Oleh: Hasbi Indra
Kagetnews | Opini – Menjadi bangsa kenabian telah memiliki syarat minimal muslim yang jumlahnya cukup besar ada di angka 85-87 dari seluruh penduduk Indonesia. Pesan kenabian selalu bergema di tengah masyarakat. Sosoknya yang selalu diperingati oleh sebagian umat dan ada yang selalu mendzikirkannya. Bahwa nabi diutus untuk seluruh umat manusia. Nabi yang pernah menjadi pemimpin negeri berdaulat Makkah dan Madinah di usia 50 tahunan, usia yang sedang energik telah menunjukkan kepemimpinannya di tengah rakyatnya yang pluralitas kayakinan, ras, suku dan golongan warna kulit putih dan hitam.
Salahsatu rujukan pemimpin di dunia modern yang dirumuskan oleh ilmuan muslim memiliki sifat shiddik, amanah fathanah dan tabligh, istilah yang dikenal oleh ilmuan umumnya kurang lebih yang berkualitas, berkapasitas dan profesionalitas.
Nabi meneruskan sifat kepemimpinan nabi sebelumnya yang menjadi arah bagi umat manusia dalam mengolah dan menjalani kehidupan yang puncaknya ada di diri Nabi Muhammad.
Kepemimpinan yang ditandai oleh sifat shiddik amanah telah ditunjukkan dalam hidupnya tahunan antara perkataan dan perbuatan terjaga di tengah manusia yang tak memiliki sosok yang ditauladani ia disebut al-aamiin yakni manusia terpercaya. Sebagai manusia lentera hidup manusia lain kegelisahan atau pencarian tentang hakikat kebenaran yang juga pernah dilakukan oleh Nabi Ibrahim ia jalani. Inilah ciri sebuah kecerdasan atau fathonah yang dimiliki nabi. Tindakannya yang bijak memenuhi rasa tanggungjawab dengan transparansi untuk kemanusiaan dan keadilan yang kemudian ia disebut manusia tabligh.
Manusia kini yang relatif memiliki sifat itu selalu ada pada sosok manusia yang dapat didiskusikan dan ditemukan oleh ulama, kyai atau intelektual dan rakyat di negeri ini.
Untuk pengukuran shiddik, amanah bagi pemimpin puncak penentu arah dan pembuat SK puncak di negeri ini ukurannya yang bersangkutan tidak terindikasi korup dan tak tercela moralnya. Tentu pengukuran terhadap kecerdasan atau fathonah ini buah dari pembelajar sepanjang masa yang saat ini manusia tersebut diberi gelar sarjana, magister, doktor atau professor. Untuk pengukuran tabligh apa yang ia janjikan dipenuhi dan dapat dicatat prestasi yang dicapainya selama menjalani tahta yang telah disandangnya.
Catatan itu harus berasal dari catatan otentik dari rakyat di bangsa itu bukan catatan yang seolah-seolah atau yang catatan yang diberikan oleh manusia di lembaga thintank, media massa, lembaga survey atau buzzer yang dipelihara.
Di suatu bangsa mungkin hal itu pernah terjadi dan memunculkan pemimpin yang tidak otentik hasil dari kamuflase mereka yang bercitarasa asing terhadap bangsa dan rakyat yang terasa di dua dekade ini.
Sehingga bangsa itu setelah beberapa dekade mengalami penurunan kualitasnya. Eksistensi bangsa tergantung hutang. Hutang kini di angka 7800 trilyun yang di dua dekade lalu hutang hanya di angka 2600 trilyun hutang yang membebani seluruh rakyat dan membayar bunga 500 trilyun yang wajib hutang, tingkat korup merajalela ada yang di angka puluhan trilyun dan ada yang di angka 349 trilyun yang masih belum dimeja hijaukan dan masih meneruskan kesenjangan ekstrim kaya miskin, masih ada puluhan juta yang miskin dan menganggur, indeks hukum dan politik yang menurun dari era sebelumnya, bangsa yang dibiarkan retak psikologisnya dan rasa keadilan dan kemanusiaan seperti Rempang, Pahuwato dan Wadas.
Bangsa yang harus meraih kembali nilai amanahnya dan meraih kembali kecerdasannya agar tidak bisa disebut bangsa yang sebaliknya bangsa yang tak memegang amanah itu dan bangsa yang dinilai tak memiki kecerdasan setelah SDA tak berguna untuk dirinya dan juga SDM juga tak berguna untuk bangsa dan rakyat. Bangsa yang mudah ditipu oleh mereka yakni lembaga thintank, media massa, lembaga survey dan buzzer yang dipelihara.
Selain nilai amanah itu nilai kecerdasannya harus diraih karena telah ada jutaan sarjana, magister, doktor atau professor ada pula yang disebut ulama, kyai ustadz yang telah menjalani pendidikan yang baik dan layak dan bahkan banyak yang melatih dirinya di organisasi mulai remaja hingga dewasa.
Bangsa selayaknya meraih semua kecerdasan, kecerdasan tidak dibodohi lagi oleh lembaga thintank, lembaga survey, media massa dan buzzer yang dipelihara yang selera kepemimpinannya berkualitas rendah.
Mereka senang melihat wajah bangsa dan nestapa rakyat dan tak butuh pemimpin yang berkualitas, berkapabilitas dan profesionalitas yang tidak boleh diikuti oleh anak bangsa ini yang sarjananya ada jutaan yang seharusnya tak diragukan lagi kecerdasannya.
Layaknya dan baiknya ke depan cerdas memilih pemimpin yang shiddik, amanah, fathonah, dan tabligh atau yang berkualitas, berkapabilitas dan profesionalitas untuk memimpin bangsa yang besar ini dan agar supaya yang selayaknya dan sebaiknya bangsa ini terbebas dari wajah atau citra bangsa yang tak amanah dan belum cerdas?
Penulis merupakan seorang Dosen di UIKA Bogor.