Oleh:
Sandi Yudha Prayoga, SH., MH.
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Adhyaksa
Kagetnews | Opini – Menjelang perubahan UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia merupakan momentum yang tepat bagi para stakeholder untuk mengawal proses perubahan tersebut dalam rangka memberikan kontribusi publik bagi negara. Terlepas dari masalah hak dan kewenangan kepolisian yang menjadi subtansi dari UU terkait seyogyanya kita perlu juga menyoroti dan memberikan nuansa baru sebagai masukan melalui restorative justice yang merupakan alternatif pendekatan para penegak hukum dalam menangani kasus-kasus dimasyarakat. Sehingga dengan hak dan kewenangan kepolisian yang dimonitor oleh keadilan restorative mampu menggambarkan kepolisian yang mengayomi dan mengedepankan kesepakatan tanpa mengintimidasi.
Keadilan restoratif pada dasarnya adalah sebuah pendekatan hukum pidana yang memuat sejumlah nilai tradisional. Hal ini didasarkan pada dua indikator yaitu nilai-nilai yang menjadi landasannya dan mekanisme yang ditawarkannya. Hal tersebut menjadi dasar pertimbangan mengapa keberadaan keadilan restoratif diperhitungkan kembali. Keberadaan pendekatan ini barangkali sama tuanya dengan hukum pidana itu sendiri.
Selain pemenjaraan yang membawa akibat hukum bagi keluarga napi, sistem yang berlaku sekarang dinilai kurang solutif tidak melegakan atau menyembuhkan korban. Apalagi, proses hukumnya memakan waktu lama. Sebaliknya, pada model restoratif yang ditekankan adalah resolusi konflik. Gagasan Restorative Justice ini pun sudah diakomodir dalam RUU KUHP, yaitu diperkenalkannya sistem pidana alternatif berupa hukuman kerja sosial dan hukuman pengawasan. Sehingga pada akhirnya Restorative Justice memberi perhatian sekaligus pada kepentingan korban kejahatan, pelaku kejahatan dan masyarakat.
Menurut Tony F. Marshall “Restorative justice is a process whereby all the parties with a stake in a particular offence come together to resolve collectively how to deal with the aftermath of the offence and its implications for the future”. (Restorative justice adalah sebuah proses dimana semua pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan secara bersama-sama untuk menyelesaikan secara bersama-sama begaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan).
Sesuai penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa penerapan restorative justice terhadap tindak kejahatan dimasyarakat lebih mengedepankan kesepakatan antara kedua belah pihak yang berperkara dengan tujuan memberikan keadilan restorative.
Selain itu, Kapolri menyatakan kepolisian menindak 276.507 perkara kejahatan (crime total atau CT) sepanjang 2022. Sementara jumlah perkara yang penanganannya telah dituntaskan (crime clearance atau CC) sebesar 72,38 persen atau sebanyak 200.147 kasus. Pada tahun 2023-2024 kasus kejahatan pidana terus meningkat.
Lebih dari 9,2 persen kejahatan terjadi pada perempuan dan anak. Kapolri memaparkan 25.321 perkara kekerasan terhadap perempuan dan anak di 2022.
Laporan yang paling banyak diterima unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) yaitu kekerasan terhadap anak sebanyak 11.021 perkara. Jumlah kasus yang penanganannya telah dituntaskan sebesar 89,66 persen.
Salah satu kasus pada anak yang paling banyak dilaporkan yaitu gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (GAPA). Kasus ini ditindak setelah polisi mendapat laporan tentang anak-anak yang meninggal setelah mengonsumsi obat pereda demam dan nyeri jenis paracetamol.
Sebanyak 168 orang meninggal akibat kasus GAPA. Setelah penyelidikan, Polri menemukan kandungan etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DG) pada obat yang diproduksi perusahaan farmasi PT Afifarma. Belakangan, polisi pun menetapkan tersangka dari empat perusahaan lain.
Dari berbagai macam kasus yang terjadi di masyarakat maka hukum sebagai upaya terakhir untuk dilakukan agar memberikan ketertiban umum. Meskipun dalam beberapa jenis kasus disarankan untuk diselesaikan melalui restorative justice, namun dalam kasus yang mengganggu ketertiban umum, kemanusiaan, dan merugikan orang banyak, merugikan keuangan negara, tentunya harus kita lakukan penindakan hukum secara profesional.