Oleh : Dr. Anis Rifai, SH., M.H.
Debitor yang berstatus Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) merupakan keadaan hukum dimana Debitor yang memiliki utang terhadap dua atau lebih Kreditor yang salah satu utangnya telah jatuh tempo dan dapat ditagih, diputus oleh Pengadilan Niaga dalam keadaan PKPU atas permohonan dari Kreditor atau dirinya sendiri.
Dalam hal Debitor dalam keadaan PKPU maka demi hukum Debitor wajib mengupayakan segala upaya agar Debitor tersebut tidak jatuh dalam keadaan pailit. Upaya yang dapat dilakukan oleh Debitor PKPU adalah mengajukan rencana perdamaian yang isinya harus disampaikan secara terperinci dan terbuka agar dapat lebih meyakinkan para kreditornya bahwa Deitor sungguh-sungguh akan menyelesaikan utangnya.
Pada umumnya suatu rencana perdamaian setidak-tidaknya dapat memasukan hal-hal berikut :
a. Keadaan usaha debitur saat ini;
b. Prospek kelangsungan usaha debitur; posisi neraca keuangan terbaru;
c. Aset disclosure; dan
d. Komitmen investor (jika ada)
e. Ditujukan agar menjaga keberlangsungan Debitor/perusahaan itu sendiri.
Dalam rencana perdamaian, berisi restrukturisasi utang dengan Debitor dengan melakukan penjadwalan utang-utangnya terhadap sebagian atau seluruh krediturnya. Jika disetujui, tercipta suatu keadaan hukum baru atas utang-utang yang dimiliki oleh debitur terhadap para krediturnya.
Berdasarkan Pasal 281 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) (“UU Kepailitan”), rencana perdamaian dalam PKPU diterima apabila :
(1) Rencana perdamaian dapat diterima berdasarkan:
a. Persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah kreditor konkuren yang haknya diakui atau sementara diakui yang hadir pada rapat Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 268 termasuk Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280, yang bersama-sama mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau sementara diakui dari kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut; dan
b. Persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah Kreditor yang piutangnya dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 (dua per tiga) bagian dari seluruh tagihan dari Kreditor tersebut atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut.
Dalam perkara PKPU (Pasal 285 ayat (2) UU Kepailitan), pengadilan wajib menolak untuk mengesahkan perdamaian, apabila :
a. Harta Debitor, termasuk benda untuk mana dilaksanakan hak untuk menahan benda, jauh lebih besar daripada jumlah yang disetujui dalam perdamaian;
b. Pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin;
c. Perdamaian itu dicapai karena penipuan, atau persekongkolan dengan satu atau lebih Kreditor, atau karena pemakaian upaya lain yang tidak jujur dan tanpa menghiraukan apakah Debitor atau pihak lain bekerja sama untuk mencapai hal ini; dan/atau
d. Imbalan jasa dan biaya yang dikeluarkan oleh ahli dan pengurus belum dibayar atau tidak diberikan jaminan untuk pembayarannya.
Rencana perdamaian yang telah disahkan mengikat bagi semua Kreditor, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 286 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) :
Perdamaian yang telah disahkan mengikat semua Kreditor, kecuali Kreditor yang tidak menyetujui rencana perdamaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 281 ayat (2).
Kemudian, apabila rencana perdamaian disetujui oleh para kreditur, pengadilan wajib memberikan putusan pengesahan rencana perdamaian yang telah disetujui (homologasi) tersebut. Sebaliknya, jika rencana perdamaian ditolak kreditur, maka pengadilan harus menyatakan debitur pailit.
Dampak atas kelalaian dalam Pemenuhan Putusan Homologasi
Apabila perusahaan tersebut tidak dapat memenuhi putusan homologasi, maka pihak kreditor dapat mengajukan tuntutan pembatalan perjanjian. Tuntutan pembatalan perdamaian atas PKPU diatur dalam Pasal 291 jo. Pasal 170 ayat (1) jo. Pasal 171 jo. Pasal 294 UU Kepailitan, yang selanjutnya di kutip sebagai berikut:
Pasal 291 UU Kepailitan
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 dan Pasal 171 berlaku mutatis mutandis terhadap pembatalan perdamaian.
(2) Dalam putusan Pengadilan yang membatalkan perdamaian, Debitor juga harus dinyatakan pailit.
Pasal 170 UU Kepailitan
(1) Kreditor dapat menuntut pembatalan suatu perdamaian yang telah disahkan apabila Debitor lalai memenuhi isi perdamaian tersebut.
Pasal 171 UU Kepailitan
Tuntutan pembatalan perdamaian wajib diajukan dan ditetapkan dengan cara yang sama, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13 untuk permohonan pernyataan pailit.
Pasal 294 UU Kepailitan
Permohonan yang diajukan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 237, Pasal 255, Pasal 256, Pasal 259, Pasal 283, Pasal 285, Pasal 290, dan Pasal 291 harus ditandatangani oleh advokat yang bertindak berdasarkan surat kuasa khusus, kecuali apabila diajukan oleh pengurus.
Dengan demikian Debitor PKPU yang tidak mau melaksanakan Putusan Homologasi, demi hukum status Debitor tersebut dinyatakan pailit.
Pasal 24 ayat (1) UU Kepailitan yang mengatur:
Debitor demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.
Dengan jatuhnya putusan pernyataan pailit maka terjadilah sita umum kepailitan. Seluruh harta orang perserorangan/perusahaan yang dinyatakan pailit akan dilakukan pengurusannya dan pemberesannya oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas, digunakan sebagai jaminan bersama untuk para kreditur.
Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 21 UU Kepailitan yang menyatakan:
Pasal 21 UU Kepailitan
Kepailitan meliputi seluruh kekayaan Debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan.
Pasal 22 UU Kepailitan
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 tidak berlaku terhadap :
a. Benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh Debitor sehubungan dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis yang dipergunakan untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang dipergunakan oleh Debitor dan keluarganya, dan bahan makanan untuk 30 (tiga puluh) hari bagi Debitor dan keluarganya, yang terdapat di tempat itu;
b. Segala sesuatu yang diperoleh Debitor dari pekerjaannya sendiri sebagai penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun, uang tunggu atau uang tunjangan, sejauh yang ditentukan oleh Hakim Pengawas; atau
c. Uang yang diberikan kepada Debitor untuk memenuhi suatu kewajiban memberi nafkah menurut undang-undang.
Jadi, dalam hal ini Debitor yang lalai dalam memnuhi kewajibannhya sebagaimana yang telah ditentukan dalam Putusan Homologasi, dapat diajukan pembatalan Putusan Homologasi tersebut oleh Kreditor dan demi hukum Debitor berada dalam status Pailit.
Penulis adalah seorang Dosen Magister Ilmu Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia ( Mengajar Hukum Perusahaan, Pembiayaan Perusahaan dan Kepailitan)