Oleh: Ramli Yudarsana (Pengamat Sosial)
Kagetnews | Puji dan syukur sepatutnya dipanjatkan di Hari Kemerdekaan ke-78 kepada Sang Pencipta Alam, karena atas berkat dan rahmat-Nya bangsa ini bisa meraih kemerdekaan setelah ratusan tahun di belenggu penjajahan. Kemerdekaan merupakan nikmat besar yang wajib disyukuri. Esensi bersyukur adalah menggunakan nikmat ini untuk meraih tujuan sesuai sang pemberi nikmat. seperti contoh nikmat mata bisa melihat maka bentuk syukurnya mata digunakan untuk melihat sesuatu yang diridhai-Nya seperti membaca kitab suci, dipakai menuntut ilmu dan lain-lain yang positif. Jika sebaliknya nikmat mata digunakan untuk melihat gambar porno maka itu bentuk pengkufuran nikmat.
Nikmat kemerdekaan harus disyukuri dalam bentuk merealisasikan tujuan mulia kemerdekaan yaitu menciptakan kesejahteraan umum dan terciptanya keadilan. Apa yang menjadi tujuan kemerdekaan termaktub dalam UUD 45 :
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”
Frase berikut jadi headline kemerdekaan yaitu : memajukan kesejahteraan umum dan keadilan. Apakah 2 hal ini sudah terwujud? jawabannya membutuhkan telaah fakta yang mendalam.
Merdeka Vs Kesejahteraan Umum dan Keadilan
Setelah 78 tahun merdeka dari penjajahan fisik, ironisnya Indonesia masih terjerat hutang yang menggunung. Zaman penjajahan sumber daya dikuasai; dikuras habis negara kolonial diangkut ke negaranya untuk membangun negaranya sendiri dan menyisakan sedikit bagi bangsa jajahan. Negara-negara kolonial mencuri sumber daya alam dengan mengeksploitasi tanpa memperhitungkan kesejahteraan negara jajahannya. rakyat dipaksa kerja paksa ketika pun dibayar upahnya tak wajar bahkan kadang upahnya sendiri habis dikorupsi oleh londo ireng centeng penjajah.
Pasca bangkitnya perlawanan fisik negara-negara jajahan akibat penindasan tak berprikemanusian. Negara-negara kolonial menarik pasukan dan peralatan perangnya dan mengubah strategi yang nampak lebih humanis. Ketika tujuan penjajah adalah eksploitasi sumber daya maka focusnya menundukan negara jajahan supaya nurut kehendak penjajah tanpa perlawanan. Instrumen yang dipilih banyak, dari upaya intervensi politik, sosial budaya maupun ekonomi. Ambil strategi melalui ekonomi seperti Pengakuan John Perkins dalam bukunya Confession of An Economic Hit Man yang menguraikan negara-negara kolonial menawarkan proyek besar dengan dibiayai utang luar negeri. Ketika sudah berhutang dan nyandu maka akan ada persyaratan-persyaratan yang wajib dipenuhi seperti melakukan privatisasi sektor publik. Kekayaan tambang diprivatisasi tidak dimonopoli BUMN tetapi membolehkan korporasi internasional ikut mengelola. Kebijakan mata uang mengambang dan lain-lain.
Hutang sudah sangat membebani ekonomi, pada bulan April Kementerian Keuangan melaporkan posisi utang Pemerintah adalah Rp 7.849,89 triliun. Sama artinya tiap warga Indonesia menanggung utang negara sebesar Rp 28 juta. Negeri yang kaya raya dengan sumberdaya alam ini bernasib naas karena sumber daya alam belum memberi berkah surplus kemakmuran tetapi masih saja defisit dikarenakan salah kelola. Hutang yang diberikan tentu tidak diberikan cuma-cuma, negara kreditor atau lembaga-lembaga keuangan internasional memberi utang dengan syarat dan kompensasi tertentu yang menguntungkan elit global.
Prihatinnya lagi, dengan hutang sebanyak itu nikmat kemerdekaan dan ekonomi hanya dinikmati segelintir orang. Laporan Global Wealth Report 2018 yang dirilis Credit Suisse menunjukkan: 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 46,6% total kekayaan penduduk dewasa di Tanah Air; 10% orang terkaya menguasai 75,3% total kekayaan penduduk. Artinya, pembangunan selama masa kemerdekaan ini hanya dinikmati oleh sebagian kecil penduduk di negeri ini.
Ketidakadilan juga terjadi dalam kepemilikan lahan di Tanah Air. Pada tahun 2022, menurut Wakil Ketua Komisi II DPR RI Saan Mustopa, tercatat 68 persen tanah di Indonesia dikuasai 1 persen kelompok pengusaha dan korporasi besar. Bahkan ada satu korporasi yang menguasai lahan perkebunan sawit dengan luas total 123.591 hektare, hampir dua kali lipat wilayah DKI Jakarta yang luasnya 66.150 hektare.
Dengan ketimpangan seperti ini tidak aneh jika World Bank melaporkan bahwa 40 persen warga Indonesia terkategori miskin. Perhitungannya, garis kemiskinan ekstrem ditetapkan sebesar 2,15 dolar AS perkapita perhari. Ini setara dengan Rp 967.950 perkapita perbulan. Artinya, warga yang berpenghasilan di bawah itu patut disebut sebagai miskin. Sesuai hitungan World Bank, berarti ada 108 juta warga miskin Indonesia.
Dampak kemiskinan itu banyak. Ada 1,9 juta lulusan SMA yang tidak bisa melanjutkan kuliah karena tingginya biaya pendidikan. Ada 17 juta warga Indonesia terpapar gizi buruk yang merupakan angka tertinggi di Asia Tenggara. Ada 81 juta warga milenial tidak memiliki rumah. Ada 14 juta warga menempati hunian tidak layak huni. Jutaan rakyat Indonesia juga terbelit utang pinjol hingga puluhan triliun rupiah. Bahkan sudah terjadi kasus bunuh diri dan pembunuhan akibat riba pinjol.
Sementara itu sumber daya alam yang harusnya bisa mensejahterakan rakyat justru banyak dikuasai korporasi lokal, asing dan aseng. Contohnya smelter nikel di Tanah Air justru banyak dikuasai perusahaan asal Cina yang membeli murah bijih nikel dari perusahaan pribumi. Mereka juga mendapatkan tax holiday dari Pemerintah selama 30 tahun. Diperkirakan Indonesia tekor Rp 32 triliun dari investasi smelter nikel asal Cina. Itu belum termasuk kerugian atas rusaknya alam dan lingkungan di sekitar smelter nikel.
Disaat kemiskinan merajalela, kesejahteraan sangat timpang Publik melihat dengan mata terbuka bagaimana para koruptor seperti mendapatkan privilege dalam penegakan hukum. Hukum sering dilihat tumpul ke atas, namun tajam ke bawah. Kasus mega skandal keuangan Rp 349 triliun di lingkungan Kementerian Keuangan sampai hari ini tidak terdengar kabarnya lagi. Begitu pula kasus Harun Masiku seperti lenyap begitu saja.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mengeluhkan para koruptor sering mendapat hukuman ringan dan mudah mendapatkan remisi. Selain itu banyak mantan terpidana korupsi yang bisa aktif kembali berpolitik dan menjadi pejabat atau wakil rakyat. Bukan Kufur Nikmat
Mungkin ada orang yang menyatakan bahwa jika seorang Muslim terus-menerus mencari kekurangan dalam perjuangan kemerdekaan negara ini, maka itu adalah tanda kufur nikmat. Padahal Allah SWT telah memerintahkan setiap hamba mensyukuri nikmat-Nya dan melarang kufur nikmat. Allah SWT berfirman:
وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئنْ شَكَرْتُمْ لأَزِيْدَنَّكُمْ وَلَئنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ
(Ingatlah) saat Tuhan kalian memaklumkan, “Sungguh jika kalian bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) untuk kalian. Namun, jika kalian mengingkari (nikmat-Ku), pasti azab-Ku sangat berat.” (QS Ibrahim [14]: 7).
Berkaitan dengan ayat ini, Imam Jarir
Ath-Thabari menjelaskan makna bersyukur: “Jika kalian bersyukur kepada Tuhan kalian, dengan ketaatan kalian kepada-Nya dalam hal yang Dia perintahkan kepada kalian dan yang Dilarang kepada kalian, niscaya ditambahkan untuk kalian apa yang ada pada tangan-Nya dan nikmat-Nya atas kalian.”
Menurut Imam al-Ghazali, makna syukur yang hakiki adalah juga dengan ketaatan: “…Makna syukur adalah menggunakan nikmat dalam menyempurnakan hikmah untuk apa nikmat itu (diciptakan), yaitu ketaatan kepada Allah,” (Al-Ghazali, Ihyâ’ Ulûm ad-Dîn, [Beirut, Darul Fikr: 2015 M], Juz IV).
Kewajiban umat hari ini adalah merenungi apakah betul mereka telah mensyukuri nikmat kemerdekaan dalam bentuk meraih tujuan nikmat kemerdekaan dengan limpahan berkah yang menciptakan keadilan, kemakmuran dan keamanan yang sentosa.
Akibat bangsa ini tidak mensyukuri kemerdekaan dengan ketaatan kepada Allah, dengan cara melaksanakan semua aturan-Nya, maka yang terjadi adalah sebaliknya, Allah menimpakan berbagai bencana karena mereka kufur nikmat, yakni tidak menggunakan semua nikmat itu di jalan-Nya. Allah SWT berfirman:
وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلاً قَرْيَةً كَانَتْ آمِنَةً مُطْمَئِنَّةً يَأْتِيهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِنْ كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللَّهِ فَأَذَاقَهَا اللَّهُ لِبَاسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُوا يَصْنَعُونَ
Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dulunya aman lagi tenteram. Rezekinya datang kepada mereka melimpah-ruah dari segenap tempat. Namun, (penduduk)-nya mengingkari nikmat-nikmat Allah. Karena itu Allah menimpakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan karena dosa-dosa yang selalu mereka perbuat (QS an-Nahl [16]: 112).