Oleh: Miftah Farid
(Pengurus Atap Langitan)
Kagetnews | Opini – Sejak kecil budaya dan agama menanamkan bahwa kebaikan di atas segalanya bahkan kata (perbuatan) baik melebihi kata benar.
Bahkan sampai dibuat pribahasa dalam dialek Jawa Dermayu, yakni “Kodok Kegawa Garu” yang artinya setiap orang itu karakternya bisa berubah karena lingkungan dan teman-temannya.
Akan tetapi ada sudut pandang lain terhadap pribahasa tersebut!
Karena tidak selamanya orang-orang yang bersinggungan dengan dengan sebuah lingkungan dan pertemanan itu tidak memiliki prinsip hidup. Di dalam kehidupan sehari-hari masih banyak jika kita perhatikan dalam sekelompok orang atau pertemanan masih didapatkan suatu karakter yang baik (tidak sama pada umumnya) khususnya dalam suatu komunitas yang dianggap sebelah mata oleh orang-orang tertentu.
Contohnya komunitas Punk dan Motor. Di mana citra mereka itu distigma meresahkan bagi sebagian masyarakat karena didapati temuan-temuan yang buruk pada sisi mereka.
Padahal banyak dari mereka yang tidak terbawa Garu, akan tetapi stigma buruk selalu saja melekat. Lantas apakah mereka akan dibiarkan atau kita ada untuk mendampingi mereka?
Jika kita memilih tidak, bagaimana filosofi budaya dan agama kita yang mengajarkan sistem gotong royong (berjamaah) itu baik? Dan apakah gotong royong efektif ketika semua yang terlibat mementingkan tujuan pribadinya masing masing? Tentu tidak, di sana kita menemukan bahwa banyak juga tujuan yang searah dengan kepentingan bersama karna dia sadar tidak mampu bertindak sendiri.
Pandangan sebelah mata karena dipandang dari sudut yang salah, Indra mereka seolah memiliki keakuratan membaca melebihi wali, bukannya bertanya untuk memvalidasi indra mereka, malah berpribahasa seolah pernyataan dalam pribahasa itu valid dan bersumber dari hakikat alam yang sebenar-benarnya.
Yang paling berbahaya pribahasa itu termakan mentah lintas zaman. Semua terdoktrin agar tidak seperti kodok kegawa garu, agar kita tidak terbawa bawa bawa tujuan hidup orang lain karena tidak ada tujuan hidup sendiri.
Padahal kita tahu tujuan hidup adalah fiksi dan yang menentukan satu ketip kedepan atas izin Tuhan.
Jadi apa salahnya terbawa kedalam tujuan hidup orang lain sedangkan orang yang membawa kita merasa terbantu akan adanya kita di sekitarnya, asalkan tidak membuat mereka ketergantungan, dan jika kodok itu pintar tentu dia akan belajar dari tujuan penggunaan garu bahkan mengajarkan menggunakan garu.
Jadi masih bolehkan berpribahasa untuk menjatuhkah pola fikir? Jika masi boleh, silahkan menyaksikan proses terjadinya kemunduran peradaban beberapa kedip kedepan.
Bukankah setiap orang memiliki harapan atau sebuah tujuan hidup yang baik?