Oleh:
Dr. H. Mulyawan Safwandy Nugraha, M.Ag., M.Pd
Tahun 2022, tepatnya tanggal 25 November, diperingati sebagai Hari Guru Nasional. Agenda tahunan ini cukup sakral diperingati oleh insan pendidikan. Kata “guru” jangan hanya disempitkan sebagai jabatan untuk pengajar di sekolah/madrasah formal saja.
Dalam pandangan saya, kata “guru’ adalah bentuk umum untuk mengistilahkan nama-nama lain yang sejenis, seperti Ustadz, Kyai, Dosen, Ajengan, Instruktur, Tutor, Mentor, pembimbing atau apapun itu. Jika selama ini istilah guru hanya disematkan untuk pendidik yang ada di sekolah atau madrasah (dan lebih sempit lagi di lembaga yang bersifat formal), hal ini menjadi tidak relevan dengan (salah satunya, yaitu pemakaian) istilah “Guru Besar” untuk Jabatan Akademik tertinggi dari Dosen. Kenapa tidak Konsisten menggunakan kata “Dosen Besar”?
Tapi sudahlah, saya tidak bermaksud memperpanjang istilah-istilah tersebut. Biarlah semua mengalir dan dipahami secara arif dan bijaksana.
Kita kembali ke topik HGN 2022. Untuk memperingati HGN 2202 ini, diadakanlah berbagai kegiatan. Termasuk mengadakan berbagai agenda selain upacara, seperti apresiasi guru, kepala sekolah, pengawas berprestasi/inspiratif, pemberian penghargaan kepada guru dengan dedikasi tinggi, dan bentuk nama kegiatan lainnya. Ini baik dilakukan sebagai bentuk apresiasi terhadap dedikasi dan kinerjanya.
Tahun ini, tema yang diusung adalah “Berinovasi Mendidik Generasi’. Sudah menjadi pemahaman umum bahwa maksud adanya tema kegiatan selalu diorientasikan untuk menjadi spirit adanya suatu harapan besar yang ingin diwujudkan. Dalam pandangan subjektif saya, tema ini ingin mengingatkan tentang tugas utama guru.
Tugas utama guru adalah mendidik. Yang dididik adalah generasi kini. Namun mendidik yang harusnya dilakukan oleh guru haruslah mendidik yang inovatif. Generasi yang dididik oleh guru, bukanlah generasi yang akan dipersiapkan untuk hari ini. Tapi untu masa depan. Tantangannya, generasi saat ini, tidak sama dengan saat guru tersebut sebelum menjadi guru.
Apalagi saat pandemi covid-19. Dedikasi guru dalam mendidik dituntut untuk lebih, lebih dan lebih. Lebih kreatif dalam memanfaatkan teknologi dan komunikasi. Lebih inovasi dengan berbagai strategi dan model pembelajaran. Lebih semangat walau mendidik melalui virtual. Lebih ulet untuk melawan rasa malas mendidik. Yang pasti, jangan sampai guru berhenti mengajar walau dalam situasi yang sulit dan sempit.
Pasca Pandemi covid-19, tugas guru dalam mendidik akan menghadapi berbagai tantangan. Yang pasti, sebelum covid, saat covid, dan setelah covid adalah situasi dan suasana yang sangat berbeda. Tidak sama. _Logical framework_ ini sangat penting disadari dan dihayati oleh guru.
Saat ini, kita sedang memasuki masa “learning recovery”, masa pemulihan pembelajaran pasca Pandemi Covid-19. Sudah seharusnya guru memiliki paradigma mengajar dan belajar (pembelajaran) yang bersentuhan dan juga merespon trend kekinian. Ada transformasi digital ada Metaverse, Big Data, Artificial intellegence, Robotic yang hadir di ruang-ruang belajar generasi Z dan Alpha.
Guru adalah pembelajar sejati. Dengan belajar, guru bisa mengajar. Dengan mengajar, hakikatnya guru sedang belajar. Seharusnya tidak ada kata “malas” dalam kamus kehidupan guru. Walaupun harus diakui, pemerintah belum bisa maksimal dan optimal dalam menyejahterakan kehidupan guru di Indonesia.
Adanya tuntutan dari guru biasanya tidak keluar dari 2 hal dan pemerintah sangat paham hal tersebut. Yaitu, pertama, status yang jelas. Kedua, penghasilan yang layak.
Semoga setiap tahun kita memperingati HGN, guru semakin dimuliakan oleh pemegang kekuasaan. Jangan hanya membius dengan ungkapan bahwa guru adalah profesi mulia, dan guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Bukankah Tuntutan bagi guru agar berinovasi dalam mendidik generasi harusnya juga berimbang dengan keberpihakan pemerintah terhadap nasib guru?
Penulis adalah:
– Direktur Research & Literacy Institute (RLI)
– Koordinator Presidium KAHMI Sukabumi
– Praktisi Pendidikan