Fenomena Sosial Sound Horeg: Paradoks Hiburan atau Teror?

Gambar ilustrasi. (Ist)

Bagikan

Oleh: H. Sujaya, S. Pd. Gr.
(Dewan Penasihat DPP Asosiasi Wartawan Internasional /ASWIN)

 

Kagetnews | Opini – Belakangan ini, masyarakat Indonesia, khususnya di wilayah pedesaan dan pinggiran kota, sedang dihebohkan dengan satu fenomena budaya baru bernama Sound Horeg. Ia muncul bukan sekadar sebagai sarana hiburan, tetapi berubah menjadi simbol identitas sosial dan eksistensi komunitas. Namun, kemunculannya tak lepas dari kontroversi. Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahkan secara resmi telah mengeluarkan fatwa haram terhadap praktik Sound Horeg yang dianggap mengganggu dan melanggar norma. Ironisnya, fatwa itu tidak menyurutkan euforia masyarakat, bahkan justru memantik respons sebaliknya: semakin kencang, semakin lama, dan semakin liar. Lalu, muncul pertanyaan kritis: Apakah Sound Horeg adalah wujud hiburan kolektif, atau justru bentuk baru dari teror sosial yang dilegalkan?

Apa Itu Sound Horeg?

Secara harfiah, istilah Sound Horeg berasal dari dua kata: sound system dan horeg, yang berarti “heboh” atau “gila-gilaan”. Fenomena ini mengacu pada penggunaan perangkat audio berkapasitas besar dalam acara karnaval, pesta rakyat, hajatan, atau bahkan sekadar arak-arakan keliling kampung. Ciri utamanya adalah volume suara yang ekstrem, dentuman bass yang mengguncang dada, serta durasi pemutaran musik yang bisa berlangsung dari pagi hingga dini hari.

Sound Horeg bukan sekadar alat pengeras suara, tetapi simbol baru dari budaya pop lokal yang berkembang dengan cepat, terutama di kalangan remaja dan komunitas warga yang ingin tampil menonjol dalam sebuah perayaan.

Dari Karnaval Warga Menjadi Pesta Full 24 Jam

Awalnya, Sound Horeg merupakan bagian dari kegiatan rakyat seperti arak-arakan pengantin, sunatan, atau perayaan HUT RI. Namun, dalam perjalanannya, Sound Horeg menjelma menjadi ajang unjuk kekuatan antar kelompok. Tak jarang satu desa merasa “kalah gengsi” bila tak bisa menghadirkan Sound Horeg dengan watt lebih besar dari tetangganya.

Fenomena ini semakin liar ketika durasi penggunaannya melampaui batas kewajaran. Karnaval warga yang dulu hanya berlangsung beberapa jam kini berubah menjadi pesta musik jalanan 24 jam non-stop, lengkap dengan iring-iringan kendaraan modifikasi, strobe light, hingga penari jalanan. Tak peduli siang atau malam, yang penting dentuman musik menggema dan menggetarkan kampung.

Makin Keras, Makin Berkelas?

Dalam logika komunitas penggemar Sound Horeg, semakin besar watt dan dentuman bass, maka semakin tinggi status sosial yang ditampilkan. Ini mirip dengan fenomena “flexing” di media sosial, tetapi dengan media fisik berupa suara. Terdapat kompetisi tersembunyi antar komunitas: siapa yang paling keras, siapa yang paling lama, siapa yang paling liar.

Namun, di balik logika itu, terdapat kekosongan makna. Hiburan yang idealnya menyenangkan justru berpotensi menyiksa. Bayangkan anak kecil, orang lanjut usia, atau ibu menyusui yang harus mendengar dentuman itu sepanjang malam tanpa bisa beristirahat. Dalam hal ini, Sound Horeg bukan lagi hiburan, tetapi telah menjadi teror kolektif yang dilegalkan secara sosial.

Paradoks Kolektif: Antara Pro dan Kontra

Fenomena ini pun memecah masyarakat ke dalam dua kutub yang saling bertentangan.

Kelompok Pro menganggap Sound Horeg sebagai bentuk kebebasan berekspresi, hiburan murah meriah, serta cara untuk membangun solidaritas kampung. Bagi mereka, MUI dan aparat dianggap terlalu serius dan tidak paham dengan kebutuhan rakyat bawah untuk “menyegarkan diri”.

Kelompok Kontra, di sisi lain, melihat Sound Horeg sebagai pelanggaran hak dasar atas ketenangan, sebagai polusi suara yang membahayakan, dan bentuk pelampiasan emosi yang tak terkendali. Banyak dari mereka yang berani menyuarakan penolakan akhirnya mendapatkan intimidasi, dipersekusi, atau bahkan dikucilkan secara sosial. Inilah paradoksnya: yang menolak justru dianggap tidak menghormati kebersamaan.

Dampak Merusak dan Sanksi Sosial bagi Penolak

Fenomena Sound Horeg tidak hanya menimbulkan gangguan pendengaran dan kesehatan mental, tetapi juga menyuburkan budaya intoleransi terhadap keberagaman pendapat. Beberapa kasus menunjukkan bahwa warga yang melapor ke pihak berwajib karena terganggu justru dianggap “tidak tahu adat”, “anti gotong royong”, bahkan “pengkhianat desa”.

Lebih menyedihkan, anak-anak dan remaja terpapar pada budaya hiburan yang hiperaktif, kasar, dan bising sejak dini. Ketika musik keras dan teriakan dianggap normal, maka ada degradasi nilai dalam memahami makna hiburan yang sehat dan beradab.

Pandangan Emile Durkheim: Disintegrasi Sosial yang Terselubung

Jika dikaji melalui lensa Emile Durkheim, sosiolog klasik yang menekankan pentingnya solidaritas sosial dan fungsi institusi dalam menjaga keteraturan masyarakat, maka Sound Horeg bisa dianggap sebagai gejala anomie: sebuah kondisi sosial ketika norma-norma tradisional mulai kehilangan pengaruhnya.

Durkheim mungkin akan mengatakan bahwa fenomena Sound Horeg muncul karena kekosongan makna dalam kehidupan kolektif modern, terutama di kalangan masyarakat yang merindukan hiburan namun miskin alternatif yang sehat. Ketika nilai-nilai bersama tak lagi menjadi rujukan, maka masyarakat menciptakan “nilai baru” yang dianggap benar asal disepakati kelompok, walau menindas kelompok lainnya.

Solusi: Mengembalikan Hiburan ke Akar Keseimbangan Sosial

Solusi terhadap fenomena Sound Horeg tidak cukup hanya dengan fatwa, teguran, atau razia. Diperlukan pendekatan kultural dan edukatif yang menyentuh akar masalah. Berikut beberapa alternatif solutif:

1. Edukasi publik tentang bahaya polusi suara, baik dari segi kesehatan maupun psikologis.

2. Pemberdayaan pemuda desa melalui pelatihan musik yang lebih beradab dan estetis, seperti band akustik, gamelan modern, atau musik religi.

3. Penegakan aturan jam malam yang tegas dan adil, tanpa mengkriminalisasi hiburan rakyat.

4. Kolaborasi antara pemerintah desa, tokoh agama, dan komunitas pemuda untuk menciptakan budaya hiburan sehat yang meriah tanpa harus merusak.

Penutup

Sound Horeg adalah cermin dari realitas sosial kita hari ini: di satu sisi ada kerinduan akan kebersamaan dan ekspresi, namun di sisi lain ada ketidakpekaan terhadap batas-batas kemanusiaan dan norma sosial. Ia bisa menjadi hiburan kolektif yang menyatukan, tetapi juga bisa berubah menjadi teror sosial yang memecah. Dalam menghadapi fenomena ini, kita dituntut untuk bijak, adil, dan arif bukan hanya sebagai penonton, tetapi sebagai bagian dari masyarakat yang ingin tetap waras dan beradab. ***

Berita lainnya