Berita Kaget | Merauke — Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PP PMKRI) menegaskan kecaman terhadap tindakan pembakaran mahkota adat Papua yang terbuat dari bulu burung cenderawasih. Aksi tersebut dilakukan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua bersama sejumlah oknum TNI, Rabu (22/10/2025).
Ketua Lembaga Ekologi dan Masyarakat Adat PP PMKRI, Mario Mere, menyebut tindakan tersebut sebagai bentuk pemahaman terhadap nilai-nilai budaya dan identitas Orang Asli Papua (OAP). Menurutnya, mahkota berbahan bulu burung cenderawasih maupun kasuari tidak hanya berfungsi sebagai hiasan, melainkan menjadi simbol kehormatan dan kebanggaan masyarakat adat Papua yang memiliki peran penting dalam berbagai ritual adat serta prosesi penyambutan tokoh.
Mario menilai pembakaran benda adat tersebut menunjukkan kurangnya pemahaman dan penghormatan terhadap makna simbolik budaya Papua.
“Seharusnya benda adat seperti itu tidak dirusak, melainkan dijaga dan disimpan dengan baik bila sudah tidak dipakai. Membakar mahkota adat sama artinya dengan menodai tradisi dan adat istiadat masyarakat Papua,” ujarnya dengan nada tegas.
Menanganggap kejadian itu, ia mendesak Pangdam XVII/Cenderawasih serta Balai Besar KSDA Papua untuk segera memberikan klarifikasi resmi kepada masyarakat dan mempertanggungjawabkan tindakan yang dinilai mencederai kehormatan budaya Papua.
Selain itu, Mario juga mengajak seluruh cabang PMKRI se-tanah Papua untuk bersatu menyikapi persoalan ini sebagai wujud solidaritas terhadap masyarakat adat Papua.
“Mahkota adat Papua merupakan lambang martabat dan identitas Orang Asli Papua. Tidak boleh ada pihak mana pun yang menegaskan atau melecehkan simbol budaya,” tegasnya.
Konteks Teoritis: Perspektif Kebudayaan
Dalam perspektif antropologi dan teori kebudayaan, tindakan seperti pembakaran mahkota adat tidak dapat dianggap sekadar sebagai pemusnahan benda, melainkan sebagai simbol budaya yang memiliki nilai-nilai sosial, spiritual, dan identitas kolektif.
Menurut Clifford Geertz (1973) dalam The Interpretation of Cultures, Kebudayaan merupakan “jaringan makna” yang dijalin manusia untuk memberi arti pada kehidupannya. Dalam konteks ini, mahkota adat Papua adalah representasi simbolik dari sistem makna, yang menghubungkan manusia Papua dengan leluhur, alam, dan struktur sosialnya.
Sementara itu, Edward B. Tylor memaknai kebudayaan sebagai “keseluruhan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, serta kemampuan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.” Dengan demikian, tindakan pembakaran mahkota adat dapat diartikan sebagai pengabaian terhadap nilai-nilai yang membentuk kesatuan sosial dan spiritual komunitas adat Papua.
Selain itu, teori Pierre Bourdieu tentang habitus dan modal budaya juga relevan: mahkota adat bukan sekedar benda, melainkan modal budaya (modal budaya) yang memuat simbol status, kehormatan, dan legitimasi sosial di tengah masyarakat adat. Ketika simbol ini dibakar, yang rusak bukan hanya artefak, tetapi juga struktur kehormatan sosial yang menopang identitas kolektif.
Dengan demikian, PP PMKRI menilai bahwa tindakan pembakaran benda adat tidak dapat dikecualikan dari pemaksaan sosial-budaya yang lebih luas, karena mengikis penghargaan terhadap keragaman dan kearifan lokal yang menjadi bagian dari identitas bangsa Indonesia.
Penegasan Nilai
Dalam kerangka ini, ajakan PP PMKRI agar seluruh cabang PMKRI se-Papua berpose bukan sekadar reaksi emosional, namun upaya mempertahankan nilai-nilai universal kebudayaan: penghormatan terhadap martabat manusia melalui penghargaan terhadap simbol-simbol budaya yang hidup di masyarakat.
Penulis : Sofyan
Editor : LS