Aib-aib Bangsa

Gambar ilustrasi.

Bagikan

Oleh: Hasbi Indra

Kagetnews | Dalam buku Manusia Indonesia budayawan Mochtar Lubis  membahas tentang manusianya yang malas dan dalam catatannya tak memasukkan variabel manusia Indonesia yang juga tak cerdas, catatan di tahun 70/80-an, masihkah  manusia  negeri ini yang ditandai hal itu?

Tulisan ini akan membicarakan tentang bangsa bukan manusianya. Bila ada kata bodoh atau malas itu maksudnya bangsa. Karena bangsa sepertinya tak punya rasa sakit yang punya rasa sakit yakni manusianya. Misalnya  bangsa disebut gagal, bangsa pelayan negeri asing atau pelayan 9 naga, tak ada yang merasakan sakit akan hal itu. Baru merasakan sakit bila misalnya ada yang mengatakan  rezimnya gagal, korup, penghutang, baru ada yang sakit di dadanya dan mencari kambing hitamnya  meskipun diberikan data oleh ahlinya.

Bangsa besar yang populasi rakyat di 280 juta lebih. Tetapi ada di antaranya yang merasakan mereka bukan rakyat itulah mereka yang tak ingin melihat bangsa ini maju. Atau tak ingin melihat  bangsa yang minimalis  hutangnya, hutang kini jumlahnya mendekati angka 8000 trilyun, setiap tahun 460 trilyun bunganya di mana setiap nyawanya berhutang di angka belasan juta, angka yang di tahun 2014 hanya 2600 trilyun, (klik google hutang pemerintah 2023/2014). Begitu pula yang miskin dalam ukuran Bank Dunia ada di angka 110 juta (Abdul Kohar, Media Indonesia, 13 Mei, h. 2), angka yang memprihatinkan.

Apakah ada bangsa yang tak memiliki hutang tentu saja ada. Negeri ini bisa seperti itu bila anak bangsa ada rasa patriotisme memperjuangkan SDA dan SDM nya sepenuhnya untuk bangsa dan rakyat.

Indonesia kita negeri yang kaya raya di Pulau Papua, Maluku, Nusatenggara, Sulawesi, Kalimantan, Jawa, dan Sumatera semua memiliki kekayaan itu. Anak bangsa  di pulau-pulau ini adalah juga potensi ekonomi untuk bangsa. Artinya jangankan hutang bangsa ini sesungguhnya bisa maju seperti negeri maju lainnya dan bahkan termaju. Bangsa yang diharap telah ada di konstitusi paling tidak rakyat merasakan keadilan, kesetaraan dan kemakmurannya atau bangsa yang gemah r.ipah loh jinawi dan dan bangsa yang baldah thoyyibah warabbun ghafur.

Bisa dicapai bila anak bangsa cerdas memilih pemimpin yang barkualitas, berkapabilitas dan profesionalitas bukan memilihnya berdasarkan  pertimbangan primordialistik dan pragmatis untuk harta dan tahta.

Anak bangsa hampir semua angkanya di 99,9 ingin seperti itu, artinya hanya 01 persen yang menguasai asset ekonomi dan kaki tangannya tak ingin bangsa  ini maju. Penguasaan ekonomi mereka di atas 50-75 persen yang menggambarkan bangsa adalah  negeri yang super kapitalis melebihi dari citarasa Adam Smith. Ini sebetulnya mengesankan bukan bangsa yang beragama dan bukan pula bangsa berpancasila karena nilainya tak membenarkan akan hal itu. Pesan Tuhan dan kehendak mayoritas anak bangsa yang angkanya 99,9 persen bercitarasa bangsa yang maju dan rakyatnya paling tidak merasakan  keadilan, kesetaraan dan kemakmuran.

Bila keadilan, kesetaraan dan kemakmuran rakyat tak mungkin diraih, apalah gunanya ada lembaga pendidikan di negeri ini, apalah gunanya ada yang diberi amanah di tahta dan bangsa ini hanya seolah  didiami oleh manusia yang pesimisme yang tak memiliki rasa patriotisme pada bangsanya dan tak ada ghirah meraih tujuan bernegaranya.

Lembaga pendidikan didirikan potensial membawa bangsa mencapai  keinginannya begitu juga nilai agama yang diberikan di tempat ibadah dan di rumah serta nilai Pancasila dan nilai kemanusiaan itu sendiri. Nilai apa yang dianut oleh anak bangsa ini sehingga mardeka hampir satu abad dan nilai itu dikaji dan dipelajari tak jua meraih hal itu. Malah kenyataan sebaliknya.

Apakah anak bangsa ini bodoh atau belum cerdas? Apakah ia malas? Ini pertanyaan mendasarnya.

Dua pertanyaan ini 99 persen mereka menjawab tidak dan tak mungkin, dan ini menghina kebanyakan manusia pada bangsa itu.

Bila itu bukan jawabannya, lalu apa jawabannya. Boleh jawaban berikut dipertimbangkan:

Bangsa moderen yang ditandai oleh adanya kemajuan politik tapi tak maju ekonominya, ada bangsa yang tak maju politik tapi maju ekonominya. Idealnya maju keduanya. Di masa Orla maju politiknya dan di masa Orba maju ekonominya. Koreksi ke Orde yang terdahulu seharusnya kini keduanya maju, tapi  apa yang dirasakan kini keduanya bernasib sama.  Maju politik belajar ke masa lalu dan maju ekonomi juga belajar ke masa lalu. Bila di minta memilih, memilih maju ekonomi 90 persen dapat membuat bangsa meraih kemajuan dan terwujud menjadi bangsa yang gemah ripah loh jinawi atau meraih negeri baldah thoyyibah warabbun ghafuur.

Maju ekonomi bila pengelolaannya tak didikte untuk politik jangka pendek yang digunakan untuk berlama di tahta. Maju politik pun bisa menjadi jalan meraih kemajuan bangsa bila dikendalikan oleh manusia sehat akal dan jiwanya, tapi kalau tidak apa yang dirasakan bangsa  kini.

Berada di tahta bukan untuk berdagang atau memperdagangkan kebijakan yang harusnya untuk seluruh rakyat. Baiknya yang di tahta para negarawan. Jangan mereka seperti  politisi yang seakan tak mengenal lagi moral, etika dan tak lagi ada jiwa nasionalisme, patriotisme serta tak lagi ada ghirah meraih cita bangsa yang berkeadilan berkesetaraan dan berkemakmuran.

Tujuan bernegara itu agar menjadikan bangsa terhormat dan adanya konstitusi agar rakyat merasakan keadilan, kesetaraan dan kemakmuran yang dirasakan seluruh rakyat.  Untuk meraih hal itu adalah juga citarasa kaum intelektual, ulama, pendeta, biksu, pastur juga mereka yang bertanggung jawan keamanan  pada negeri ini.  Apalagi ini sesungguhnya panggilan yang di pemerintahan yang hidupnya dihidupi oleh rakyat. Bukan oleh tuannya yang tak kasat mata. Jangan ditanyakan pada rakyat itulah kehendak mereka.

Untuk meraih hal itu setiap lima tahun diberi kesempatan untuk menentukan pemimpin yang berkualitas Kelas Wahid atau tinggi yang selayaknya bagi bangsa yang sudah lama merdeka.

Hanya saja pilihan pada pemimpinnya hanya atas  dasar pragmatisme lalu muncul pemimpin bak membeli kucing dalam karung. Ciitarasa rakyat itu diperlukan pencerahan dari seluruh komponen potensi negeri ini termasuk  mereka yang telah disebutkan, misalnya hindari money politik dan pilih pemimpin yang terbaik. Pemimpin yang berkualitas berkapabilitas dan profesionalitas atau pemimpin ala nabi yang shiddik, amanah, fathonah dan tabligh.

Pemimpin yang tak disukai oleh manusia yang menguasai aset ekonomi lalu mungkin ada kakinya  di istana, di parlemen, di partai dan mungkin pula di ormas, di lembaga survey dan buzzer APBN. Citarasa mereka pemimpin yang sekedarnya, sekedar intelektualnya, sekedar moralnya dan sekedarnya hanya duduk di tahta.

Lawan bangsa bukan kebodohan bukan pula kemalasan tetapi karena faktor politik. Politik telah dikendalikan oleh mereka setelah ekonomi dikendalikan di mana SDA dikuasai asing atau asset ekonomi 75 persen telah dikuasai oleh 9 naga misalnya.

Mereka terasa menguasai ruang politik yang mereka  kendalikan karena   memilih pemimpin masih bercitarasa pragmatis, tahta dan uang untuk manusia di partai dan mungkin juga di Ormas, maka rasa atau kondisi ironis yang terus dirasakan. Negeri yang tak berkeadilan, berkesetaraan dan tak berkemakmuran akan terus berlangsung dan bangsa ini terkesan bangsa yang bodoh atau malas itu.

Bila benar bodoh atau malas bukan menjadi faktornya, maka hanya karena faktor pemimpin misalnya, bangsa perlu belajar pada sang nabi di beberapa abad lalu yang layak menjadi pemimpin itu seperti apa.

Bangsa yang diisi oleh manusia modern yang memiliki ukuran pemimpin yang berkualitas Wahid atau tinggi, kualitas ini ada di sosok nabi. Apalagi di bangsa ini umat beragama konon mayoritas pengikut Nabi Muhammad. Maka memilih pemimpin tentu parameternya ke sosok nabi itu.  Tentu tak ada yang persis seperti nabi tapi yang relatif mendekati itu pastilah ada.

Dulu Nabi Muhammad diutus Tuhan pada manusia jahiliyah sosok manusia yang fathonah kalau saat ini manusia sosok itu yang harus  ditemukan. Sosok yang bukan secara kasat mata  meminta jabatan itu dengan mengekploitasi psikologis rakyat yang seolah merakyat yang andalkan rasa bukan prestasi.  Sosok yang dipilih sosok Fathonah yang kini ukuran didunia pendidikan sosok yang   telah meraih gelar akademik tertinggi yakni PhD, sosok yang dikenal rakyat dengan prestasinya dan sosok    yang juga  ada dalam katagori jujur tak ada indikasi korupsi atau masalah moral dan sosok yang pula tabligh yakni bekerja secara transparan dan bekerja  secara  berkolaborasi. Sosok pemimpin ini yang bisa membangkitkan bangsa dan menghindarkan bangsa dari tuduhan atau gambar bangsa yang bodoh atau malas. Wallahua’lam.

Penulis adalah Akademisi di UIKA Bogor.

Berita lainnya