerancuan di dalam menyatukan pemerintah dengan negara. Kritik terhadap Pemerintah berisiko dianggap pembangkangan terhadap negara. Negara juga dipersonifikasi ke wujud politisi. Secara sadar, ketika hukum dikesampingkan, maka kita memberikan permisi kepada politisi untuk mengklaim L’etat c’est moi atau dia sebagai wujud hukum dan negara. Hal buruk yang tidak asing di Indonesia yang memiliki akar feodalisme, elitisme, ketidakdisiplinan akut terhadap aturan dan hukum, dan kini sistem politik yang berbasis idolaisasi.

Solusinya? Akan dibahas dalam tulidan berikutnya.

Rawabango, 9/10/2024.

Berita lainnya