Penulis : Rona Diana, SH.,MH.
Para Kepala Desa (Kades) melakukan aksi tuntutan merevisi UU No 6 Tahun 2014 tentang desa, menuntut periodesasi kepala desa yang semula 6 tahun menjadi 9 tahun. Tuntutan yang disampaikan bukan serta Merta tanpa alasan, salah satu faktor yang disebutkan yaitu disebabkan terjadinya kerenggangan sosial, seperti yang disampaikan oleh Menteri Desa Pembangunan Desa Tertinggal dan Transmigrasi Abdul Halim bahwa usulan tersebut sedang dikaji secara ilmiah oleh akademisi ia menambahkan kan bahwa usulan para kades bukan bentuk dari arogansi lebih kepada solusi untuk menyelesaikan ketegangan yang terjadi pasca Pilkades.
Kepala desa tahu betul akan kondisi terkini dilingkungan masyarakat dimana rasa kebersamaan dan sikap gotong royong yang telah menjadi karakter khas masyarakat desa kini mulai memudar, 6 tahun dalam upaya rekonsiliasi untuk mengembalikan simpul kesetiakawanan sosial dirasa tidak cukup terlebih kondisi demikian turut menghambat stabilitas upaya membangun desa.
Memudarnya semangat kebersamaan & gotong royong masyarakat yang disebabkan perhelatan Pilkades dengan segala dinamikanya menjadi penyebab kerenggangan sosial berkepanjangan selain itu pula ongkos politik besar dalam perhelatan tersebut memupuk lawan politik untuk terus memelihara “konflik”,sehingga kepala desa terpilih tidak bisa optimal merealisasikan upaya membangun Desa.
Dibalik pro dan kontra mafhum kita hidup dinegara demokrasi dimana pembatasan periodesasi jabatan politik adalah ciri dari negara demokrasi sebagai pembatas peluang kekuasaan Absolute otoriter sama halnya aspirasi usulan para kepala desa juga merupakan bentuk kebebasan berpendapat yang dilindungi oleh undang-undang.
Sebagai bagian dari demokratisasi menghendaki kita untuk saling menghargai satu sama lain, penelitian ilmiah tentang penambahan periodesasi masa jabatan kepala desa dengan alasan kondusifitas pasca Pilkades secara sosiologis, filosofis serta yuridis harus benar dikaji agar pertimbangan pemberlakuan nya tidak menciderai semangat reformasi dinegara demokrasi.
Justru yang saat ini penting dan mendesak peran pemerintah melalui setcholder terkait menciptakan suasana keharmonisan ditengah lingkungan masyarakat desa. Rekonstruksi untuk rekonsiliasi akibat imbas terpecahnya golongan kepentingan pasca Pilkades harus segera dicarikan formula efektif yang berbasis masyarakat desa, pemetaan konflik dengan mengakomodir semua pihak untuk duduk bersama gotong royong membangun desa.
Kita merindukan desa yang orang orangnya ramah, tulus gotong royong selaras dengan suasana sejuk khas alam pedesaan. Seperti dalam lagu Slank “hidup tenang, ga ada perang…makan kenyang, ngapain ribut ribut? “